Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis
Letters of Happiness: Share your happiness with www.thebaybali.com & Get
discovered!
Aku
terbangun ketika seorang pramugari menggoyangkan bahuku pelan. Kulayangkan
pandanganku ke luar jendela, dan tampak segalanya masih berwarna putih.
Pramugari itu menawarkan snack dan
minuman. Aku menguap kecil sebentar sambil menutup mulut dengan tangan, lalu
mengangguk.
Aku
baru saja kembali dari sebuah penjalanan panjang. Keliling dunia, kalau boleh
aku menyebutnya begitu, meski kenyataannya aku hanya mengunjungi beberapa
negara asia dan eropa. Dan aku sedang dalam perjalanan menuju ‘rumah’, dan tak
sabar ingin mengunjungi ‘kekasih lama’.
Aku yakin ketika aku menyebut rumah, kamu
pasti membayangkan bangunan tempat tinggal yang nyaman. Aku tak akan
menyalahkan apa yang kamu bayangkan, namun bukan rumah seperti itu tepatnya
maksudku. Rumah bagiku adalah tanah tempat aku dilahirkan. Telah banyak negara
kujelajahi, namun entah kenapa hatiku tertambat kuat di Indonesia. Aku juga punya
rumah dengan arti yang sesungguhnya, namun aku tak yakin kepulanganku akan di
terima kembali oleh ayah bunda.
Akan
kuceritakan sedikit padamu mengenai diriku. Aku hanyalah anak adopsi yang berasal
dari sebuah panti asuhan, yang diangkat menjadi anak oleh sepasang suami istri
yang telah menikah dua belas tahun, tapi tak juga dikaruniai anak. Aku berusia
sembilan tahun waktu itu.
Aku
menjadi anak emas hingga di penghujung masa SMP ku, lalu bunda dinyatakan
mengandung. Lalu lahirlah adik laki-lakiku, Rangga. Tentu saja konsentrasi
bunda yang sejak awal hanya fokus padaku, kini terpecah menjadi dua. Namun aku
tidak cemburu, karena aku sadar posisiku. Aku juga tidak menemukan perbedaan
yang terlalu berarti dari sikap ayah bunda padaku sejak kehadiran Rangga. Kasih
sayang mereka bagi sama rata.
Bunda
bahkan punya sejuta planning untukku,
karena ia ingin aku menjadi kakak yang patut jadi teladan bagi Rangga. Ia
menyarankanku ikut kursus ini itu, ikut kompetisi sana sini. Ia juga
melibatkanku mengurusi butik dan salonnya. Aku turuti semuanya, kulakukan
dengan ulet dan tekun, meski aku tahu bahwa apa yang kujalani sekarang bukanlah
yang kuinginkan. Semua keberhasilan, predikat juara, dan kebanggaan lainnya
kupersembahkan bagi mereka, sebagai ungkapan terima kasih.
Tapi
ada satu hal yang tak pernah mereka tahu, bahwa aku telah lama menabung demi
satu impianku: melakukan perjalanan ini. Pernah suatu kali kusinggung pada
bunda mengenai keinginanku ini, namun bunda tak setuju dan tak mau berkompromi.
Aku
meninggalkan rumah setahun lalu, tepat ketika aku mengakhiri SMA. Aku ingin
melakukan perjalanan, perjalanan yang sangat panjang dan jauh. Dan dapat
ditebak dengan mudah, kepergianku tidak direstui doa ayah bunda.
Bukankah
kita sendiri yang tau apa yang kita inginkan? Ketika itu aku berpikir bahwa aku
sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanku sendiri. Aku tak ingin menjadi
boneka bagi orang lain. Tak ada seorangpun yang dapat mendikteku. Kuputuskan
tetap pergi, meski di belakangku bunda terus mengomel-ngomel. Semoga saja tak
ada sumpah-serapah dalam kalimat-kalimatnya dulu. Itu kini yang kuharapkan.
Bepergian
seorang diri ke luar negeri bukan masalah bagiku. Mungkin terdengar sedikit
mencemaskan, namun aku yakin aku akan baik-baik saja. Aku menyimpulkan bahwa
darah berani dan nekat ini mengalir dari orang tua kandungku, meski aku tak
kenal dan tak tahu keberadaan mereka sekarang. Sedangkan bunda tak terlalu suka
alam dan bepergian apalagi ala backpack,
kecuali dengan pesawat kelas bisnis dan hanya ke tempat yang bergengsi,
menurutnya.
Pernah
beberapa kali aku menelepon ke rumah, namun selalu diangkat oleh Bik Sumi. Ia
menyatakan rindu dan khawatir dengan keadaanku. Darinya aku mengorek tentang
kabar ayah, bunda, dan Rangga. Ia mengatakan bahwa bunda terkesan cuek bila Bik
Sumi menyinggung tentangku. Namun suatu kali ia tak sengaja memergoki bunda
masuk ke kamarku, lalu memandang fotoku dengan tatapan sedih. Hal ini
memunculkan sedikit rasa percaya diriku bahwa bunda masih mengharapkan
kepulanganku, meski aku tak yakin seratus persen.
Satu
hal yang membuat hatiku berbunga-bunga adalah ketika belakangan teman playgroup Rangga bermain ke rumah. Adik
kecilku itu dengan bangga memperkenalkanku ke teman-temannya melalui foto
keluarga yang di pajang di ruang tamu. “Ini kakakku, Kak Gadis,” ucap Bik Sumi
dengan menirukan suara cadel Rangga. Sementara ayah jarang di rumah, tapi dari
ekspresinya yang di tangkap Bik Sumi sehari-hari, tampak ayah juga selalu
memikirkanku.
Aku
tak sabar ingin segera tiba, namun aku juga bingung, apa yang akan kulakukan
nanti. Aku sebenarnya telah sangat bahagia dengan perjalananku, petualanganku,
namun rasanya ada yang kurang. Ada yang belum lengkap. Ada suatu dorongan
raksasa dalam hatiku, yang terus memaksaku untuk pulang.
***
Aku
kini tengah reuni dan bercengkerama dengan ‘kekasih lama’ yang tadi telah
kukatakan padamu. Jangan berpikir bahwa kekasih yang kumaksud berbentuk seorang
cowok dengan badan proposional, good
looking, dan penuh cinta. Kekasihku ini adalah sebuah pulau indah di
‘rumahku’, dan aku telah jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama ketika
dulu kami sekeluarga liburan ke sini di awal-awal aku diangkat jadi anak. Aku
tak bisa melupakannya, selalu lekat dalam pikiranku, meski banyak pulau yang
tak kalah indah yang telah kukunjungi. Aku tak akan pernah putus cinta dengannya.
Dan di sinilah aku, The Bay Bali.
Aku
duduk di pasir putih tanpa alas. Kupandang laut lepas dengan pikiran
mengawang-awang. Tampak seorang bocah bule, kira-kira berusia lima tahun,
berlari tak sabar menuju bibir pantai yang dijilati ombak. Papan surfing mini
terkepit di ketiaknya. Seorang laki-laki muda tergopoh-gopoh mengejarnya.
Aku
memperhatikan mereka berdua asyik belajar surfing di ombak yang kecil-kecil. Anak
yang mengenakan rompi pelampung itu tampak sangat antusias. Ayahnya
mengangkatnya, lalu mendudukkannya di atas papan surfing mininya, kemudian
mendorongnya pelan-pelan.
“Go, Daddy, go...” teriaknya riang sambil
mengepalkan tangan kanannya ke udara. Ketika ia terjungkir dari papannya karena
ombak menghempaskannya hingga terlepas dari pegangan ayahnya, ia meringis. Tapi
ia tak berhenti mencoba. Ia minta dinaikkan lagi ke papan surfingnya.
Aku
jadi teringat ketika pertama kali mencoba mengendalikan papan surfingku
sendiri. Awalnya aku masih takut-takut, kagok, sering terjungkir, bahkan beberapa
bagian tubuhku pernah terluka karena menghantam papan surfingku sendiri ketika
terjatuh. Hingga suatu hari aku sudah mampu berdiri sendiri dengan gagahnya di
atas papan panjang itu. Aku sudah mampu menantang ombak yang ada di depanku, di
lautan manapun yang telah kukunjungi. Kukatakan padamu bahwa salah satu
kebahagiaanku adalah ketika aku berhasil menguasai mereka semua. Rasanya aku
tak takut pada apapun lagi.
***
Aku
bangkit dan sedang menepuk-nepuk celanaku ketika seseorang menyentuh bahuku.
“Joe....”
seruku takjub begitu melihat siapa di belakangku. Aku melompat kepelukannya,
namun segera kulepas sambil meringis dan mendapati hatiku malu karena
kelakuanku tadi. Joe hanya tertawa sambil mengacak rambut pendekku.
“Segitu
kangennya, ya, sama aku?” godanya. Ia adalah sahabatku di panti asuhan. Kami
sangat akrab, bahkan seperti ia sudah kuanggap sebagai kakak laki-laki. Dulu
aku sampai menangis ketika harus berpisah dengannya karena aku telah lebih dulu
bertemu orang tua angkat. Namun ia menenangkanku, mengatakan bahwa hubungan
kami akan baik-baik saja. Kami tetap satu sekolah hingga kelas dua SMP, namun
ia harus pindah karena ia juga diangkat jadi anak oleh orang lain.
“Tadi
aku enggak yakin kalau orang yang kulihat adalah kamu. Tapi setelah kupastikan,
aku memang enggak salah orang,” katanya.
“Wah,
bisa kebetulan begini ya?!”
“Bukan
kebetulan. Ini memang sudah seharusnya terjadi,” jawabnya sambil tersenyum
penuh arti. Sungguh di luar dugaan. Kami telah terpisah sekian tahun, tahu-tahu
bertemu di tempat elok ini.
“Udah
lama di Bali?”
“Belum.
Baru tadi pagi landing di sini.
Kamu?” jawabku, seraya balik bertanya.
“Aku
sudah seminggu di sini. Ada proyek bisnis keluarga, tapi hari ini aku free.”
“Kalau
gitu boleh dong kamu jadi tour guide
sehari?” gurauku. Joe mengangguk cepat, seolah tak perlu berpikir untuk
mengiyakan permintaan asalku tadi.
“Ke
sana yuk, dijamin nggak akan boring...”
ucapnya sambil menggamit lenganku. Aku menurut. Aku merasa sangat beruntung
hari ini. Aku bisa mengunjungi kekasih lama, sekaligus bertemu sahabat lama.
Kami
tiba di kawasan yang tema dan konsepnya seperti lingkungan kehidupan bajak
laut. Ada rumah-rumah pohon, tenda terbuka di sana sini, bahkan lengkap dengan sebuah
kapal yang menghadap laut. Nuansanya sangat lain dari pantai-pantai kebanyakan.
Seandainya bisa memilih, aku ingin tinggal di tempat seperti ini. Akan sangat
menyenangkan setiap hari bisa melihat deburan ombak, juga belaian angin laut
yang sepoi-sepoi.
“Aku
dengar kamu pergi dari rumah, ya?” tanya Joe pelan. Dengar? Dia dengar
darimana? Apakah aku sudah setenar itu sampai semua orang tahu tentangku?
“Ya,”
sahutku singkat.
“Apa
kamu enggak kepikiran keluarga kamu?”
“Aku
kepikiran kok. Tapi aku ingin bebas mencoba hal lain, mencari kesenanganku
sendiri.”
Tampak
olehku sepasang orang tua yang telah berusia senja duduk selonjoran di sebuah
tempat dari bambu yang di rancang sedemikian rupa dengan posisi digantung di
bawah dahan pohon yang besar dan kuat, hingga menyerupai ayunan. Mereka duduk
berdampingan. Si suami tampak menggoda istrinya, lalu keduanya tertawa bersama,
tampak bahagia menjalani ujung hari
mereka.
Kami
berhenti di bawah sebuah pohon, tepat di depan anak-anak tangga yang juga
tersusun atas bambu-bambu. Di atas kami tampak bangunan tree house yang sangat indah.
“Kamu
enggak akan meraih kebahagiaan dengan mengorbankan orang lain, kan?” tanya Joe.
Aku tersentak. Pertanyaan Joe mengusikku.
“Enggak
ada yang jadi korban, kok.”
“Siapa
bilang? Ayah bunda kamu yang baik itu adalah korban atas keputusan kamu. Kamu
tahu mengapa mereka mengadopsi anak? Karena mereka ingin mencari kebahagiaan
melalui kita.” Joe mulai menapaki tangga bambu itu.
“Mereka
enggak kasih izin. Bunda ingin aku kuliah dengan jurusan yang dia mau,
sementara aku ingin backpakingan.
Pendapat kami bentrok.” sahutku cepat sambil mengekor langkahnya.
“Semua
perbedaan pendapat pasti punya solusi. Percayalah. Hanya saja semua orang sibuk
mementingkan diri sendiri dan terlalu menuruti egonya...”
Kami
telah tiba di lantai paling atas. Aku terdiam dan sedikit merasa tersinggung
mendengar kalimatnya yang secara tidak langsung menuduhku. Meski demikian, aku
merasakan kebenaran kalimat-kalimatnya. Aku seharusnya lebih berpikir matang
dan membicarakan semua dengan baik-baik.
“Kamu
benar, Joe.”
“Hanya
keluarga tempat untuk kembali, kan? Dulu keluarga kita adalah panti asuhan,
tapi kini kita punya keluarga sendiri. Kita harus menjaganya dengan baik.”
Joe
selalu lebih bijak dan lebih dewasa dari aku. Dan ia telah membuatku sadar. Kutarik
nafas panjang, lalu berucap,” kamu sangat benar. Aku ingin pulang,
dan.....minta maaf.” Setelah mengucapkan kalimat itu, aku menemukan apa yang
kurang dalam kebahagiaanku dan untuk apa aku pulang.
Kami
terdiam sambil memandang ke bawah. Arena kapal Pirates sedang ramai-ramainya. Aku tertarik dengan keriuhan
anak-anak berkostum bajak laut di bawah sana. Mereka asyik berkejar-kejaran
mengitari sebuah kapal yang seolah telah dihempaskan oleh ombak besar hingga
terdampar ke tempat ini. Anak-anak itu bermain perang-perangan, saling
mengklaim daerahnya sendiri, dan bertindak seolah merekalah pemimpin perompak
yang gagah dan garang. Suasana ramai dengan suara teriakan, tawa canda, dan
berbagai ekspresi lainnya. Para orang tua tampak mengawasi mereka sambil sibuk
memotret tingkah lucu bocah-bocah itu.
Tanpa
sengaja, aku menangkap bayangan anak kecil yang sepertinya kukenal. Namun ia
segera berlari ke sisi lain kapal, hingga hilang dari pandanganku. Rangga? Apa
benar itu tadi Rangga? Aku mengedarkan pandanganku lebih luas, berharap
menemukan sesuatu untuk memperjelas dugaanku.
“Ada
apa?” tanya Joe. Sepertinya perubahan sikapku tertangkap olehnya.
“Rangga.
Sepertinya aku melihat adikku di sana tadi,” jawabku sembari menunjuk kapal pirates yang masih tak berkurang
riuhnya.
“Kamu
yakin? Coba hubungi ayah, atau bunda kamu saja untuk memastikan...”
Segera
kukeluarkan ponsel dari saku celana pendekku, lalu menelusuri deretan kontak.
Bukan ayah atau ibu yang ingin kutelepon, melainkan rumahku di Jakarta sana. Dan
seperti yang sudah-sudah, Bik Sumi lagi yang menjawabku. Tanpa basa basi, aku
langsung menanyakan Rangga.
“Tuan,
Nyonya sama Den Rangga lagi ke Bali, Non.”
Benar
sangkaku. Berarti tak ada yang salah dengan penglihatanku barusan, bocah itu
memang Rangga.
“Acara
apa, Bik?” tanyaku penasaran. Sejak Rangga lahir, ayah menjadi sangat sibuk,
lebih sibuk ketika telah mengadopsiku. Beliau adalah ayah yang sangat baik dan
bertanggung jawab. Tumben sekali di hari kerja begini ayah bisa meluangkan
waktu untuk pergi jalan-jalan.
“Kan
Den Rangga ulang tahun, Non. Kemarin Rangga mintanya jalan-jalan ke Bali. Non
Gadis dimana?”
Aku
menepuk dahi, lalu mematikan telepon tanpa menghiraukan pertanyaan Bik Sumi.
“Benar,
Joe. Yang kulihat tadi memang Rangga. Ia ulang tahun hari ini. Bik Sumi bilang
mereka ke sini untuk merayakannya,” jawabku sedikit gelisah. “Kenapa bisa serba
kebetulan begini?”
“Bagus!”
Joe mengangguk-angguk.
“Bagus
apanya?”
“Bukannya
tadi kamu bilang kamu mau minta maaf dan berkumpul lagi dengan mereka? Ini
momen yang memang sudah di rancang Yang Di Atas. Bukan kebetulan.”
Kuacak
rambutku hingga kacau. Niat awalku ke sini hanya untuk menenangkan pikiran
sebelum pulang ke Jakarta, menemui ayah dan bunda. Namun semua berbanding
terbalik.
Kutatap
Joe penuh harap. “Kamu temani aku, ya...”
Ia
mengangguk.
***
Aku
dan Joe kini berdiri di depan restoran Bebek Bengil. Keluargaku ada di dalam
sana, begitu kata Joe, setelah ia kutugasi melakukan penguntitan kecil-kecilan.
Joe menggenggam tanganku sambil menuntunku masuk ke dalam restoran itu.
“Tangan
kamu dingin banget, Dis,” bisiknya. Aku hanya mengangguk kecil. Aku sedikit
gugup, cemas membayangkan bagaimana reaksi ayah dan bunda yang sudah setahun
tidak bertemu anaknya, maksudku anak adopsinya. Masihkah mereka peduli? Atau
mereka telah lupa padaku, dan cukup bahagia dengan kehadiran Rangga?
Suasana
restoran yang nyaman membuatku sedikit rileks. Lalu tampak olehku, keluarga kecilku
duduk di depan sana. Jarak kami hanya dipisahkan beberapa meja saja. Rangga
yang duduk di samping ayah tiba-tiba menoleh dan menyadari keberadaanku.
“Kak
Gadis...!” serunya. Aku rindu suaranya yang menggemaskan itu, sudah sangat lama
aku tidak mendengarnya. Ayah dan bunda turut menoleh dan terlihat sangat kaget.
Mungkin mereka tidak menduga aku tiba-tiba hadir di depan mata mereka.
Joe
mendorong bahuku dengan lembut, mengisyaratkan agar aku melangkah maju. Aku
menatapnya, meminta dukungannya agar aku mampu untuk menekan egoku dan berjalan
menyongsong Rangga yang kini turun dari kursinya, lalu berlari ke arahku. Rangga tampak begitu bahagia melihatku
kembali. Dapat kutangkap binar-binar ceria di mata bulatnya dan bibirnya yang
tersenyum lebar. “Kak Gadis... Kak Gadis...!”
Beberapa pengunjung sampai menoleh karena
mendengar suara berisik Rangga yang memanggil-manggil namaku. Ingin rasanya kulupakan
bahwa saat ini aku berada di tempat umum, kemudian aku berlari menyambut Rangga,
lalu meraihnya ke dalam pelukanku. Namun aku hanya mampu melangkah dengan
canggung. Rangga meraih tanganku, lalu menarikku menuju meja tempatnya semula.
Ayah menatapku, dengan ekspresi yang tak dapat kuterjemahkan, apakah ia senang
atau kesal, atau apa. Namun tiba-tiba ia bangkit dan memelukku. Aku sama sekali
tak menyangkanya, dan kubalas pelukan itu dengan erat.
“Maafkan
Gadis, Yah. Gadis enggak tahu terima kasih,” bisikku lirih.
“Enggak
apa-apa,” jawabnya lembut. Aku sangat bersyukur karena ayah menunjukkan reaksi seperti
yang kuharapkan. Kulirik bunda. Wajahnya beku, ia bahkan tak memandangku. Aku
menarik nafas panjang sembari berusaha meruntuhkan sisa-sia gengsi dan egoisku.
“Bunda,”
panggilku. Ia tak bergeming. Kutundukkan kepalaku, sedikit menyesal akan
sikapku padanya ketika memutuskan pergi dulu. Bunda mengangkat wajahnya, dan
tatapan kami bertemu. Aku kaget mendapati matanya telah sembab.
“Bun,
sori, Gadis...” belum kuselesaikan kalimatku, namun bunda memotongnya cepat.
“Kamu,
ya...” hardiknya, tampak kesal. Aku pasrah menerima kemarahan ibu. “Kamu memang
juara membuat ibu marah, kesal, sedih, juga...kangen!”
“Maafin
Gadis, Bu,” ucapku pelan. Aku dan ibu berpelukan sambil menangis sesenggukan.
Aku tak menyangka ibu demikian merasa kehilangan. Aku benar-benar merasa bodoh
dan tak berarti.
“Kamu
jangan pernah mengulanginya lagi, atau bunda takkan memaafkanmu.” Aku
mengangguk. Ada yang lega di sudut hatiku dan semua kecemasanku berakhir sudah.
Setelah bunda melepaskan pelukan dan sedikit lebih tenang, aku baru sadar telah
mengabaikan Joe. Dengan gerakan kepala aku mengisyaratkan Joe untuk mendekat.
“Joe,
kamu juga di sini?” tanya ayah begitu melihat Joe. “Dia pernah beberapa kali
datang ke rumah sejak kamu pergi. Dia nanyain kamu terus. Bik Sumi yang
cerita....” ujar ayah tiba-tiba, membuat Joe menunduk, menyembunyikan wajahnya.
Mungkin ia malu karena kelakuannya dibongkar ayah tepat di depanku.
“Aduh,
ini semua pada kenapa sih? Rangga nggak sabar mau makan bebek,” celetukan polos
Rangga mencairkan suasana.
“Tenang
saja. Bebeknya nggak akan terbang, kok,” sahut Joe mencoba lucu. Ia berhasil
karena kini kami tertawa. Oh, aku melupakan sesuatu. Kudekati Rangga dan tanpa
ia sangka-sangka, aku memeluknya.
“Happy birthday, ya, sayang...” ucapku.
Kucubit pipinya sebelum menciumnya. Joe juga mengikuti apa yang kulakukan.
Rangga tampak malu-malu, namun ia tersenyum lebar. Kami duduk bersama dengan
nuansa penuh kehangatan. Waitress
datang dengan nampan penuh makanan karena ayah memesan lagi untukku dan untuk
Joe. Aku tertawa melihat Rangga hampir meneteskan air liur ketika melihat
makanan yang berlimpah itu.
Rangga
terlihat sangat rakus dan kini ia asyik dengan bebek keduanya. Aku takjub.
Setahun berpisah dengannya, sepertinya ia telah tumbuh dengan perut yang lebih
besar dan elastis hingga mampu menampung banyak makanan. Tapi tak apalah, hari
ini ia ulang tahun, biar saja ia makan sebanyak ia mau. Dan kuakui, hidangan
bebek ini memang sungguh istimewa, hanya saja aku malu untuk minta tambah.
***
Pagi
ini sungguh indah, dan ini pagi terbaik dalam hidupku. Aku berjalan beriringan
dengan Joe menuju pantai Nusa Dua. Ups, ada Rangga juga. Ia memaksa ikut dengan
kami, sementara ayah dan bunda masih terlelap karena semalaman kami begadang
untuk bercerita dan melepas kangen. Aku juga kembali menerima omelan-omelan
bunda karena aku tak seharusnya bersikap sesukaku sendiri. Namun tak masalah,
aku memang pantas menerimanya.
Joe
menggenggam tanganku, sementara Rangga berjalan di depan kami sambil asyik
berceloteh sendiri, mengomentari apa saja yang dilihatnya.
“Aku
senang kamu sudah pulang. Semoga kamu tidak akan pergi lagi.”
Kupandang
mata Joe. Aku tak mau berpikir berlebihan, namun rasanya ada yang beda dengan
tatapannya itu, tidak sama seperti kemarin. Temanku sejak kecil ini tersenyum
manis, membuatku terhipnotis untuk tersenyum pula.
“Aku
sayang kamu,” bisiknya di telingaku. “Aku akan sangat bahagia kalau kamu mau
tinggal di sini,” tambahnya lagi sambil menempatkan tangan kananku di
dadanya,”selamanya...”
Aku
baru sadar kalau ternyata sumber bahagia Joe adalah aku. Aku tersenyum dan memandang
jauh ke depan. Hatiku mengangguk mendahului kepalaku, lalu berbisik, inilah
sebenarnya kebahagiaan yang kucari, semua terasa lengkap kini. I’m back home for this true happines.