Tak ada yang lebih
menyesakkan selain ketakutan yang terus mendera.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia dan Nulisbuku.com
Mel tidur dengan
berkeringat, bukan karena malam begitu gerah. Lalu terbangun dengan gigil, bukan
karena udara pagi yang terlalu dingin. Gundah menggerogoti hatinya. Dan sekarang
adalah hari ketiga yang hanya ia habiskan dengan bergelung dalam kamar.
Mungkin
terjadi sesuatu padanya...
Ketapak langkah yang
diiringi suara berbisik terdengar mendekat dan berkerumun di depan kamar Mel.
Ah,
pasti sedang tidur. Tahu sendirilah jam kerja orang macam dia. Kalau malam
melek seperti kelelawar, siangnya tidur kayak bangkai.
Suara anak-anak kos
yang akrab di telinga Mel sibuk menyampaikan spekulasi masing-masing.
Tapi,
masa nggak pernah keluar walau sekedar makan?
Ih,
jangan-jangan dia sudah...
Huss!
Jangan bicara yang tidak-tidak! Suara lain menghardik,
menghentikan dugaan negatif yang tak sempat terucap.
Telepon
saja pacarnya. Kasih tahu keadaan Kak Mel...
Ya,
ya. Lebih baik begitu.
Mel berusaha
mengacuhkan kicau-kicau tak penting di luar. Ada hal yang lebih rumit
berseliweran di benaknya.
Sebulan ini ponselnya seringkali
berdering. Sejumlah oknum tak kenal lelah memberondongnya dengan rentetan
pertanyaan.
Berapa
lama lagi kami harus menunggu?Bukankah seharusnya kau sudah menyelesaikannya? Nada
suara ibunya tiap kali menelepon lebih mirip omelan. Mendesak dan tanpa kompromi.
Lain lagi bila kakaknya menelepon,
namun tetap dengan maksud yang sama. Awas
kalau kau mengacaukan keinginan ibu. Aku akan menghajarmu.
Apa saja sih kerjamu di situ? Sudah sampai mana skripsimu?
Pusing tujuh keliling Mel dibuat
telepon-telepon itu. Bila tidak ditanyai, ia disuguhi
serangkaian
kisah tentang para kerabat atau anak rekan sang ibu yang sudah mengambil
program spesialis, yang sudah buka klinik, yang akan menikah, dan bla, bla,
bla, yang lebih sering disampaikan dalam bentuk intimidasi.
Semua bermula beberapa
tahun lalu ketika Mel dengan paksa menerima bahwa ia telah terdaftar di jurusan
kedokteran. Ide itu milik ibunya, seorang yang terobsesi menjadikan semua
anaknya dokter. Sikap diktator sang ibu membuatnya tak punya daya untuk
melawan.
Namun, sekeras apapun
ia berusaha memusatkan fokus menggeluti jurusan itu, ia tetap tak bisa karena
hatinya tidak di sana. Rasanya ia ingin melemparkan jubah putih dan kitab-kitab
tebal yang membuatnya muak.
Ia tidak menguasai
bidang eksakta, bahkan tidak menaruh minat sedikit pun. Yang ia ingin lakukan
hanyalah menjinakkan imajinasinya yang berlari-lari liar. Meramu debur ombak,
suitan angin, dan kepak camar di pantai menjadi sastra. Menyusun perjalanan
hati menjadi cerita apik. Menuliskan apa yang ia tatap, dengar, cium, sentuh,
dan cecap menjadi keping-keping kisah.
Tiap kali ia
mengutarakan pada sang ibu apa yang menjadi impiannya, yang ia dapatkan adalah
gelengan tegas.
“Apa yang bisa kau dapat dari tulisan-tulisan
tak berguna itu? Tidak bisakah kau menurut pada ibu? Ini juga demi kebaikanmu.
Tamatkan kuliah, lalu bekerja, mapan dan menikah, seperti kakak-kakakmu
lakukan. Ibu akan tenang menjalani sisa hari-hari. Jangan jadi anak durhaka!”
Bagaimana kalau
cita-citanya bukan menjadi mapan? Mel yakin bukan satu bidang pekerjaan tertentu
yang akan membuat seseorang kaya atau tidak. Dan, kaya itu relatif. Kalau ia
ingin menjalani hidupnya tanpa menuruti pakem yang ada, apa salah? Ia tak
pernah berniat menjadi seorang yang durhaka—cap itu melekat begitu saja saat ia
ingin menjadi dirinya sendiri.
Semakin kuat Mel meminta,
semakin tegas gelengan kepala yang ia terima.
“Bebal! Persis ayahmu!”
desis ibunya penuh benci.
Yang Mel tahu tentang
sang ayah adalah seorang lelaki yang diceraikan ibunya saat Mel masih kecil,
karena ia lebih mengikuti kata hati. Lelaki itu memilih hengkang dari
perusahaan bonafit tempatnya berkarir dan menjalani pekerjaan impian sebagai
seniman, sekaligus mengarungi hidup baru paska berpisah dengan keluarganya
karena ibu Mel tak bisa menerima keputusan lelaki itu. Mel merindukan ayahnya
yang sekarang entah berada di mana. Ingin rasanya menumpahkan keluh kesah yang
mengimpit dada.
“Pokoknya dokter!
Titik! Itu lebih berguna daripada sastra-sastramu itu!”
“Tulisan juga berguna
untuk menyembuhkan. Bahkan sanggup melakukan apa yang tenaga medis tidak
sanggup lakukan,” Mel mengemukakan pendapatnya.
“Omong kosong! Ibu
sudah keluar banyak untukmu. Kau harus menunjukkan pada ibu tanggung jawabmu.”
Mel tak tahu harus
sampai sekuel ke berapa pertengkaran itu akan berakhir. Sejak awal ia tak
meminta tanggung jawab itu, tapi tetap saja dibebankan dipundaknya dan harus ia
emban tanpa tawar menawar. Tapi kini ia tak sanggup memaksakan diri.
Dilemparkannya tanggung jawab itu, lalu mengambil jalan lain. Nyaris dua tahun
kini ia resmi bukan mahasiswa kedokteran lagi. Melepas tali kekang yang
membuatnya sulit bergerak bebas.
Mel berpikir mungkin ia
harus seperti Erin, kakak sulungnya yang nekat menikah dengan lelaki yang bukan
pilihan ibunya. Kehadiran bayi lucu Erin beberapa tahun kemudian berhasil
menghapus kerut masam di wajah sang ibu. Mel mengambil kesimpulan serupa.
Mungkin ia harus ‘melahirkan anak’ yang hebat terlebih dahulu, baru kemudian
memperoleh restu. Nekat bertaruh waktu.
Perempuan itu sadar kalau
proses yang ia harus jalani tak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tapi
ia juga tak menyangka akan sesulit ini. Tabungan waktu pertaruhannya semakin
menipis.
Dan sekarang teror itu
datang. Hati Mel gentar.
Ia berpikir, bersyukurlah
orang-orang yang menemukan jati diri dan sesukanya memiliki impian.
Yang menggenggam erat
idealisme.
Yang menghargai betapa
mahal nilai sebuah kebebasan.
***
Mel terbangun dengan
jantung seakan mau meledak hanya karena mendengar dering ponselnya. Seharusnya
ia mematikan atau menyingkirkannya saja jauh-jauh agar tidak lagi merasa
terganggu. Alat yang berfungsi untuk mempermudah komunikasi itu kini ia rasakan
seperti sebuah granat yang siap membuatnya hancur lebur.
Dengan wajah masih
tenggelam dalam bantal, tangannya meraba-raba permukaan kasur untuk menemukan
ponsel sialan itu. Ketika berhasil meraihnya, ia mengintip layar dengan sebelah
mata memicing. Kalau nama yang tertera di sana adalah salah satu dari para
peneror, ia siap melemparkan benda elektronik itu ke dinding.
Ternyata bukan peneror.
Melainkan kekasihnya, Paul.
“Mel? Kau sudah bangun?
Apa kau baik-baik saja?” deretan pertanyaan bernada cemas itu menyerbu bahkan
sebelum ponsel menempel sempurna di telinga Mel.
“Tidak.”
“Buka pintunya. Sejak
tadi aku berdiri di luar, tapi kau tidak dengar aku mengetuk.”
“Pergilah. Aku sedang
ingin sendiri.”
Hela nafas berat
terdengar dari luar. Paul mematikan telepon karena ia dan Mel kini bisa saling
mendengar.
“Apa yang kali ini
terjadi padamu, Mel? Katakanlah kalau ada yang mengganggu pikiran,” Paul
berucap penuh sabar. “Kau tahu aku selalu ada untuk mendengarkan.”
“Ibuku.”
Cukup satu kata itu dan
Paul sudah mengerti inti perkaranya, sekaligus membuatnya mati langkah. Bila
menyangkut perseteruan Mel dengan ibunya, Paul berada di luar lingkaran yang
tak bisa campur tangan terlalu banyak. Ia paham keinginan ibu sang kekasih,
tapi juga tak berbuat apa-apa ketika Mel memilih hengkang dari jurusan yang tak
disukainya itu.
Paul tak bisa memaksa
Mel, karena ia pun tidak dapat membayangkan seandainya bertukar posisi dengan
kekasihnya itu; harus melakukan hal yang tidak disukai. Sejak awal, lelaki itu
sudah dibebaskan menentukan masa depan sendiri. Dengan nikmat ia dapat
menggenggam mikrofon dan menggemakan nada-nada yang menyuarakan isi hati serta
pikirannya tanpa batasan apapun.
Kadang, satu keputusan
tampak seperti dua sisi koin; bisa terlihat benar atau terlihat salah.
Tergantung sudut pandang yang menilai. Paul tak bisa mendakwa keputusan Mel
adalah salah atau benar. Satu-satunya hal yang dapat dan ingin ia lakukan
adalah mendukung perempuan itu hingga akhir.
Namun, bagian
tersulitnya adalah ketika pendirian dan keteguhan sang kekasih merapuh akibat
tekanan yang memurukkan. Juga waktu dan kesempatan yang belum juga menunjukkan
simpati. Lebih lagi, tekanan itu justru datang dari keluarganya, orang-orang terdekat
yang harusnya memahami Mel dengan baik.
“Aku ada lagu untukmu.
Cobalah dengarkan.”
Mel menyahut malas,“Aku
sedang bosan kau jejali lagu-lagumu.”
“Ini bukan laguku, tapi
milik band lain.”
“Siapa lagi kali ini?”
“Musikimia.”
Arghh!
Mel
mengerang. Mendengar namanya saja sudah membuat perut perempuan itu mual.
Bukan, bukan band itu yang sebenarnya
membuat Mel muak, hanya saja, kenapa namanya harus seperti salah satu mata
pelajaran tak pernah bisa menempel otaknya? Mengingatkannya akan sesuatu yang
amat dibenci.
“Apa kau yakin tak akan
menyanyikan untaian rumus-rumus yang membuat kepalaku tambah pusing? Kalau ya,
lebih baik tidak usah bernyanyi!” tolak Mel.
“Bukan seperti itu! Ini
berbeda. Mungkin bisa menyelamatkan hati dan harimu. Dengarkan saja dulu...”
Mel tak menjawab. Hanya
berharap tak akan mendengar lirik picisan nan gombal, yang semakin
menghancurkan mood yang sejak kemarin
memang sudah porak poranda.
Paul duduk menunggungi daun pintu yang
tertutup. Suara deheman terdengar, lalu disambung petikan gitar. Intro diisinya
dengan berganti kunci beberapa kali. Baru kemudian suaranya yang bening dan
dalam itu mengalunkan lirik demi lirik.
Mel tergugah. Walau
sempat menolak, ia tak bisa menyangkal bahwa ada satu titik dalam hatinya yang
merasa disentuh oleh lagu itu. Perlahan, ia mengangkat kepala dari bantal dan
duduk di tepi tempat tidur. Meraih selembar tisu lalu menyapu wajahnya yang
sejak kemarin tak pernah kering.
Mel beranjak mendekat, hendak
mendengar lebih jelas lagu yang baru pertama kali mampir di telinganya itu. Ia
pun turut duduk memunggungi pintu sambil memeluk lutut. Berusaha mengendapkan
kata demi kata yang entah bagaimana bisa, betul-betul mewakili kerisauannya.
Paul
tak mendapat respon apa-apa selama bersenandung. Hanya samar sengguk yang
ditangkap telinganya. Dekat, dan lirih. Ia serta merta bangkit.
“Mel?
Apa kau menangis?”
Tidak
ada jawaban, membuatnya makin khawatir.
“Buka pintunya, Mel...”
“Aku
tak ingin kau melihatku dalam keadaan kacau balau dan mata bengkak begini,”
ucap Mel dengan suara serak.
“Hei,”
Paul berujar lembut. Ia terdiam sebentar ketika seorang perempuan melintasinya.
Seluruh penghuni kos sebenarnya
sudah tidak heran kalau lorong itu bisa beralih fungsi menjadi panggung
dadakan. Yang lelaki seorang vokalis menyaru pujangga. Sedang perempuannya
perangkai kata-kata. Tak jarang anak kos yang lain disuguhi konser gratisan,
disertai aliran kalimat yang rasanya lebih
pantas ada dalam novel atau buku antologi puisi.
“Bukankah
lima tahun lalu aku sudah berjanji akan menerimamu apa adanya? Apa kau masih
ragu?”
Tidak,
Mel menjawab dalam hati. Ia sama sekali tidak meragukannya.
Pintu itu akhirnya
membuka setelah sekian hari terkunci rapat. Mel berdiri dengan bahu terkulai
letih. Mata merah. Rambut pendeknya tampak berantakan. Padahal ia dulu nekat
memangkas rambut panjangnya karena tak ingin repot dengan segala macam
perawatan. Helai-helai pendek di atas bahu membuatnya merasa lebih praktis,
juga urusannya lebih ringkas. Ia jadi punya lebih banyak waktu untuk melesat ke
sana kemari, mencari inspirasi dan mempermudah segala pergerakannya.
Namun, tingkat
kekusutan hari ini mengonfirmasi Paul, mungkin demikian kalutnya Mel hingga seakan
sudah dua hari ia tidak mempertemukan rambutnya itu dengan sisir.
Paul
terenyuh, turut merasakan beban Mel hanya dengan memandang wajahnya. Ia meraih
perempuan itu ke dalam pelukannya seraya berbisik, “Jangan menyerah, Mel.”
“Tapi
kenapa semua terasa sangat sulit?” tanya Mel dengan kepala terbenam dalam
pundak Paul. Aliran air matanya membasahi permukaan bahu kaus pemuda itu.
“Karena
memang tak ada yang mudah dalam hidup ini,” jawab Paul. Diusapnya berkali-kali
rambut kusut Mel. “Mari kita hadapi ini bersama. Nyanyikan mimpi-mimpi kita dan
terus berjuang. Kelak suatu hari nanti kita akan menari bersama hasilnya.”
Pelan dan lembut, Paul menyenandungkan
satu bait lirik yang ia harap dapat membuat Mel lebih damai dan tenang.
Untuk beberapa menit lamanya, mereka
hanya berdiri.
Saling mendekap, saling
menguatkan.Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia dan Nulisbuku.com