![]() |
ilustrasi oleh Harian Waspada |
SABDA
ANGIN
Oleh
Dian Nangin
Selain ransel besar
yang menggantung di punggung, pemandangan para pendaki yang berjalan beriringan
jauh di depanku, dan angin yang bertiup semakin kencang, tak ada yang menemani
langkahku menaklukkan jalan berbatu nan terjal. Aku sudah terbiasa mendaki
gunung sendiri, namun jelas ini terlalu sunyi. Tak ada kekasihku yang bertahun
lalu setia menemami.
Tak ada lagi kekasihku
yang mencintai bunga-bunga liar. Namun, cinta itu tidak serta merta
menjadikannya semacam ahli, yang hafal nama-nama latin setiap bunga serta
mengetahui jenis-jenisnya. Ia menyukai bunga liar semata untuk kesenangan
pribadi, bisa dikatakan iseng, namun keisengan yang rutin dan konsisten.
“Bunga
liar adalah bunga yang paling tangguh,” begitu dia pernah berkomentar ketika
kami mendaki sebuah gunung di Sulawesi. “Apalagi bunga yang bisa tumbuh di atas
gunung seperti ini. Tak ada yang menanam dan memelihara, namun mereka tumbuh
tak kalah cantik dengan bunga lain yang ditanam di pekarangan, di taman kota,
atau di dalam pot yang diletakkan di dalam rumah—tipikal bunga penuh perawatan
dan disayang-sayang.”
Setidaknya sekali
sebulan, sudah pasti kami pergi mendaki gunung bersama-sama. Atau, paling tidak
trekking ke hutan, bukit, padang,
atau kemana saja. Aku tak lagi kaget mendengarnya dengan norak berseru takjub
untuk hal-hal sepele, seperti melihat hamparan sawah yang menguning sempurna,
sebuah sungai kecil berair jernih, atau sekumpulan kerbau yang tengah asyik
memamah rumput di padang hijau. Pemandangan belantara kota pasti telah
membuatnya muak.
“Kemampuan
menikmati alam adalah kebahagiaan paling sederhana,” ujarnya lagi, seakan aku yang telah bertualang
bertahun-tahun ini tak tahu apa-apa. “Mereka-mereka yang memamerkan harta atau
liburan mewah sebagai kebahagiaan yang sederhana pasti hidup dalam kepalsuan.”
“Hush!
Jangan sembarang bicara. Nggak enak kalau ada yang dengar.”
Ia
memang mengecilkan volume suaranya, namun tetap saja tak henti berkomentar. “Lah,
kita kan bebas berpendapat?”
Aku
hanya membisu, sebab dalam hati aku pun setuju dengannya.
“Tak
ada yang lebih nikmat daripada semangkuk mi instan panas di puncak gunung. Harganya
tidak lebih dari dua ribu lima ratus perak.”
“Apa
bukan karena memang hanya mie instan yang paling praktis untuk perjalanan
melelahkan seperti ini?”
“Tidak
juga,” jawabnya penuh percaya diri. “Apa mungkin kamu akan berselera mengunyah
pizza atau roti berlapis daging-keju-saus-bertabur wijen-dengan harga selangit
di sini?”
“Selera,
kan, tergantung masing-masing orang,” sahutku. Kali ini ia yang membisu. Aku
tahu, ia ‘membela’ mie instan karena ia wanita yang sederhana.
Pertemuan pertama kami
dilatari oleh pegununungan di salah satu negeri ini, ketika ia dan aku mendaki,
masing-masing sendiri. Ia lalu mengizinkanku mengenalnya lebih dalam, lalu
mengikatnya dengan sebuah hubungan asmara. Di balik penampilan
kantorannya—riasan wajah, sepatu tumit tinggi, rambut lurus yang selalu ia
gelombangkan tiap bekerja, serta bau parfumnya yang enak di hidung—ia tetaplah
perempuan yang amat apa adanya ketika telah bersentuhan dengan alam. Karena
itulah aku menyukainya. Kesederhanaan kami berjodoh satu sama lain.
***
Namun,
konsep kebahagiaan sederhana yang dulu pernah digaung-gaungkannya ternyata tak konsisten
digenggamnya. Mungkinkah aku yang terlalu gamblang menerjemahkannya? Atau,
dibalik euforia petualangan yang kami nikmati selama lima tahun, akukah yang
tak mampu membaca apa sesungguhnya isi hatinya?
Tanpa pertanda tanpa
aba-aba, kekasihku pergi dengan lelaki lain. Walau iri, kuakui ia berwajah
tampan, mapan, tidak menyukai alam, dan sama sekali tidak terlihat sederhana.
Amat berlawanan denganku, seumpama timur dan barat.
Aku tak ingin mengakui
ini, tapi sejak kepergian sang kekasih, aku terpasung bayang-bayang. Seiris
demi seiris kesedihan menyayat. Tak sanggup melangkah ke depan, namun juga tak
bisa mundur ke belakang. Cintanya yang tadi masih merekah tiba-tiba saja lindap.
Berganti tetes-tetes air mengirimkan gigil. Sunyi merambat, perlahan mengekal.
Kesunyian itu tetap
menemani hingga kini, tiga puluh tahun kemudian sejak ia meninggalkanku.
Perkara bangkit kembali atau tidak, bergerak pindah ke lain hati atau tetap di
tempat, itu masalah pilihan. Tak ada seorang pun yang kuasa mempengaruhi
pilihan yang kuputuskan.
***
Hidungku menghembuskan
nafas berat. Kurasakan langkahku sudah jauh melambat dari tahun-tahun lalu.
Kelompok-kelompok pendaki lain mulai melewatiku. Beberapa yang mengenalku
langsung menghampiri dan memelukku hangat. Yang belum mengenalku lantas
mengulurkan tangan. Menyenangkan sebenarnya, namun tak lagi kutemukan definisi
bahagia yang sesungguhnya.
Di dalam ranselku
berjejal berbagai perlengkapan kemping, botol air, dan berbungkus-bungkus mi
instan. Panci kecil yang kugantung di tali ransel berguncang-guncang seiring
langkahku. Setiba di tujuan, aku mengatur jarak dari kelompok-kelompok anak
muda. Aku menyalakan apiku sendiri, menyusun batu-batu menjadi tungku, dan
menjerang air.
Kupandang kelompok
pendaki yang bertebaran di sekitarku. Sebagian asyik berfoto-foto, bercanda,
atau bernyanyi diiringi ukulele. Kesepianku semakin mencekik, sebab tak ada
lagi perempuan yang mau memasak dan berbagi semangkuk mi instan panas dengan
lelaki paruh baya.
Kudiangkan tangan di
dekat api yang perlahan membara, sementara telingaku berkonsentrasi mendengar
suitan angin yang datang dari balik gunung. Angin yang lalu menjadi koreografer bagi batang-batang
ilalang. Angin yang mengusik nyala api. Angin yang barangkali datang untuk
menyampaikan sabda takdir untukku.
Ah, mungkin takdir
bagiku adalah tetap menjadi pendaki selamanya, dikagumi oleh anak-anak muda yang
tengah dibakar jiwa bertualang. Tak kurasakan setitik pun manisnya kebanggaan
walau didaulat menjadi tempat berguru, tempat memperoleh saran dan rekomendasi
puncak-puncak tertinggi untuk didaki. Pun tak dapat kunikmati kehormatan dan
kemewahan ketika petualanganku menjadi viral, membuatku diundang ke beberapa
acara televisi. Sebab, dibalik gemerlap eksistensi itu, dalam hati aku tetap
merasa hampa.
Medan,
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar