*saya baru mengetahui perihal dimuatnya cerpen ini pada Juli 2019
![]() | ||
ilustrasi oleh Nusantara News |
JANJI
BERINGIN
Oleh
Dian Nangin
Cekakak-cekikik
sarat keriangan terdengar memenuhi taman itu, amat berbanding terbalik dengan air
muka seorang perempuan tua yang menatap sebatang beringin yang juga sudah tua
di tepi taman. Kepalanya mendongak, memandang ke ujung batang tempat rerimbunan
gelap penuh jalinan kusut akar-akar yang ujungnya jatuh menggantung. Kedua
tangannya bertaut di depan perut, seolah sedang berdoa menyampaikan sesuatu,
entah pada Tuhan atau si pohon beringin.
“Apa kabar kekasihku?
Pernahkah ia datang menemuimu?”
Pelan, ia membisikkan
pertanyaan itu—tak ingin ada telinga lain yang ikut mendengar. Apa yang akan
dipikirkan orang tentangnya bila mendengar pertanyaan yang ia lontarkan
tersebut? Sudah setua itu, namun masih merindukan kekasih? Orang-orang tentu
membayangkannya sebagai wanita tua kebanyakan yang menghabiskan usia senja
dengan merajut benang wol menjadi baju hangat, topi, kaus kaki, atau apapun
yang ia kuasai untuk dihadiahkan pada
cucu-cucunya yang berisik namun ia sayangi.
Pasti tak akan
ada yang menyangka kalau sebenarnya ia masih sendiri,
tak pernah menikah. Masih
perawan malah, tak pernah bercinta barang sekali saja—orang-orang pasti tertawa
mendengarnya; ah, masa?
Namun,
kesendirian itu ia lakoni bukan tanpa alasan. Ada seutas janji yang mengikatnya
bersama seorang lelaki. Janji yang tak berani—tak ingin—ia buka simpulnya sembarangan
seolah ada segudang karma yang siap mengguyurnya.
Sebenarnya puluhan
tahun sudah berlalu sejak ikrar itu terucap. Hanya ada semesta sebagai
satu-satunya saksi. Sebab waktu itu mereka bukan sepasang remaja yang menulis
janji di atas kertas berwarna dan beraroma manis, lalu menguburnya dalam tanah
bersama beberapa barang kenangan untuk digali lagi dalam kurun waktu tertentu,
sebagai pengingat untuk kembali. Lalu merayakan pertemuan dengan gula-gula
kapas, komidi putar, atau bermain game
demi memenangkan sebuah boneka panda. Tidak, itu terlalu picisan.
“Tinggal saja di sini,” si perempuan—yang waktu
itu masih gadis ranum usia belasan tahun—memelas. Dengan mata basah ia menahan
seorang pemuda, kekasihnya, yang bersiap melarikan diri ke dalam hutan bersama
seluruh lelaki di desa, sebab telah tersebar kabar bahwa pasukan Jepang akan
segera tiba.
“Ini sama
sulitnya bagiku; memilih pergi atau tetap tinggal denganmu sama berbahayanya,”
kata pemuda itu.
Si
perempuan terdiam—tahu bahwa kalimat lelaki itu benar. Pernah beberapa waktu
lalu kejadian serupa terjadi. Para lelaki di desa pontang-panting melarikan
diri. Namun pemuda itu—demi cintanya pada si perempuan, menyembunyikan diri di
bawah timbunan anyaman keranjang bambu. Tubuhnya gatal dan memar, namun ia tak
berani bergerak. Beberapa waktu lamanya ia menekuk diri hingga orang-orang
bergegas menyelamatkannya sebelum mati
lemas.
Perang
membuat para lelaki jarang kembali. Kepergian mereka untuk waktu yang tak
menentu seringkali berakhir dengan berita buruk; kematian. Syukur-syukur masih
ada jasad yang bisa ditangisi, namun lebih sering mereka meratapi nama dan
bayangan dalam benak.
“Tunggu aku di
bawah beringin di taman,” ujar lelaki itu demi meredam kegalauan di hati
perempuannya. “Aku tak tahu kapan akan kembali, namun aku pasti akan menemuimu
di sana.”
Tak ada pilihan
bagi perempuan itu selain mengangguk pahit. Dan, disinilah ia berakhir; di
hadapan pohon beringin tua yang tersisih di tepi taman, tak diinginkan. Kelabu
dan kesepian. Ia tak cantik—terlihat angker malah, apalagi sering berhembus
rumor tak sedap tentangnya yang selalu dikaitkan dengan sesuatu yang mistis
atau gaib. Kolam air mancur di tengah taman yang menyemprotkan air dalam
formasi yang telah ditata dan dihiasi patung-patung bangau itu tentu lebih
menarik perhatian.
Perempuan
tua itu mendesah. Sesekali logika mampir di kepalanya. Ah, barangkali janji itu sudah kadaluarsa. Mungkin lelaki itu sudah
menikah, hidup bahagia, menghabiskan masa tua bersama cucu-cucunya, tak
menganggap janji yang terucap dulu pernah ada.
Puluhan tahun
telah berlalu. Lelaki itu pasti telah berubah. Mungkin ia takkan mengenali lagi
seandainya pun mereka bertemu. Sama seperti kota ini. Kota ini telah banyak
berubah. Gedung-gedung menjulang telah menjajah sebagian besar tanah. Beberapa bangunan
tua terperangkap di tengah kota, dibiarkan apa adanya. Dikunjungi sebagian
orang hanya untuk berplesir, mengambil foto untuk eksistensi tanpa benar-benar
menghayati dan peduli pada kisah yang pernah tertoreh di dalamnya.
Atau? Perempuan tua itu
tercenung. Sebuah kemungkinan telah lama bercokol dalam benaknya; satu
kemungkinan paling buruk. Namun ia lebih memilih memelihara harapan. Harapanlah
yang membuatnya tetap hidup.
Mata lamurnya memandang
bocah-bocah yang berlarian hingga bunyi kriyut-kriyut
terdengar dari sepatu mereka yang lucu. Tangan mereka menggenggam tali yang
menahan balon-balon aneka warna di udara. Orang-orang dewasa duduk bersama
pasangan di atas bentangan tikar, menikmati satu dua tangkup roti. Badut-badut
berperut gendut dan berhidung merah mempertontonkan atraksi. Sungguh meriah.
Tahu apa mereka tentang penderitaan masa penjajahan
dulu? desah perempuan itu. Peduli apa mereka dengan sejarah kelam
bangsa ini yang menyiksaku hingga sekarang?
Dihelanya nafas
panjang. Sudah tak menghitung berapa kali ia datang ke tempat itu, namun hingga
lelaki tersebut datang, ia masih akan tetap kembali besok, besoknya, besoknya
lagi, hingga besok untuk kali yang sudah tak terhitung.
“Kinah?”
Sebuah suara
menyebut namanya. Perempuan tua itu termangu. Tumpukan rindu akut sekarang
membuatnya mudah berhalusinasi.
“Kaukah itu,
Kinah?”
Dulu ia sering
membayangkan tentang pertemuannya dengan lelaki itu, melamunkan adegan demi
adegan penuh haru yang akan terjadi suatu hari. Namun ‘suatu hari’ yang
ditunggu itu tak pernah tiba. Kini imajinasi yang terlalu lama mengendap di
benaknya itu terputar begitu saja tanpa diminta.
“Ini benar kau,
kan, Kinah?”
Perempuan itu
menoleh. Seorang lelaki tua berpenampilan lusuh datang mendekat. Sebuah
buntalan kain menggantung di bahunya. Ia tampak seperti baru melakukan
perjalanan panjang dan rautnya menyiratkan betapa ia lega telah tiba di tempat
yang paling ingin ia tuju.
“Toha?!”
Beberapa saat
lalu perempuan tua itu meragu apakah mereka masih akan saling mengenali satu
sama lain setelah rentang puluhan tahun perpisahan. Namun kini, dalam beberapa
detik kedua pasang mata beradu, tahulah ia bahwa ia tak salah mencocokkan nama
dengan wajah.
“Apa ini
benar-benar nyata?”
Langkahnya
terantuk mendatangi si lelaki tua dan lusuh. Segala adegan imajinasi dalam
kepalanya buyar begitu saja. Dalam sekejap, kedua bibir keriput bertemu dan
saling memagut. Lelaki itu merentangkan tangannya yang gemetar dan mengunci
tubuh si wanita tua dalam rengkuhannya.
Orang-orang yang
melihat hanya mengira mereka tak lebih dari pasangan yang sedang dimabuk asmara
pada usia dan tempat yang salah. Beberapa orang tersenyum maklum, sebagian
tertawa geli. Ada juga yang terang-terangan menunjukkan rasa risih.
Para ibu spontan
menutup mata anak-anak mereka, sementara mereka sendiri membuang pandang.
“Jangan tengok! Mereka orang tua sinting!”
“Mereka pikir
mereka masih ABG kali, ya...”
Ada juga yang
bergidik ngeri, seolah pemandangan yang disuguhkan pasangan tua itu menggenapi keangkeran
si pohon beringin. Namun, tanpa hirau pada sekitar, pasangan tua itu semakin
khusuk menikmati pertemuan mereka. Orang-orang itu tak pernah tahu bahwa dalam
setiap kecupan, waktu perlahan memudar. Pasangan tua itu terlempar kembali ke
masa muda dan menjemput apa yang pernah sangat mereka impikan.
Medan,
2016-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar