![]() |
Ilustrasi oleh joglosemarnews.com |
MEMBUNUH
SEORANG PENGARANG
Oleh
Dian Nangin
Kau tahu, sebagai
pengarang, perempuan itu hobi berkeliaran—ia lebih suka menggunakan kata itu
ketimbang kata berjalan-jalan. Ia sering mangkir dari pekerjaan, hingga
akhirnya dipecat setelah berkali-kali menerima teguran. Alih-alih sedih dan
menyesal, ia malah senang. Serupa anak sekolahan yang berbahagia karena diusir
keluar kelas oleh salah satu guru killer
yang dibenci karena telah membuat keributan kecil. Ia jadi bebas melakukan
apapun yang diinginkan.
Maka setelah lepas dari
serangkaian riasan wajah yang rumit, sepatu tumit, serta rutinitas kantoran
yang ia anggap tak lebih dari jeratan yang menyiksa, ia bisa berada di mana
saja. Mungkin suatu kali kau tak sengaja bertemu dengannya di sebuah klub malam,
berpakaian nyentrik, menenggak salah satu merek minuman beralkohol dan
berjingkrak-jingkrak menikmati dentuman musik seperti orang lupa diri. Esoknya
ia telah nongkrong di kampung kumuh tepi sungai, bergaul dengan anak-anak
gembel.
Bisa juga suatu hari
tanpa sengaja kau melihatnya duduk berjam-jam di bangku tunggu stasiun kereta
tanpa berbicara pada siapapun dan tak berniat pergi kemanapun. Pernah juga ia
bersemedi di pemakaman umum, beradu tatap dengan nisan-nisan bisu milik
orang-orang mati yang tak kenal. Seakan roh-roh mereka akan mengguyurnya dengan
hujan ilham.
Tak terhitung nasehat bernada
sama yang ia terima dari orang-orang dekatnya; tak pantaslah seorang perempuan menjalani
hidup seperti itu. Seharusnya ia melakukan pekerjaan baik-baik, yang menjamin
masa depan, atau paling tidak akan membuat reputasinya terlihat bagus.
Sementara—menurut mereka—profesi sebagai pengarang tidak menjanjikan satupun hal
tersebut.
Namun segala petuah itu
hanya berhenti di anggukan kepala. Sebab esoknya ia kembali melanjutkan rangkaian
aktivitas menulis yang begitu ia cintai. Ia kembali berada di tempat-tempat
yang tak orang inginkan untuk ia kunjungi.
Semua itu dilakoni
untuk mengasah kepekaan, katanya beralasan. Untuk mempertajam intuisi dan
menangkapi ilham, ia suka mengasingkan diri dalam kesunyian paling hening. Namun
ia juga sering menceburkan diri di keramaian, sesuai kondisi dan kebutuhan
bahan tulisan yang tengah dikerjakannya.
Kadangkala, di
keramaian itu, satu dua orang mengenalnya. Mereka mengaku melihat profilnya
tercantum di bawah karangan-karangannya di halaman koran ibukota dalam ruang
yang begitu sempit. Disertai pula dengan sebuah foto berwarna berukuran
kecil.
Namun,
tak ada permintaan foto bersama atau paling tidak sebuah coretan tanda tangan.
Sebab ia tak cukup cantik dan ‘bening’ untuk dijadikan idola. Pun,
tulisan-tulisannya belum begitu menggebrak hingga orang merasa tak perlu
mengabadikan pertemuan dengannya. Mereka hanya sekedar menyapa dan mungkin esok
lusa sudah lupa pernah bertemu dengan seorang pengarang yang tak terkenal.
Namun
itu tak membuatnya patah arang. Mengarang membuatnya lebih hidup dan bahagia,
terlepas dari dimuatnya karangan itu atau tidak. Diberi honor tinggi atau
sekedar ucapan terima kasih. Dipublikasikan di harian bergengsi ibukota atau
koran abal-abal yang akan berakhir sebagai pembungkus ikan asin. Ia yakin semua
itu akan membawanya satu langkah lebih dekat pada mimpinya sebagai pengarang
tersohor dan diperhitungkan—walau tak jarang kondisi itu membuatnya terbelit
banyak kesulitan. Terutama di bidang ekonomi.
Tapi, walau mengarang
tak membuatnya kaya, jangan pula kau berpikir kalau ia perempuan urakan seperti
yang sering dialamatkan khalayak pada kaum seniman. Tak selamanya mereka
seperti itu. Buktinya, lihatlah perempuan itu petang ini. Ia berdandan dengan
manis.
Beberapa jam lagi malam
minggu akan tiba. Walau tak punya kekasih, namun ia bersiap untuk sebuah kencan
di taman kota. Ia akan berkencan dengan....isi kepalanya! Baginya itu akan
lebih membawa manfaat ketimbang mendengar rayuan-rayuan basi mulut lelaki
selama berjam-jam yang hanya akan menghambat kinerja otaknya.
***
Di
bangku yang berada di sudut taman yang tak terlalu ramai orang, ia duduk
tercenung dengan smartphone di tangan.
Halaman note terbuka menganga,
menunggu kekosongannya dipenuhkan. Itu telah menjadi kebiasaan si pengarang,
mengikuti saran para pengarang lain yang sering ia terima. Karena, segala sesuatu
yang melintas dalam benak harus segera dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Inspirasi—yang mengendap atau cuma numpang
lewat—sering memberati hati dan pikirannya. Harus segera diterjemahkan ke dalam
kata-kata. Serupa beban yang menumpuk di dada seorang gadis cengeng yang akan
segera menguap lewat curahan air mata.
Pengarang
itu menatap berkelompok-kelompok orang yang duduk bersantai di tengah taman. Matanya
liar bergerak, menangkap sebanyak mungkin pemandangan. Membaurnya dengan
sejumlah imajinasi. Membentuk beragam kemungkinan tokoh atau latar yang akan
membentuk sebuah cerita. Barangkali itulah kelebihan seorang pengarang. Apa
yang dilihat mata orang biasa, tak pernah sama dengan apa yang dipandang oleh
seorang pengarang—walau si pengarang sendiri juga hanya manusia biasa. Bukan
dewa.
Perempuan
itu tengah khusyuk menulis ketika dari arah jalan datang seorang lelaki paruh
baya. Wajahnya dibalut amarah dan tampak terburu-buru, seakan siap menghabisi siapa
saja yang menghalangi langkahnya. Dan, ia berjalan menuju si pengarang.
Perempuan
itu baru mengangkat wajah ketika sepasang kaki lelaki tersebut berhenti tepat
di hadapannya. Ia mengerutkan wajah. Ia yakin belum pernah bertemu lelaki itu,
namun ia merasa sosok itu akrab di matanya.
“Aku
ingin menjadi ksatria!” tegas lelaki itu tanpa basa-basi. “Bukan pembunuh
berdarah dingin.”
Pengarang
itu terhenyak, kaget. Ia mengedipkan mata dan perlahan mengingat bahwa ia memang
mengenal lelaki ini.
“Aku
juga mau menyampaikan keberatan!”
Si
pengarang melongokkan kepala. Di belakang lelaki itu telah berkerumun sejumlah
manusia dan makhluk yang semua dikenal baik olehnya. Mereka bergantian
mengajukan protes.
“Aku
ingin dihadiahi sepotong senja1 dari kekasih yang pemberani,”
seorang perempuan pucat berambut panjang menginterupsi,”bukannya dihabisi oleh
pacar pengecut dan ditelantarkan menjadi arwah gentayangan.”
Perempuan
pengarang itu menggeleng-geleng. Pusing. Ini semua hanya ilusi, pikirnya. Tak
pernah terlintas dalam benaknya bahwa tokoh-tokoh karangannya akan menyerangnya
atas keputusannya membuat mereka memainkan peran yang tak mereka inginkan. Padahal
menurutnya peran tersebut sudah bagus dan pas.
“Aku tak mau berakhir
sia-sia dengan kelopak yang dicabut satu persatu oleh perempuan nelangsa yang
sedang menghitung hari menunggu kepulangan kekasihnya.” Setangkai mawar merah
yang tiba-tiba punya kaki menyeruak dari keramaian itu. “Aku ingin jadi
pahlawan cinta yang mati dalam dekapan gadis yang sedang kasmaran.”
“Lihatlah
pengarang-pengarang beken itu!” yang lain ikut berujar. Si pengarang
menangkupkan kedua tangan di wajah hingga tak mengenali lagi siapa yang kini
tengah berbicara.
“Apa saja yang mereka
tulis menjadi bahan perbincangan orang-orang. Sementara kau hanya menulis
sesuatu penuh basa-basi, sepele, sampai kami bosan menunggu diterbitkan.”
“Aku
juga masih terus belajar,” pengarang itu membela diri. Ia lalu menyadari bahwa
kumpulan makhluk yang kini menyerangnya berasal dari tulisan-tulisannya yang
tak kunjung mendapat tempat di halaman-halaman koran. “Bersabarlah sampai aku
membenahi kalian satu persatu dan menulis dengan lebih baik lagi.”
“Antrean
begitu panjang dan kami lelah selalu disalip oleh tulisan milik pengarang beken
itu,” ujar seorang wanita tua, kecewa. “Aku ingin kau tahu bahwa aku begitu
rindu dibaca orang sebelum nanti mati. Kupikir waktuku sudah tak lama lagi.”
“Tampaknya
kau tak begitu berbakat menjadi pengarang!” sebuah kalimat menohoknya.
“Tapi...”
si pengarang mencoba berkilah.
Namun
mereka tak memberinya kesempatan untuk membela diri. “Kau hanya membuat nasib
kami menjadi sial!”
“Bukan
begitu! Dengarkan dulu....”
Lelaki
yang ingin menjadi ksatria tiba tiba mengeluarkan sebilah belati yang terselip
di balik pinggang celananya. Si pengarang tak sempat mengantisipasi apapun
ketika belati itu terayun cepat dan menancap di dadanya. Peristiwa itu terjadi
begitu mendadak, mengagetkan. Tanpa
komando, kumpulan makhluk itu membubarkan diri. Menghilang tanpa jejak.
Lelaki
itu terbahak, puas. “Kau terlalu amatir dan keras kepala. Kalau kau memang
ingin menjadikanku sebagai pembunuh berdarah dingin, biarlah kau yang jadi
korban pertamaku!”
Usai berkata demikian,
ia juga melesat pergi. Tinggallah si pengarang terbaring tanpa daya, babak
belur dan sekarat. Raut wajahnya tak dapat kutebak, apakah ia menyesal dan
merasa seharusnya menuruti permintaan tokoh-tokoh itu, atau ia malah bersyukur
bahwa hingga akhir hayatnya ia tetap mempertahankan apa yang menjadi komitmennya.
Baru kali ini aku melihat seorang pengarang tak bisa menundukkan tokoh karangannya
sendiri.
***
Dering
telepon tiba-tiba memecah lengang, mengacaukan keheningan yang hampir dua jam telah
membungkusku. Sebuah inspirasi yang tadi tengah berpijar dalam kepalaku
mendadak buyar tanpa sisa. Tak ingin diganggu lebih lama lagi, segera kuraih
ponsel itu dan menjawab panggilan tersebut.
“Halo?”
“Selamat
siang. Saya dari redaksi surat kabar kota, ingin mengabarkan bahwa cerpen anda
akan dimuat di edisi Sabtu besok.”
Aku tersenyum, lebar dan lama. Tak
sia-sia aku membunuh pengarang itu!
Medan,
2017
Keterangan:
1. Mengacu
kepada cerpen Seno Gumira Ajidarma dengan judul lengkap ‘Sepotong Senja Untuk
Pacarku’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar