*saya baru tahu perihal dimuatnya cerpen ini pada Juli 2019 😮😆
![]() |
ilustrasi oleh Tanjungpinang Pos |
AWAN
DAN OMBAK
Oleh
Dian Nangin
Ada beberapa hal
yang ditakdirkan hanya untuk saling memandang, saling mengagumi. Tumbuh
keinginan untuk memiliki, namun sang takdir menuliskan alur berbeda. Mereka
ada, tidak untuk bersama.
Seperti ombak,
yang sampai kapan pun tak akan pernah merengkuh awan. Terlalu jauh untuk ia gapai.
Sang ombak hanya bisa termangu memandangi awan, putih berarakan bagai sepasukan
malaikat penghuni nirwana. Yang dapat ia lakukan hanyalah cemburu pada langit,
karena si ombak dapat menangkap isyarat kesungguhan
cintanya untuk awan.
Kurang lebih
sama. Helena dengan Agung.
Meski
hubungan itu takkan pernah berjalan seperti yang Helena harapkan, ia tidak akan
‘mengasingkan’ Agung dari hatinya. Dengan dada lapang, ia belajar melepas
sekaligus mengenang. Berharap dengan begitu ia bisa berdamai dengan takdir yang
tidak sepaham dengan keinginannya.
***
Helena dan Agung
berjalan bersisian. Gadis itu melepas sandal dan menentengnya, membiarkan
telapak kakinya bersentuhan langsung dengan pasir.
“Kamu tahu apa
yang pas menggambarkan hubungan kita sekarang?” suara Helena amat pelan, nyaris
tersamar debur riak yang berirama.
“Apa?” Agung menoleh,
mendapati wajah serius gadis itu.
“Awan dan
ombak.”
“Kenapa begitu?”
“Sampai kapanpun
tidak akan bisa bersama. Terlalu jauh. Terlalu sulit.”
Agung mengangguk
kecil. “Cukup tepat.”
Ombak yang
mencapai pantai menjilati kaki-kaki mereka yang berlumur pasir. Gadis itu
menarik nafas panjang. Awan putih berarakan jauh di angkasa, bergumpal-gumpal
menutupi mega biru. Pemandangan yang menenangkan.
“Tapi, apa kamu
tahu? Ada hal yang sebenarnya menyatukan mereka berdua,” ucap Agung tak kalah
serius.
Raut Helena
penasaran. “Apa itu?”
“Hujan.”
“Hujan?” kening
perempuan itu berkerut.
“Di awanlah
terbentuk titik-titik air yang menguap dari laut, dan lalu turun dalam bentuk
hujan yang menyiram bumi.”
“Hubungan yang
unik dan bagus, ya.” Senyum Helena terlihat miris. Kalau boleh jujur, jelas
bukan hubungan seperti itu yang ia inginkan.
“Awan seharusnya
bersanding dengan langit, ya!?” Entah kemana pertanyaan itu Agung tujukan.
Entah pada Helena, atau pada dirinya sendiri.
”Ya. Dan, ombak
pasti menemukan pantai,” lirih, Helena menyahut.
Agung
manggut-manggut. Lama keduanya membisu hingga akhirnya lelaki itu kembali
angkat bicara. “Meski begitu, tak usah bersedih. Walau tidak bisa bersatu,
tetap ada banyak hal yang bisa mereka nikmati bersama.”
“Contohnya?”
“Seperti sunset sekarang.”
Agung
menghentikan langkah. Helena ikut diam, menjejak. Mereka berdiri bersisian
menghadap barat. Bundar matahari perlahan membenamkan diri. Kini hanya tersisa
separuh tubuhnya di ujung cakrawala, memantulkan warna oranye pekat di atas
permukaan air yang bergerak-gerak.
“Tidak hanya itu.
Ada angin. Hujan tadi,” Agung menambahkan.
“Mungkin sesekali ada pelangi.”
“Atau sekawanan camar
yang melintas.”
Demikian mereka
sahut menyahut, menyebut apa yang terlihat mata, yang terasa oleh hati. Gumpalan
awan kini berwarna jingga. Matahari senja juga membiaskan cahaya di permukaan
laut—mereka disatukan oleh warna yang sama.
Dari ekor
matanya, Helena dapat menangkap gerakan kepala Agung mendongak, memandang jauh
ke atas. Tak ingin ketahuan mencuri pandang, perempuan itu lalu menatap ke
depan. Ombak bergulung-gulung dari tengah laut, kemudian pecah ketika mendekati
pantai. Sisa-sisa riaknya mencapai tempat mereka berdiri, menyapu kaki-kaki
telanjang keduanya hingga terasa dingin. Dingin yang kini merambat naik ke
dada. Keeksotisan pemandangan senja ini tak sedikitpun menabur romantisme.
Meski ada luka
tak berwujud dalam ceruk hati, Helena ingin meyakini ada hal menyenangkan yang
kelak masih bisa mereka nikmati—seperti yang Agung katakan—sekalipun mereka
akhirnya tidak bersama. Akan ada kebahagiaan sebagai bayaran keikhlasannya
melepas Agung, karena sejak awal lelaki itu sudah memiliki langitnya sendiri.
Pertemuan Agung
dengan Helena—ombak yang ingin ia rengkuh, nyaris meruntuhkan kesungguhan
ikrarnya. Sekali, dua kali, tiga kali pandangan bertemu, tahulah mereka ada
kilatan sinar tak biasa di masing-masing mata. Disertai debar dada yang
iramanya berbeda.
Seluruh
kerumitan ini bermula sewaktu ibu perempuan itu memutuskan menikah lagi dengan
lelaki yang juga sudah tak lagi muda. Pasangan itu masing-masing membawa satu
orang putri. Agung lalu hadir sebagai lelaki yang mendampingi putri sang ayah
tiri.
Diam-diam hati
Helena dan Agung ikut menyatu kala kedua keluarga berpadu. Tahu-tahu keduanya
lalu tersadar, sungguh tak terasa dua tahun sudah mereka mengelabui banyak
mata. Diam-diam saling menumpahkan rasa. Hingga kemudian di rahim wanitanya
Agung kembali menanamkan benih cinta, calon anak kedua. Helena lalu dipinang
kekasihnya.
Maka di sinilah
mereka sekarang, sepakat mengahiri segala sesuatu.
***
Gumpalan awan gemawan
di angkasa itu hanya bisa memandang riak-riak si ombak dari ketinggian. Awan
sadar, ia takkan mampu menyentuh buih-buih ombak, meski ia sangat ingin. Namun,
awan tahu tak boleh ia egois. Awan akan belajar merelakan ombak bermesraan
dengan pantai.
Awan akan tegar,
itu janjinya.
“Helena...!”
seorang lelaki dengan celana tergulung sampai lutut datang dengan berlari-lari,
meningkahi ombak. Bocah perempuan berkuncir yang menunggangi pundaknya
tertawa-tawa senang. Terlihat kekompakan dan kedekatan yang tulus di antara
mereka. Lelaki itu menyerahkan si bocah pada Agung, ayahnya, lalu memandang kekasihnya.
“Makan, yuk!”
“Kita harus
tunggu Kak Pratiwi dulu,” ujar Helena sambil mengedar pandang, mencari sosok
sang saudari tiri yang belum tampak kehadirannya di sekitar pantai.
Agung mendorong ringan bahu Helena ke arah si
lelaki dan berujar dengan tatapan penuh arti. “Sudah, sana! Nanti kami malah
mengganggu, lagi....”
Helena tak menolak, hanya membiarkan jemarinya
yang kecil dan ramping digenggam oleh kekasihnya, merasakan hangat genggaman si
kekasih menulari telapaknya yang dingin. Perempuan itu menatap lurus ke depan,
menahan kepalanya agar tak menoleh walau sekali. Langkah demi langkahnya meninggalkan
jejak di pasir yang akan menghilang disapu ombak atau angin malam. Persis
harapan hatinya; bahwa segala duka memilu saat ini kelak akan enyah dilahap waktu.
Pasangan itu
berjalan semakin menjauh menuju gerai-gerai makanan yang mulai ramai, hingga
bayangan keduanya hanya menjelma siluet di mata Agung.
Kau sudah menemukan pantai yang bagus, Na,
lelaki itu berucap dalam hati. Ia kemudian berbalik ketika sebuah suara lembut memanggil
namanya. Disambutnya perempuan yang sedang berjalan ke arahnya itu sambil mencoba
mengembangkan senyum.
Medan,
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar