![]() |
ilustrasi oleh Analisa |
BINTANG
KEHIDUPAN
Oleh
Dian Nangin
Langit malam ini sungguh gelap. Aku
tak pernah benar-benar memperhatikan langit sebelumnya—kecuali pada malam jelang
tahun baru karena ada pesta kembang api. Tapi malam ini, sembari menyandarkan punggung di sofa usang di
belakang rumah, mataku lekat menatap kelamnya langit yang seakan menggenapi
kesedihanku. Aku sering mendengar kalimat ‘kesepian di tengah keramaian’ dan
kupikir kalimat itu terlalu berlebihan. Kini tiba waktuku mengalaminya sendiri
dan merasakan kebenarannya.
Ruang depan masih dipenuhi orang
sekalipun jasad ibu sudah kami antarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya sore
tadi. Sebagian kerabat masih belum akan pulang hingga beberapa hari ke depan.
Sebagian berkata masih ingin menemaniku dan nenek, sebagian beralasan ingin
ikut dalam acara doa bersama yang akan diadakan oleh perkumpulan tetangga dan
persekutuan tempat ibadah kami. Suara bincang-bincang terdengar dari arah
depan, diselingi bunyi langkah kaki yang hilir mudik ke dapur entah untuk keperluan
apa saja.
Namun, untuk sesaat, aku serasa
tuli.
Tak mendengar apapun karena aku hanyut dalam duniaku sendiri. Kemarin
malam ibuku meninggal setelah beberapa bulan melawan penyakitnya. Ayah telah
lama tiada. Aku masih berumur tujuh tahun waktu itu dan kenanganku tentangnya
pun tidak banyak. Aku hanya mendengar cerita mengenai sosok ayah dari ibu dan
nenek. Lewat cerita itu aku tahu bahwa ayahku adalah lelaki gagah namun
penyayang, sekaligus pekerja keras.
Kini, sepuluh tahun kemudian, ibu
menyusul ayah. Dulu, aku sesekali bertanya apa ibu merindukan ayah. Apa ibu
begitu mencintai ayah hingga tak terpikir lagi olehnya untuk mencari teman
hidup yang baru dan menikah?
“Tentu saja. Ibu selalu merindukan
ayah. Dan, ibu sudah punya kamu, untuk apa mencari teman hidup yang lain? Kamu
tidak akan pernah meninggalkan ibu, kan?”
Aku mengangguk, lalu memeluknya.
“Aku tidak akan meninggalkan ibu, apapun yang terjadi.”
Tapi, kenyataannya, ibu yang lebih
dulu meninggalkanku. Ia pergi untuk selamanya, dan kuharap ia akan bertemu
dengan ayah untuk menuntaskan rasa rindunya.
***
Aku pernah membaca dongeng atau buku-buku
fiksi yang mengatakan bila orang yang sangat kau cintai kelak tiada, ia akan
berubah menjadi bintang yang mengawasi sekaligus menerangimu dari langit. Aku
sudah bukan kanak-kanak lagi dan aku tahu cerita itu tidak benar, hanya semacam
penghiburan penuh tipuan.
Namun,
saat ini betapa aku ingin meyakininya lagi seperti anak kecil yang mempercayai
hal-hal ajaib dan kadang tak masuk akal. Kuenyahkan segala logikaku dan kini
hampir satu jam aku memandangi langit, tapi tak kulihat satu pun bintang
pertanda ada ibuku di sana. Sungguh tak ada setitik pun sinar yang bisa
menerangi muramnya hatiku.
“Kamu ternyata di sini, Jessy?”
sepotong tangan keriput menyentuh bahuku. “Nenek mencarimu kemana-mana.”
“Aku di sini, Nek,” sahutku. Kini
hanya wanita tua ini yang kumiliki. Aku tak ingin membuatnya lebih sedih, maka
kucoba untuk tersenyum “Aku hanya ingin menikmati udara segar sebentar.”
“Ayo, masuk. Acara doa bersama akan
segera dimulai.”
Aku
bangkit. Sebelum masuk mengikuti langkah nenek, kepalaku menoleh sekali lagi ke
arah angkasa yang gulita. Dan, aku masih tak menemukan setitik pun cahaya.
Harapanku pupus.
Nenek
berjalan pelan di hadapanku. Seluruh rambutnya hampir memutih sempurna dan
tinggi badannya sudah jauh menyusut seiring menua usianya. Ah, aku juga sangat
jarang benar-benar memperhatikan nenekku. Maksudku, aku sayang padanya dan kami
berbagi hari-hari bersama karena selama ini ia tinggal bersama aku dan ibu,
namun kesibukanku di sekolah membuatku melewatkan perubahan apa saja yang telah
terjadi padanya. Bintik-bintik hitam di wajahnya bertambah banyak, kulitnya
semakin mengerut, dan mata bulatnya dulu kini menyipit.
Kusadari
satu hal, bahwa dulu, ia menjelma matahari bagi anak-anaknya. Matahari adalah
bintang terbesar di jagat raya, poros tata surya, pusat kehidupan. Demikian nenekku
menjadi poros kehidupan dan kekuatan anak-anaknya—ibu, paman dan bibiku.
Setelah aku lahir, ibu lalu menjadi bintangku. Ia menerangi dan membimbingku
untuk mengenal yang baik dan yang buruk.
Tapi,
kini sumber cahaya terbesarku sudah tak lagi ada. Kemarin, penyakit yang sekian
lama mendera tubuhnya telah memadamkan cahaya itu. Sekarang aku harus berdiri
tegak seorang diri. Mandiri. Ditambah lagi, beberapa jam sebelum menghembuskan
nafas terakhir, ibu menitipkan nenek padaku. Aku harus mengurus diriku
sekaligus membagi perhatian dengannya. Entah dari mana akan kutemukan kekuatan
yang besar untuk melakukannya. Aku tahu ibu tak akan ingin aku redup, namun aku
juga tak tahu bagaimana menjadi bintang tanpa kehadirannya di sisiku.
“Kamu akan bersinar dengan caramu
sendiri, Jessy.”
Aku
terhenyak. Entah darimana aku mendengar bisikan itu. Dan, aku yakin aku tidak
sedang berhalusinasi. Aku menoleh ke kanan, kiri, bahkan ke belakang. Namun tak
ada seseorang yang tampaknya baru berbisik padaku. Semua masih sibuk dengan
kegiatan masing-masing. Ada yang membersihkan ruangan, merapikan bentangan
tikar di lantai, menata gelas-gelas di meja, dan sebagainya.
Kudongakkan kepala dan mendapati
foto ibu terbingkai figura menggantung di dinding. Ia mengenakan kebaya
berwarna merah muda, rambut berhias sanggul, dan mengenakan sarung batik. Aku
menatap matanya dan seketika aku tahu, bahwa aku akan menemukan kekuatan lewat
semangat hidup yang telah diwariskannya padaku. Ibu tersenyum anggun. Di foto
itu, ia akan tersenyum selamanya dan begitulah aku ingin mengenangnya.
Medan,
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar