![]() |
ilustrasi oleh Renjaya Siahaan |
BARLIN
DAN ANJING-ANJING
Oleh
Dian Nangin
Di sebelah utara desaku
terdapat sebuah balai yang cukup luas dan sering digunakan untuk beragam keperluan.
Tak terhitung sudah berapa kali di sana berlangsung perhelatan pernikahan,
rupa-rupa hajatan, pesta-pesta adat, pun sekali sebulan disulap menjadi pasar
tradisional yang ramai dikunjungi bahkan oleh penduduk kampung sebelah.
Di belakang balai itu
ada sebuah dapur besar tempat pemilik pesta menyiapkan konsumsi. Di sanalah
ayam-ayam disembelih, kerbau dijagal dan babi-babi dibantai, lalu diolah menjadi
hidangan untuk menjamu tamu dan handai taulan.
Sudah menjadi kebiasaan di
kampung kami bahwa keluarga pemilik pesta memasak sendiri bagi tamu-tamunya.
Siapapun yang pernah
datang ke balai desa kami, pasti tahu tentang tujuh anjing tak bertuan yang
entah sejak kapan telah bercokol di sana. Aku yang sejak sepuluh tahun silam
telah meneruskan usaha kedai kopi warisan bapak di sisi kanan balai desa tidak
terlalu menaruh perhatian, jadi tak tahu kapan persisnya mereka mulai ada di
sana.
Sekumpulan hewan
berkaki empat itu layaknya anjing kampung biasa yang buang hajat sesukanya,
mengucurkan kencing sekehendak hati, atau kawin mengawini tak pandang tempat. Menggantungkan
hidup pada peruntungan dari isi tong sampah sebab tak ada satupun penduduk
kampung yang mau mengambilnya untuk dipelihara. Jadi, bila kau berkunjung ke
desaku, jangan harap menemukan orang yang keluar jalan-jalan sore bersama
anjing-anjing mereka yang terawat dan lucu seperti adegan film orang barat itu.
Penduduk desa pulang dari ladang setelah petang. Anjing-anjing itu punya
kehidupan sendiri. Semesta yang memelihara mereka.
Sebenarnya, tiap kali
ada pesta, tukang masak di dapur balai desa sesekali melemparkan daging atau
bagian-bagian tubuh hewan yang tak ikut dimasak pada anjing-anjing itu. Tentu
saja langsung mereka gasak. Namun, anehnya, walau ada berember-ember daging
potong siap masak yang ditempatkan di dapur, kawanan itu tak pernah
menyentuhnya sekalipun. Hanya menatap tanpa pernah mencelupkan moncong-moncong
mereka yang berliur ke dalamnya, seolah tabiat mereka yang dikenal rakus dan
serakah telah lenyap entah kemana.
Begitulah.
Pesta demi pesta digelar. Anjing-anjing tersebut berlaku bak petugas keamanan
paling setia dan tak pernah berbuat macam-macam. Pun tak pernah mencuri daging
dan hanya memakan apa yang dilemparkan pada mereka. Mengherankan memang, namun
itu adalah misteri yang tak dapat diurai secara ilmiah atau secara mistis.
Nah,
kejadian aneh lainnya terjadi ketika Barlin pulang kampung dengan gelar sarjana
telah tersemat di belakang namanya. Ia adalah tetangga sekaligus teman dekatku.
Kami berpisah usai menamatkan SMA karena ia memutuskan melanjutkan pendidikan
ke ibukota yang harus ditempuh berjam-jam lamanya dari desa kami.
Yang
aneh adalah, dari sekian ratus penduduk kampung—ditambah puluhan penduduk
kampung sebelah yang sering berkunjung, hanya Barlin seorang yang digonggongi
anjing-anjing penghuni belakang balai desa itu. Padahal ia juga bagian dari
warga yang lahir dan besar di kampung ini, bukan orang asing. Tak ada yang
berbeda darinya, kecuali mungkin pakaian dinasnya yang saban pagi selalu rapi,
pun berbau harum.
Barangkali boleh
disebut keberuntungan, atau memang sudah takdirnya bernasib baik, ia menjadi
orang pertama dari kampung kami yang berhasil menjadi wakil rakyat di usia yang
relatif muda. Sebuah pekerjaan yang mulia nan bergengsi, berbeda dengan kebanyakan
penduduk kampung yang berprofesi sebagai peternak atau petani yang akrab dengan
bau pupuk atau tai sapi.
Sejak mendapat
perlakuan tak menyenangkan dari kawanan anjing itu, Barlin selalu menjaga
gerak-geriknya. Langkahnya waspada ketika keluar masuk rumahnya yang terpaut hanya
beberapa meter di belakang balai desa. Ia tak ingin terlihat oleh anjing-anjing
kampung itu. Bila keberadaannya terdeteksi oleh mereka, moncong-moncong penuh
kemarahan akan terulur-ulur, menyalak sahut menyahut, gigi-gigi tajam menyeringai,
seakan siap menerkam Barlin seolah setiap pergerakan lelaki itu mengesalkan
hati mereka.
Tak
jarang Barlin menerobos kedaiku untuk menghindari anjing-anjing itu dan keluar
dari pintu belakang. Dari sana ia mengendap-endap, menyusup masuk rumahnya sendiri.
Betapa aku iba bercampur geli melihatnya. Barlin benar-benar terintimidasi oleh
hewan-hewan yang sesungguhnya memiliki derajat yang jauh di bawah manusia itu.
“Menurutmu,
mengapa anjing-anjing itu memperlakukanku berbeda dengan orang lain?” tanya
Barlin suatu hari ketika ia duduk bersamaku di bagian dapur kedai paling dalam.
Bahkan, untuk sekedar minum kopi dan bersantai sejenak, ia tak dapat berbaur
dengan pengunjung lain di meja-meja depan.
“Barangkali
dulu, pada masa lalumu, kau pernah berperilaku buruk terhadap seekor anjing,”
kataku berpendapat.
Ia
tercenung sesaat. ”Seingatku tidak pernah. Kalaupun ya, bagaimana itu bisa
terhubung dengan mereka?”
“Mungkin
pada suatu masa kehidupan, anjing-anjing itu telah bertemu dan bertukar
informasi, bahwa kau orang yang patut diwaspadai,” sahutku asal.
“Omong
kosong!” Wajah Barlin masam. Aku tertawa kecil. Tak kutemukan alasan yang tepat,
tak peduli seberapa lama dan sejauh apapun aku mencari tahu penjelasan atas
tingkah ganjil tujuh anjing itu terhadap Barlin.
Kadang ada kalanya
kawanan hewan tersebut tetap menyalak ke arah rumah Barlin sekalipun sahabatku
itu tidak keluar dari pintu. Seolah baunya saja cukup untuk menyulut kemarahan
mereka. Seperti sore ini.
“Diam!
HUSH!” Barlin menghardik dari loteng rumahnya. Ia sedang mengangkat kain jemuran
di atas dan anjing-anjing menggonggonginya dari bawah. Orang-orang sampai
menoleh, melongok dari jendela, bahkan keluar rumah untuk melihat kejadian itu.
“Ada
apa, Barlin?” aku berteriak untuk mengalahkan ributnya suara salakan.
“Anjing-anjing
sinting!” ia mengumpat dengan suara tak kalah keras. “Mereka membuatku terlihat
seperti pencuri di siang bolong, di rumahku sendiri!”
Terdengar tawa dari berbagai arah. Setiap
orang tampak terhibur. Kecuali Barlin, tentu saja.
“Apa
aku pergi saja dari desa ini?” Barlin bertanya, entah ditujukan padaku atau
pada dirinya sendiri. Ia tampak berpikir sebentar, lantas mengangguk-angguk seolah
baru menemukan solusi jenius untuk menyelamatkan diri.
“Kau dengar itu, kawan?
Aku akan membangun rumah di kota dan pindah ke sana. Aku tak akan bertemu lagi
dengan anjing-anjing sialan itu!”teriaknya sekuat tenaga.
***
Sejak
kejadian itu, nyaris dua bulan Barlin tak pulang. Selama itu pula desa kami
sepi dari salakan anjing. Kawanan hewan itu kini hidup tenang dan tentram. Walau
bukan suatu perkara yang mengundang perhatian, namun benakku menyimpan sejumput
tanya. Apa Barlin sudah berhasil membangun rumahnya di kota dan benar-benar
pindah ke sana? Dan, penyebab itu semua hanyalah sekumpulan anjing?
Sore
itu, seperti biasa, aku sibuk berkutat dengan bubuk kopi, air mendidih, gula-susu,
dan segala perkakas ketika pengunjung kedai bersahut-sahutan menyerukan nama
Barlin. Kepala-kepala mereka mendongak, menyimak berita yang ditayangkan
televisi yang bercokol di pojok kanan kedai. Aku menghentikan aktivitas
menyaring bubuk-bubuk kopi dan bergegas meninggalkan dapur, ikut bergabung
bersama orang-orang menonton televisi.
“Wah, tak kuduga ternyata
Barlin sampai hati melakukan korupsi!” Seseorang menyeletuk.
“Muda
dan terpelajar, tapi ternyata dia menelikung negara ini—menusuk kita dari
belakang.” Seorang lagi berdecak.
“Rambut boleh sama
hitam, tapi hati siapa yang tahu...” Yang lain menimpali. Komentar bernada sama
terus terucap di sana sini.
Di layar, tampak seorang
lelaki muda keluar dari sebuah bangunan dengan kepala tertunduk-tunduk ketika
menghadapi sorotan kamera dan serbuan tanya. Pakaiannya bukan lagi seragam khas
yang ia kenakan setiap pagi ketika berangkat kerja, melainkan sebuah setelan
khusus bagi tahanan KPK. Tak ketinggalan sejumlah lelaki lain mengapitnya di
kanan kiri, mengawalnya ketat, tak memungkinkan lelaki itu mencuri sedikit saja
kesempatan untuk melarikan diri.
Kutatap televisi
lekat-lekat. Memang benar itu Barlin. Teranglah kini tentang keberadaan dan
tingkah laku yang selama ini disembunyikannya dari seluruh penduduk desa. Sungguh
aku kecewa padanya.
Pengunjung kedai yang
meminta suguhan kopi atau teh memaksaku kembali ke dapur. Aku baru akan
beranjak ketika tiba-tiba terdengar suara berisik dari arah luar. Semua orang
menolehkan kepala. Tampak anjing-anjing kampung penghuni belakang balai desa
telah berkerumun di depan kedai. Mendadak mereka menyalak bersahut-sahutan dengan
mata berkilat menahan geram. Arah tatapan mereka tertuju pada....televisi!
Tampak di layar Barlin
mengangkat wajah sejenak. Sontak anjing-anjing itu menyalak lebih keras, penuh
amarah.
Medan,
2017-2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar