![]() |
ilustrasi Analisa |
BAJU
SERAGAM
Oleh
Dian Nangin
Anggun sangat bersemangat memenuhi
kantong belanjanya dengan pylox aneka
warna. Di samping mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian, temanku sejak SMP
itu juga membuat persiapan maksimal untuk acara perpisahan—terutama untuk acara
corat-coret baju seragam seusai ujian. Ia sudah menabung selama dua bulan untuk
membeli beberapa botol cat semprot itu.
“Kamu pengen warna apa aja, Sarah?” ia
bertanya. “Aku yang beliin, deh...”
Aku mengangkat bahu. “Terserah. Lagian
aku kayaknya nggak bakal ikut. Sayang bajunya. Mending disumbangin!”
“Ayolah, Sarah! Waktu SMP juga kamu
nggak ikut acara corat-coret seragam. Alasannya juga sama. Ini terakhir kali
kita pakai seragam, lho! Lagipula seragam kamu itu udah butut, kalaupun
disumbangin, siapa yang mau menerima, coba?”
Satu sisi hatiku bimbang. Seperti kata Anggun,
ini adalah terakhir kalinya seragam sekolah melekat di tubuhku. Pasti ada
sensasi yang berbeda ketika pylox
aneka warna cantik itu menyembur di pakaianku. Tapi sisi hatiku yang lain
merasa sayang kalau baju yang sebenarnya masih layak pakai ini terbuang
sia-sia. Pasti ada seseorang di luar sana yang masih membutuhkannya.
***
Hari-hari salah satu penentu masa
depan itu kulalui dengan gugup. Dan, fiuh! Kami semua menarik nafas lega ketika
ujian berakhir. Sebelum pulang, semua anak kelas tiga dikumpulkan di lapangan
karena ada beberapa hal yang ingin disampaikan kepala sekolah. Beberapa anak
terlihat tidak sabar ketika Pak Rahmad, kepala sekolah kami, memberitahu
jadwal-jadwal penting seperti pembagian rapor, tanggal kelulusan, dan
sebagainya.
“Aduh, Pak Rahmad cuma buang-buang
waktu, deh! Sekarang udah jaman modern. Semua jadwal itu, kan, bisa dikasih
tahu lewat WA,” gerutu Anggun di sebelahku. Ia adalah satu di antara mereka
yang terlihat grasak-grusuk karena tak sabar ingin segera merayakan ujian yang
telah usai.
Tapi aku tak mempedulikan kekesalannya.
Perhatianku tertuju pada hal lain. Melalui ekor mata aku melirik seseorang
cowok yang berjarak tiga meter di sisi kiriku. Yudha, siswa kelas sebelah yang
baru kukenal ketika masuk kelas dua. Itupun tak sengaja karena kami memilih
bidang ekstrakurikuler yang sama. Padahal sejak kelas satu aku sudah diam-diam
memperhatikannya.
Pikiranku melayang. Entah kapan kami akan
berjumpa lagi setelah nanti berpisah di gerbang sekolah. Entah cita-cita apa
yang ingin diraihnya. Hubungan kami biasa-biasa meski ia pernah mengatakan
bahwa aku salah satu teman terbaiknya. Kurasa ia berkata begitu karena tempo
hari aku bersedia meminjamkannya koleksi novel miliku sebagai referensinya
menulis fiksi. Teman terbaik. Aku tak ingin merusak predikat itu. Biarlah aku
tetap memperhatikan dan mengaguminya diam-diam.
Aku gugup ketika membalas senyum Yudha ketika
memergokiku telah mencuri pandang padanya. Buru-buru aku menolehkan kepala.
Pengarahan ditutup setelah Pak
Rahmad memberitahu bahwa ia mengizinkan acara corat-coret seragam sekolah
selama dilakukan dengan kondusif dan di dalam lingkungan sekolah, tanpa
melakukan pawai keliling kota dengan sepeda motor dan menciptakan keributan. Spontan
seluruh siswa mengiyakan. Begitu barisan dibubarkan, situasi langsung riuh
karena beberapa siswa ternyata telah siap dengan pylox di tangan.
Seperti ketika SMP dulu, aku kembali
menghindar. Kakiku berlari menjauh ketika beberapa teman yang usil membidikku
dengan botol cat semprot di tangan.
Mataku tak berkedip ketika menangkap
sekelebat wajah Yudha di kerumunan itu. Ingin rasanya aku berbaur, barangkali
aku bisa mendapatkan torehan namanya di bajuku.
“Ayo, Sarah! Jangan diam saja di
situ!” Anggun berteriak memanggilku. Dapat kurasakan kegembiraan
menyelimutinya.
Melihatku tak bergeming di dekat gerbang,
ia mengajak beberapa teman untuk menjemputku paksa. Aku melepaskan diri dari
genggaman tangan Anggun dan berlari ke toilet. Aku sudah tak dapat menahan diri
dan memilih untuk menjalankan rencana alternatif.
Dua tangan usil spontan
menyemprotkan cat begitu aku keluar toilet setelah mengganti seragam putihku
dengan sebuah kaus lengan panjang yang juga berwarna putih. Aku menjerit kaget,
lantas berlari kencang menuju kerumunan sambil tertawa-tawa. Anggun menjejalkan
sebuah pylox ke tanganku sambil mengedipkan
mata.
Ribuan butir warna membaur di udara.
Pekikan-pekikan senang terdengar di sana sini. Guru-guru hanya tersenyum ketika
menonton dari tepi lapangan. Beberapa malah menyoraki kami dan bertepuk tangan.
Sesuai pesan kepala sekolah, kami hanya melakukan aksi di dalam lingkungan
sekolah dan lalu pulang tanpa menciptakan keributan di luar.
Kaus putihku tampak tak karuan.
Entah warna apa saja yang sudah menimpanya. Seperti dugaku, ada sensasi yang
berbeda ketika merasakan semprotan cat itu. Diam-diam aku bersyukur karena tak
melewatkan acara yang telah menjadi tradisi tahunan ini, meski akhirnya aku
merelakan pakaianku yang lain menjadi korban perayaan ini. Aku juga bersyukur
karena masih bisa menyumbangkan baju seragam yang telah kuselamatkan.
Kakiku melangkah ringan menuju rumah.
Hatiku bahagia karena masa SMA telah usai, sekaligus cemas menunggu pengumuman
kelulusan dan rencana masa depanku. Namun hal lain yang membuat hatiku
menghangat adalah ingatan akan wajah Yudha ketika ia membubuhkan nama dan sebaris
pesan manis pembangkit semangat di pundak bajuku. Masih dapat kurasakan
hembusan nafasnya ketika mengukir kata demi kata dengan serius.
Kutolehkan kepala, berusaha membaca
sesuatu yang tertera di bahuku.
Good
luck, Sarah. See you!
Medan,
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar