![]() |
Ilustrasi Oleh Harian Waspada |
TAK
SESINGKAT CERITA PENDEK
Oleh
Dian Nangin
Kucoba mengingat-ingat
mimpi apa yang singgah kemarin malam dalam tidurku. Namun, tak kutemukan relasinya dengan
keberadaanku saat ini: menyusuri sebuah gang kecil di pinggir kota yang dulu
begitu cantik dengan kebun bunga di setiap rumah. Tak ketinggalan pohon rambutan
yang selalu dikerumuni anak kecil. Tapi semua berubah sekarang: jalan sudah melebar,
kebun-kebun menyempit dan terabaikan, pepohonan meranggas. Sepeda motor menderu
saling mendahului, membuat debu beterbangan.
Semakin keras aku
berpikir, semakin aku tersesat dalam labirin dalam kepalaku. Kuputuskan untuk
berhenti berpikir, cukup menganggap ada tangan-tangan intuisi yang membimbingku
pada sesuatu yang belum kupahami. Kakiku terus mengayun, mungkin akan kutemukan sebuah alasan yang
masuk akal di depan sana.
“Siapa
yang meninggal di sana?” tanyaku pada seseorang yang melintas.
“Seorang
perempuan tua. Selama ini ia tinggal di rumah itu,” katanya sembari menunjuk
sebuah bangunan yang menjadi tempat duka.
Aku
terhenyak. Ingatanku mundur sejenak. Perempuan tua itu......aku tak begitu mengenalnya.
Hanya selintas. Namun ia pernah ‘bersinggungan’ jalan dengan hidupku.
Dua tahun lalu aku
pernah berada di sini, mengunjungi tempat kos seorang kawan untuk meminjam novel
bagus yang tak mampu kubeli. Waktu itu kami baru tamat kuliah, masih
pengangguran. Sembari menunggu panggilan setelah melayangkan belasan CV, aku
menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis cerita. Kegiatan di waktu
senggang itu akhirnya menjadi kesibukanku karena tak kunjung beruntung dengan
berlembar-lembar lamaran kerja yang kusebar pada beragam instansi.
Waktu itu, ketika aku
mengunjungi teman si pemilik novel, aku pulang ketika langit mulai gelap. Trotoar
hampir sepi. Saat itulah seorang perempuan tua berpunggung bungkuk melangkah
terantuk-antuk keluar dari pekarangan rumahnya dan menghadangku.
“Bisakah aku minta
tolong? Rumahku gelap. Tak ada seorang pun membantuku menyalakan lampu.”
Aku mengernyit. “Nenek
tinggal sendiri?”
“Sebenarnya anak dan
cucuku tinggal tidak terlalu jauh. Mereka bergiliran datang membawa makanan dan
menyalakan lampu, tapi sampai saat ini tak seorangpun menengokku.”
Kupandang tubuh
bungkuknya yang hanya setinggi dadaku. Ia harus mendongak untuk melihatku. Ketika
aku menatap ke dalam mata lamurnya, aku mendapati sebuah telaga berwarna kelabu.
Serupa langit remang jelang malam.
“Baik. Aku akan
menyalakannya.”
Kuikuti langkah
lambatnya. Rumah itu cukup besar, pun gelap sempurna. Aku maklum perempuan tua
ini sampai memaksakan diri keluar rumah demi sebuah pertolongan.
“Dimana saklarnya,
Nek?”
“Aku tak ingat,”
jawabnya. “Sudah sangat lama aku tidak menyalakan lampu dengan tanganku
sendiri.”
Kucari saklar yang
entah berada dimana di dinding sebelah mana. Butuh sedikit waktu hingga akhirnya
tanganku menemukannya. Begitu banyak tombol berderet. Kutekan secara sembarang.
Sebuah lampu hias besar menyala terang, menyilaukan. Kutekan saklar lain. Lampu-lampu
sudut yang lebih kecil menyala. Kuputuskan untuk langsung pergi.
“Entah mengapa mereka
tak kunjung datang. Padahal aku takut gelap, tak ingin sendirian,” perempuan
tua itu menyambung lirih.
Kalimatnya tersebut
menghentikan langkahku. Ia sedang menumbuk ramuan sirih dalam tabung besi dan
lalu mengeluarkannya ketika telah hancur. Ramuan itu ia jejalkan ke dalam
mulut, lalu ia lumat perlahan. Cairan merah segera mewarnai bibirnya, sebagian
merembes ke dagu mengikuti jalur-jalur keriput kulitnya.
“Berapa umur nenek?” tanyaku. Kuputuskan untuk
menemaninya sebentar, barangkali anggota keluarganya akan segera datang hingga
ia tak lagi kesepian.
Perempuan tua itu menghitung
dengan jemarinya. Butuh tiga kali pengulangan hingga akhirnya kedua tangannya
terbuka dengan dua jari terlipat. “Delapan puluh.”
“Wah, jadi nenek sudah
lahir sewaktu jaman penjajahan?”
“Ya,”
matanya menerawang.“Aku punya banyak teman waktu itu.”
Aku mengerjap, kaget
ketika sejenak kulihat telaga kelabu di matanya berubah jernih. Seberkas sinar
cemerlang terpantul di sana, tampaknya berasal dari matahari pagi. Tapi hanya
sejenak. Ketika aku mengedip, pemandangan itu menghilang.
“Kami berjuang bersama
mengatasi ketakutan dan keterbatasan. Aku ingat Jepang membawa perempuan-perempuan
muda, mengangkut dimana saja mereka menemukannya. Menjadikannya gundik.
Mengerikan sekali masa itu.”
Ceritanya
mengingatkanku pada kisah yang dituturkan novel-novel berlatar masa kolonial.
Telaga itu kini dihiasi rinai-rinai gerimis.
“Teman-temanku
banyak yang berumur pendek. Mereka mati sebelum melihat semuanya menjadi baik. Mencicipi
kemerdekaan, makanan enak, pakaian bagus...”
Bagai
menyaksikan kilas-kilas sinema pendek yang gegas berganti, aku melihat berbagai
situasi menerpa telaga itu. Hujan, angin kencang, hingga kemarau
berkepanjangan. Ia pasti telah melewati serangkaian pengalaman hidup yang tak
mudah di masa lalu.
“Aku
bosan hidup,” katanya tiba-tiba. “Rasanya tak sabar aku ingin segera berakhir
dan menyusul teman hidupku, suamiku. Aku rindu. Ia telah meninggalkanku lebih
dari empat puluh tahun.”
Telaga itu kini keruh.
“Nenekku
sudah lama meninggal,” kataku, mencoba membesarkan hatinya. “Kalau saja dia
masih hidup, mungkin dia seumuranmu. Rasanya akan sangat menyenangkan kalau aku
masih punya nenek.”
“Apa
kau yakin pasti menyenangkan?” ia bertanya ragu. “Bukannya kau akan
mengabaikannya?”
Sarkasme. Pertanyaan
itu menerbitkan keraguan dalam hatiku. Sekarang aku merindukan nenekku dan
berpikir akan menyayanginya di usianya yang senja, tapi, mungkinkah keadaannya
akan berbeda bila nyatanya sekarang ia masih hidup? Tidakkah aku akan bersikap
sama seperti anak-anak muda masa sekarang yang begitu egois?
***
Langit
semakin gelap. Aku menggeleng separuh tak percaya. Intuisi ganjil itu akhirnya
memberiku penjelasan, bahwa aku berada di sini untuk mengetahui kalau seseorang
yang pernah bersinggungan denganku pada waktu lalu kini telah berlalu dari
kehidupan. Barangkali aku belum menemukan makna kejadian ini, namun waktu akan
mengungkapnya.
Aku
mematung di tepi jalan. Rasanya ingin aku masuk ke dalam rumah, menyampaikan
rasa duka. Tapi aku tak punya alasan melakukannya, sebab aku bukan siapa-siapa
bagi mereka. Tak akan ada yang mengenalku, kecuali perempuan tua yang telah
mati itu. Kami pun hanya bertemu satu kali, dan dalam pertemuan singkat itu,
aku telah melihat kisah-kisah yang dalam dan luas lewat telaga matanya.
Sesungguhnya masih banyak yang belum kuceritakan, terlalu panjang untuk kututurkan
di sini. Yang kau baca kini hanyalah sepotong ringkas saja.
Medan,
2017-2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar