![]() |
ilustrasi oleh Harian Waspada |
MENYAMPAIKAN
KEKALAHAN PADA IBU
Oleh
Dian Nangin
Betapa berat terasa
kekalahan yang kupikul di bahu lelahku. Malam telah pekat. Bintang tak tampak.
Hanya ada bayangan samar bulan di balik awan tipis, seolah ia menunggu waktu
yang tepat untuk keluar dan menumpahkan sinarnya—sinar yang seolah tidak
dijatahkan untukku. Kuharap ibu sudah tidur, namun harapan itu seketika pupus
sebab kulihat masih ada sejumput cahaya yang menerobos ventilasi jendela. Itu
artinya ibu masih sibuk dengan kain-kain jahitan titipan tetangga.
Tepat di depan
pintu, aku berhenti sejenak. Melintas di ingatanku senyum ibu yang mengembang
lebar siang tadi ketika mengiringi kepergianku dari ambang pintu. Senyum itu
menguarkan sejuta harap bahwa aku akan pulang dengan kemenangan.
Tapi sekarang kepalaku
lunglai, hampir-hampir menghantam pintu dan jatuh ke lantai. Malam ini aku
(kembali) menjadi pecundang, menggenapi kekalahanku untuk ke sekian kali. Tak
kuingat apakah ada mimpi buruk yang singgah di tidurku tadi malam, sebab aku
terlalu asyik berkhayal akan melangkah ke podium tinggi dan menerima trofi
penuh percaya diri. Ternyata, aku belum pantas menjadi jawara. Berbekal
sejumlah prestasi dan pengalaman, kukira aku telah menjadi unggul. Nyatanya masih
ada sejumlah kekurangan yang tak bisa kulihat sendiri. Betapa pahit rasanya
kekalahan dan lebih pahit lagi ketika aku harus menyampaikannya pada ibu malam
ini.
“Bagaimana kau yakin akan
menang?” tanya ibuku dua minggu lalu ketika kusampaikan aku tengah mengikuti
kompetisi menulis berskala nasional. Ada nada skeptis dalam suaranya sebab
berulang kali kukatakan bahwa aku yakin akan menang tapi yang terjadi malah
sebaliknya.
“Karena aku telah
menyiapkan karya terbaikku.”
“Ibu tak mengerti segala
apapun berkaitan dengan pekerjaanmu itu. Kalau kau katakan bahwa kau telah
berusaha sebaiknya, maka demikianlah yang Ibu tau,” sahut ibu pelan. “Kalau
boleh tahu, berapa uang yang akan kau terima kalau sekiranya kau menang?”
“Cukup untuk membelikan ibu
sofa baru,” jawabku. Sofa kami satu-satunya telah bercokol di ruang tamu sejak
aku masih bayi. Betapa buruk rupanya sekarang. Bekas tambalan hasil karya ibu
tampak di beberapa bagian. Walau duduk berlama-lama di sana akan membuat
pinggang dan punggung sakit, kami tetap menyukainya sebab itulah satu-satunya
tempat duduk yang ada di rumah.
Namun, ibu masih tak puas
dan menuntutku jawaban yang jelas. Kusebut nominal angka tujuh digit. Mata ibu
membelalak. Itu setara dengan uang hasil panen singkong kami selama
bertahun-tahun.
Cukup sering aku mencekoki
ibu dengan berupa-rupa nominal honor yang telah dan akan kuterima bila
tulisanku lolos muat di koran-koran yang tak pernah dibacanya. Sedikit atau
banyak, kata ibu, yang penting aku bisa memperoleh uang. Jangan melakukan
pekerjaan sia-sia tanpa upah. Uang memang bukan hal terpenting, namun hidup
akan tamat bila tak ada uang. Ia berpendapat demikian bukan karena sifat
materialistis, namun hidup kami sudah susah sejak dulu, dan aku telah
menyaksikan ibu benar-benar membanting tulang untuk sekedar mendapatkan beras agar
perut kami terisi walau tanpa lauk.
Profesi
menulis masihlah sangat asing di telinga penduduk kampungku. Hanya sedikit
sekali yang paham. Bila orang tak paham bertanya tentang pekerjaanku, akan
kujelaskan definisi dan prosesi yang kulakukan sampai mulutku berbuih dan ia
masih tak mengerti. Ada yang bertanya dan tak paham, memilih mengganti topik
percakapan. Mengapa tak bertani saja? Sembilan puluh persen penduduk kampung
hidup sebagai petani. Kutanggapi pertanyaan itu dengan tersenyum—masam.
Menulis,
pikirku, sama saja dengan bertani. Menanam
terlebih dulu, maka akan menuai. Bertarung dengan cuaca dan kemalasan. Sering kekeringan
air, seperti halnya kekeringan inspirasi. Kegagalan panen membayangi hari-hari.
Petani berkubang lumpur tanah, dipapar matahari, bermandi peluh. Selalu kurang
perhatian, bahkan semakin tersingkirkan.
Tak
ada bedanya dengan dunia yang kutekuni. Sudah menjadi rahasia umum bahwa negeri
ini hanya menaruh sedikit atensi pada penggerak literasi. Penulis kebanyakan
hidup pas-pasan, cenderung paceklik. Tak ada ambisi lain bagiku selain karya
dimuat dan berupahkan sedikit rupiah untuk menyambung hidup dan membungkam
mulut tetangga yang selalu menganggap bahwa penulis sama saja dengan pengangguran.
Sedikit
prestasi yang telah kuraih tak juga membuka mata mereka. Tak apa, kata ibuku.
Tak usah pedulikan orang-orang. Yang penting kau mendapatkan uang dengan halal.
Ah, betapa kata-kata itu membesarkan hatiku.
Selalu
tumbuh dalam hatiku keinginan untuk menyenangkan ibu—kupikir semua anak akan
berpikiran seperti ini. Di samping menulis, aku mengambil alih sepetak ladang
singkong dan membiarkan ibu beristirahat di rumah. Ia bekerja kecil-kecilan
sebagai penjahit. Meja makan kami tak pernah kosong walau hanya dengan menu
sekadarnya. Kutabung sedikit demi sedikit demi membelikan perempuan yang telah
melahirkanku itu sepotong baju baru dan hal-hal kecil lainnya.
Kuhasilkan
banyak tulisan sembari berdoa siang malam semoga mereka lolos muat di media-media
yang kusasar. Kucari tahu segala lomba menulis dan mendaftar menjadi peserta,
lalu menyetorkan karyaku paling maksimal sambil memelihara keyakinan bahwa aku
akan menang.
Keyakinan
itu menyertai langkahku ketika memenuhi undangan penyelenggara salah satu
kompetisi untuk menghadiri acara pengumuman pemenang lomba yang kuikuti. Dadaku
mengembang karena namaku terdaftar sebagai kandidat. Keyakinan itu sekarang
telah memperlihatkan buahnya. Ikhlas dan harus lebih banyak belajar adalah
hikmah yang kubawa pulang.
***
Suara batuk ibu dari dalam
rumah memecah senyap malam. Sudah berulang kali ia kubujuk, alih-alih
memperingatkan, agar ia menyudahi kegiatan menjahitnya lebih awal dan pergi
tidur. Tubuh tuanya sudah tidak terlalu kuat terjaga hingga larut. Namun, semua
itu disangkalnya dan melanjutkan aktivitas sebagaimana kemauannya.
Kukuatkan
hati membuka pintu dan mengucap salam. Kutundukkan kepala untuk menyembunyikan
rautku.
“Bagaimana
hasilnya?” Ibu yang pertama bicara. Ia menghentikan gerakan tangannya dan
menatapku dari balik kacamata tuanya.
Aku
menghela nafas. “Maaf, Bu. Aku belum mampu mengganti sofa usangmu.”
Ibu
mengangguk maklum, anggukan yang telah kuakrabi bertahun-tahun. Ia hanya
tersenyum, tapi hatiku remuk. Kutahu sudah tak terhitung berapa kali
diselipkannya perihal perjuanganku dalam barisan munajat yang ia panjatkan
terbata-bata. Semoga saja suatu saat aku mampu menangguk kemenangan dan akan
kupersembahkan seutuhnya hanya untuk ibuku.
Ia menyudahi kegiatan
menjahit dan membereskan peralatannya. Lalu ia pergi ke kamarnya. Bunyi derit
pintu yang engselnya berkarat menutup malam. Hanya tersisa hening. Begitu
hening sampai kudengar bunyi nafasku sendiri, bunyi sarat kekecewaan.
Berastagi,
2019-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar