PERIHAL
PENANTIAN DAN BUNGA-BUNGA
Oleh
Dian Nangin
Tak pernah kulupa menunaikan kebiasaan ini tiap pagi, yakni
merapatkan mata pada kisi-kisi jendela. Memang, celah yang hanya sekian senti
itu tak akan memuaskan indra penglihatanku,
tapi mataku
tak akan salah mengenali meski sosokmu telah bertahun-tahun pergi.
Pagi ini aku mengintip keluar dengan
mata berat, menahan kantuk. Kemarin malam adalah tanggal kepulanganmu setelah lima tahun pergi
dan lima tahun lagi janji untuk kembali tak kunjung kau tepati. Padahal aku sudah menghabiskan banyak
waktu untuk bersiap: membasuh tubuh dengan air kembang yang wangi semerbak,
mengenakan pakaian terbaik dan duduk manis di beranda, ditemani secangkir teh
panas. Namun, hingga malam larut, isi cangkir telah susut, dan betis habis
digigiti nyamuk, kau
tak kunjung datang. Yang muncul kemudian adalah seorang perempuan
tua—ibuku,
dengan raut yang ditabah-tabahkan membimbingku
kembali masuk ke dalam rumah.
Tak ada yang lebih kuperhatikan dan kusayangi selama sepuluh
tahun belakangan ini selain pekarangan tersebut. Bunga-bunga itu sengaja kutanam untukmu yang istimewa di hati, kau yang telah bertolak ke
kota antah berantah demi sepotong mimpi. Kau
yang menyesap habis cintaku
yang paling sejati dan aku
meyakini bahwa kau
membalasku dengan ketulusan tak kalah
murni.
Tak
akan pernah usang dalam ingatanku tentang pagi itu sewaktu aku memberimu setangkai mawar ketika kau pamit pergi. Aku tau tak lazim bagi seorang
perempuan memberi bunga kepada lelakinya—biasanya peran itu dibalik, bukan? Namun, aku
tak punya apapun lagi yang bisa kuberikan
sebagai tanda bahwa kau
membawa hatiku
serta. Tak ada sehelai sapu tangan, selembar foto atau apapun yang lebih
berharga. Mungkin dalam beberapa hari bunga itu akan layu dan membusuk. Namun,
kuharap kau akan tetap merawat cinta
yang kuberikan padamu.
“Pasti,” katamu meyakinkan. “Aku akan
selalu mengingat dan merindukanmu. Tetap jaga untukku, ya,” kau mengarahkan pandang pada
bunga-bunga di pekarangan, lalu menunjuk dadaku, ke tempat dimana hatiku tengah berdenyar hangat. Aku mengiyakan, bertekad untuk menjaga hatiku dan
bunga-bunga itu sesuai permintaanmu. Kau pergi usai mengecupku serta mengumbar janji akan
kembali.
Jadi, aku tak akan membiarkan
siapapun mencemari keindahan yang khusus kupersiapkan
untuk menyambutmu. Tak ada yang menandingi ketelatenanku mengurus bunga-bunga itu,
menjadikan pekaranganku
kebun paling indah di kampung ini.
Tak
taukah kau, setelah tahun-tahun berlalu, kampung yang
awalnya terisolasi karena berada di pelosok ini
akhirnya
membuka diri dan mendapat jamahan di sana sini. Rumah-rumah tradisional perlahan
digusur oleh bangunan-bangunan beton nan modern yang serakah. Pekarangan habis
dijajah oleh kendaraan-kendaraan pribadi yang membutuhkan tempat perlindungan
tersendiri. Orang-orang beralih pada keindahan palsu; bunga-bunga plastik dan pohon-pohon
kerdil dalam pot. Orang-orang
lalu diam-diam menyimpan iri pada kemewahan yang kupunya di pekarangan kecil ini.
Suatu hari aku memarahi,
nyaris memukul seorang bocah perempuan yang mengacaukan pekaranganku. Ia sedang mengejar kupu-kupu,
katanya, hingga keasyikan dan tanpa sadar berlarian di antara batang-batang
dahliaku. Ia juga menyenggol
beberapa tangkai krisan hingga patah. Kacaulah harmonisasi kebunku. Aku tak dapat menahan diri
untuk tidak menyeret tubuh bocah itu keluar pekarangan, tak peduli ia menangis meronta-ronta. Aku tak menerima perusakan
dalam bentuk apapun dan oleh siapapun. Kebun bunga itu kudedikasikan padamu
seutuhnya. Aku
mengerjakannya sepenuh hati.
Sejak kejadian itu,
ibu mengurungku
di rumah. Perlakuanku pada bocah polos
itu sudah berlebihan, katanya. Aku membantah, cukup masuk akal bagiku untuk
mengusir siapapun yang merusak kebunku. Dan, walau ‘diisolasi’ di dalam rumah,
tak menghalangi niatku
untuk melindungi bunga-bunga itu
dari para tangan jahil. Kali lain,
sekelompok bocah laki-laki mengolok-olok ketika melihatku terperangkap dalam rumah
dan hanya bisa menatap keluar lewat jendela. Mereka bahkan berani-beraninya menjajah bunga-bunga milikku.
Spontan aku melompat dari kusen
jendela dan berbekal sebatang galah, aku
mengejar mereka hingga di ujung jalan.
Tak
hanya ibuku, orang-orang mulai tak menerima sikap dan pembelaanku yang berlebihan atas kebun indah itu.
Cinta dan penantian telah membuatku gila, kata mereka. Jadilah
aku sasaran kemarahan dan ibu memutuskan untuk mengurungku di rumah, lalu menutup
jendela dan semua akses keluar masuk, pun setiap celah yang mungkin kugunakan untuk meloloskan
diri dan berbuat onar lagi di luar. Yang tersisa hanya celah kisi-kisi jendela
sebagai tempatku
memandang keluar tiap pagi untuk memeriksa kalau-kalau kau pulang.
Ibu hanya
mengizinkanku
keluar sesekali, itupun setelah sepanjang waktu aku mendesak
dan membujuk rayu dengan segala cara yang kupunya. Bunga-bunga yang kutanam untukmu selalu jadi
alasan. Aku tak sanggup melihat
tanaman yang telah kurawat
penuh jerih dan peluh itu layu dijajah gulma
dan kekurangan air. Bagaimana kalau kau tiba-tiba pulang tanpa aba-aba dan mendapati bunga-bunga
itu dalam keadaan kacau? Dengan sedikit air
mata memelas, ibu akhirnya membiarkanku merawat bunga-bunga di bawah
pengawasannya.
***
Pagi ini, untuk kali
kesekian, aku kembali mengintip keluar jendela dan bersiap untuk menangguk lagi
kecewa di hati ketika mataku
menangkap sesosok lelaki berdiri di pekarangan. Jantungku berdebar hebat. Kau akhirnya pulang dan hadir
di sana, di tempat yang tak pernah lupa kujenguk tiap pagi. Sungguh aku ingin berlari keluar untuk
menyongsongmu,
melompat ke pelukmu,
menangkup wajahmu,
melakukan segala hal untuk memuaskan rinduku.
Kau melihat ke sekeliling,
memanggil namaku
sembari sesekali mengalihkan pandang ke pintu rumah yang tertutup rapat. Sebuah kesadaran yang
terlambat datang menghampiriku;
aku seharusnya bersiap,
membasuh tubuh, mengenakan pakaian terbaik, berdandan dengan manis, dan
menyeduhkan secangkir teh panas. Kau
pasti kelelahan setelah perjalanan panjang. Kupikir
takkan ada yang paling menyenangkan hatimu selain sambutan kekasih
yang penuh pengertian.
Aku
baru akan berbalik ketika baru kusadari
ada seorang perempuan yang mengekor di belakangmu, ikut masuk ke pekarangan rumahku. Kembali
kufokuskan mata pada
kisi-kisi jendela. Perempuan itu menjabat tangan ibuku yang entah kapan telah
keluar untuk menyambut dan kau
memperkenalkannya.
“Ini istriku...”
Telingaku tegak. Kepalaku panas mendadak. Hatiku dipenuhi amarah
menggelegak. Kau
seharusnya menghadiahiku
kepulanganmu
dengan hati penuh cinta, sebagaimana aku
menantimu sarat harapan serta
pekarangan penuh bunga yang tengah mekar sempurna. Tidakkah kau merasa bersalah telah
bertahun-tahun pergi dan selama bertahun-tahun lagi mengingkari janji kembali
dan kini, kepulanganmu
ternyata membawa hati yang.....bukan lagi untukku?
Perempuan asing yang berstatus sebagai istrimu itu jelas
terpesona dengan kuntum-kuntum yang semarak aneka warna. Gigiku bergemeretak ketika tanpa
minta izin ia melangkah masuk kebunku,
memperhatikan setiap bunga dengan raut takjub dan sesekali membelainya lembut.
Tubuhku bergetar oleh amarah.
Apalagi tiba-tiba ia memetik setangkai mawar yang paling kusayang, membawanya ke hidung dan menghirup aromanya.
Aku
tak mampu lagi menahan diri. Aku tak peduli walau nanti ibu
mengikatku di dapur untuk waktu yang
lama. Aku bergegas menuju dapur. Kuraih parang panjang yang
tersemat di dinding. Dengan langkah menghentak aku menuju ruang depan dan membuka
pintu dengan beringas. Kau
kaget tak kepalang melihat kemunculanku
dengan sebilah parang. Perempuan itu
terjajar mundur dan berlindung di balik punggungmu. Kau kini kubenci
setengah mati. Tiba-tiba
pucat wajahmu. Ibuku berteriak kalut memanggil
namaku, menawar tindakanku, membujuk-bujuk.
Tapi aku tak peduli.
Dada
dan mataku panas. Kuangkat
parang di tangan. Aku
siap membunuh mereka; bunga-bunga
itu.
Medan,
2017-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar