Selain mendedikasikan tulisan untuk bencana yang menimpa salah satu objek wisata di Sumatera Utara yang baru-baru ini terjadi dan begitu mengejutkan, cerpen ini juga saya buat untuk mengenang perjalanan saya sendiri beberapa bulan lalu menuju Air Terjun Dua Warna. Kisah tentang perjalanan itu juga pernah saya publikasikan di blog ini.
Seperti
yang selalu disebutkan di beberapa artikel bahwa cenderung penulis menuangkan
sedikit ‘dirinya’ ke dalam setiap tulisan yang dihasilkan adakalanya memang
benar. Dalam hal ini saya akui sendiri. Pemikiran tokoh utama ‘Mas Andri’ dalam
cerpen ini sebenarnya juga adalah pemikiran saya sendiri.
Tentang
‘Senandung alam’ yang disebutkan juga sebenarnya adalah salah satu bagian dari
diri saya. Seperti tokoh Mas Andri, saya pun sangat gemar mendengar bebunyian alam
yang di telinga saya bisa terdengar bagai orkestra dan saya juga mengoleksi
beberapa audio demikian di laptop.
Saya
sendiri rasanya tidak percaya tempat yang telah saya kunjungi itu bisa menjadi
demikian liar sampai memakan korban. Yah, mengarungi alam adalah sebuah bentuk
keasyikan. Keinginan untuk menaklukkan
berbagai spot yang memantang masih terpatri dalam benak, namun rasanya
keinginan itu harus ditunda untuk sementara mengingat cuaca belakangan ini
tidak stabil dan bisa sangat ekstrim. Ditambah lagi bencana sedang marak
dimana-mana. Bagi yang tetap nekat mengemasi tas dan ingin berangkat, tetap
hati-hati dan utamakan keselamatan.
Untuk
para korban meninggal, semoga diberi tempat terbaik. Serta untuk keluarga yang
ditinggalkan, semoga tetap tabah.
![]() |
Ilustrasi oleh Renjaya Siahaan |
.......
“Keinginan terakhirku
adalah melihat si Dua Warna. Air terjun yang elok itu. Aku telah menguji diri,
menekan kelemahan, serta menaklukan alam yang tidak mudah ini. Dan, ia telah
membayar perjuanganku dengan memperlihatkan pesona dan kegagahannya. Meski,
yah, kegagahannya itu kini menelan kita,” kudengar suaraku sendiri mencicit.
Rasa puas dan bangga
yang beberapa saat lalu kutuai kini sirna sama sekali oleh kenyataan tak
terduga. Baru sepuluh menit lalu aku menyerukan kekaguman atas indahnya tarian
air yang meluncur lincah dari atas tebing. Tak kulawan dan kubiarkan tempiasnya
membasahi tubuhku. Kusesap habis kesejukan yang tersembunyi itu, sebelum esok
kembali mencemari paru-paru dengan polusi, terjebak lagi dalam kehidupan yang
hingar bingar.
.......
Untuk membaca lengkapnya silahkan kunjungi harian.analisadaily.com.
Sampai jumpa di cerpen berikutnya :)
Keep reading, keep writing!