Hello, everyone! Are you ready to say goodbye to October and then welcome November?
Oktober memberi saya penutup yang manis dengan dimuatnya sebuah cerpen saya di Banjarmasin Post pada minggu terakhirnya. Tak sabar menunggu November tiba dan berharap hal-hal baik serta tak kalah manis dari bulan-bulan sebelumnya akan terjadi.
Selamat membaca...
Oktober memberi saya penutup yang manis dengan dimuatnya sebuah cerpen saya di Banjarmasin Post pada minggu terakhirnya. Tak sabar menunggu November tiba dan berharap hal-hal baik serta tak kalah manis dari bulan-bulan sebelumnya akan terjadi.
Selamat membaca...
ESENSI MATAHARI
Oleh Dian Nangin
Maja mengernyit untuk
ke sekian kali ketika rasa asin singgah di sudut bibirnya. Segera ia menarik lengan
baju untuk menyapu kening hingga dagunya yang banjir peluh. Matahari sudah
tinggi. Di tubuh, batas suhu panas sudah di luar toleransi. Namun Maja
bertahan, sebab bundelan koran dalam pelukannya belum laku banyak.
Pada perempatan itu
Maja meniti usia. Masa kanak-kanak berlalu dengan ‘krecekan’ tutup botol dan
puluhan lagu yang ia pinjam dari musisi ibukota. Masa remajanya diambil alih
oleh kotak asongan. Jelang dewasa kini ia berganti karir menjadi penjaja koran.
Masih di perempatan yang sama. Pun, ia melampirkan sederet cita-cita di sana.
Berharap rezeki yang ia peroleh tiap kali nyala lampu merah bisa mewujudkan
keping-keping impiannya jadi nyata.
Namun semakin lama ia
merasa nasib baik menjauh darinya—mungkin sejak awal memang sudah jauh. Lihat,
orang kebanyakan bersikap tak peduli meski mulutnya berbuih karena
berulang-ulang menyebut headline
koran yang ia jajakan. Ratusan kali kakinya berlalu lalang menyusuri tiap kaca
jendela kendaraan yang senantiasa tertutup. Orang-orang di balik kaca itu lebih
menaruh fokus pada benda elektronik canggih dalam genggaman. Barangkali berita
di sana lebih up to date ketimbang
yang tercetak dalam lembar harian berisi peristiwa kemarin yang tak dapat
diperbarui dalam sekejap.
Maja kembali menyeka keringat.
Panas makin tak tertahankan. Ditambah lagi hingar bingar kendaraan yang
memekakkan telinga. Pemuda itu menghempaskan tubuh di bawah tugu dekat tiang
lampu tiga warna pengatur lalu lintas kota. Pandangannya sedikit
berkunang-kunang ketika ia menatap sesosok patung pahlawan yang menjulang langit.
Aku iri padamu, batin
Maja. Jasamu membuat negeri ini menobatkanmu jadi pahlawan bangsa, sementara
aku bahkan belum bisa menjadi pahlawan bagi diriku sendiri.
Namun lalu ia kaget
karena sebongkah cahaya teramat pekat jatuh menimpa tugu. Tiba-tiba patung itu
berubah lentur, lalu dalam hitungan menit pecah menjadi ribuan larik cahaya.
Sinar yang menyakiti kornea itu menuju ke arahnya.
“Siapa
kau?” Maja bergetar. Beberapa menit berlalu tanpa jawaban membuat Maja membatin
bahwa ia mungkin berhalusinasi. Penyebabnya pasti karena tubuhnya dehidrasi.
“Aku...esensi matahari,”
sebuah suara berat menggema.
Maja menyipitkan mata,
antara ingin menghalau silau serta memperjelas penglihatan. Apa mungkin aku
dikunjungi dewa? Maja membatin. Pemuda itu menoleh ke kanan kiri, memeriksa
apakah ia telah jadi tontonan. Namun ia dapati sekelilingnya penuh benda-benda
bersinar, seolah segala sesuatu sedang diselimuti kepompong cahaya.
“Ya, aku matahari yang
memecah tubuhku satu-satunya ke penjuru semesta. Aku matahari yang menyaksikan
segalanya dari batas cakrawala.”
Maja mengerjapkan mata,
menggelengkan kepala. Ingin ia menyangkal keanehan yang tak masuk akal ini.
“Aku tahu kau bukan orang
pagi yang menyambutku dengan teh hangat atau secangkir kopi. Kau adalah manusia
penuh gegas bila ingin bertahan hidup.”
Maja masih tak percaya, namun ia merasa ucapan
itu ada benarnya.
“Sesekali aku ingin
menunda kemunculanku bagi mereka yang masih terkantuk-kantuk, membiarkan mereka
terlelap sedikit lebih lama. Tidak ingin memaksa mereka bangun untuk kembali
menjalani rutinitas. Namun semua harus berjalan sebagaimana mestinya. Tak ada
sesuatu atau seorangpun yang kuasa menunda waktu. Bukan begitu?”
Maja mengangguk.
Siapapun tahu itu.
“Sesungguhnya
aku tak ingin membakar anak-anak yang lalu lalang dengan kaki telanjang di
perempatan-perempatan lampu merah itu. Pun, kau. Sementara tubuh-tubuh tambun
di sisi lain duduk nyaman dalam ruangnya yang senantiasa berudara segar. Ketika
berpapasan di perempatan ini mereka senantiasa menutup kaca kendaraan. Bukankah
itu semua kau alami?”
“Benar,”
Maja menyahut takjub. Sesaat ia tersanjung, sebab ia merasa telah diperhatikan.
“Apa lagi yang kau lihat dari atas sana,
Tuan?”
“Apa
yang ingin kau dengar?”
Maja
tercenung sesaat. “Yang paling menarik perhatianmu dari negeri ini.”
“Aku jadi saksi atas
lelaki tua yang diam-diam mencuri tiga bongkah keladi serta beberapa potong kayu
sebagai bakal api. Di dapurnya sang istri menanti, berharap kekosongan perut
bisa diisi walau untuk sehari. Tapi apa daya, orang-orang memergoki dan lelaki
itu berakhir di jeruji. Sebab, pemilik keladi dan kayu bakal api adalah pejabat
tinggi.”
Maja
mengangguk. Bukan sekali dua ia mendapati berita serupa di lembar-lembar harian
yang ia jajakan. Kadang, bangsa ini tak lebih dari panggung ironi.
“Sementara
sang pejabat tinggi, bersenang-senang dengan para wanita yang bukan istrinya. Juga
tak jarang bersama komplotannya pergi bersafari. Tak peduli pada petani bertopi
jerami, berpeluh-peluh menanam padi di sepetak ladang sewa yang belum dilunasi.”
Makhluk ini pasti telah
melihat banyak, batin Maja. Ia pun serupa. Bedanya, beliau ini menyaksikan semua
dari tahtanya di angkasa. Sementara Maja tahu dari bundel-bundel koran yang
saban pagi ia tekuni. Berita-berita di sana telah menjadi teropong baginya matanya
untuk memandang lebih jauh, untuk melihat lebih banyak.
“Sulitnya
hidup tak perlu kau tangisi. Juga jangan kau gantungkan asa pada orang-orang
yang nuraninya telah dikebiri. Teruslah berjuang, berupaya, sekaligus berbesar
hati.”
Maja
termangu. Sungguh petuah yang bijak bestari. Baginya, percakapan ini sangat
berarti karena jarang terjadi. Selama hidup di perempatan, pendengarannya
selalu disinggahi klakson mobil yang sahut menyahut, makian supir-supir angkot
yang ingin menyerobot, hingga percakapan sesama penghuni jalanan yang jarang
berbobot.
“Maaf, dari hadapanmu
sejenak aku harus undur diri. Lihat gulungan awan kelabu yang terburu-buru itu?
Sebentar lagi mereka akan tiba di sini.”
“Tapi...sebentar,
Tuan!” Maja menyela. Ia masih ingin berbincang lebih banyak.
“Permisi, sampai jumpa
esok hari. Aku harus memberi mendung itu ruang, sebab hujan ingin menangisi
bumi.”
Maja
tersentak bangun. Ketika membuka mata, tampak kembali pemandangan akrab kota.
Patung itu masih bertengger kaku di puncak tugu. Yang barusan hanya mimpi? Maja
terpaku bingung. Namun, masih nyata terasa olehnya petuah bijak yang membelai
hati. Lalu kemudian ia terhenyak melihat butir-butir air merekah dari langit, meluncur
turun dengan gerak anggun seolah sedang menari-nari.
Medan,
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar