MENDAYUNG
PAGI
Oleh
Dian Nangin
Ranti
baru benar-benar terjaga ketika ayam telah berkokok entah yang ke berapa kali.
Biasanya ia selalu bangun mendahului unggas yang ia pelihara itu. Ranti terburu
menuju dapur, membuka kunci pintu belakang, lalu menyeret masuk sekarung singkong
yang baru dipanen kemarin dari sepetak kebunnya. Tak sempat ia nikmati indahnya
rembulan yang membulat sempurna di puncak pepohonan belakang rumahnya itu.
Dengan
tangan terlatih ia mulai menguliti singkong, merendamnya dalam air bersih,
mencuci periuk besar, lalu menanggar air. Di sisi lain dapur, ia menanak beras
dua cangkir terakhir dan merebus telur ayam di atas kompor minyak. Tanpa sempat
istirahat, tangannya kembali sibuk menyusun kayu bakar dalam tungku dengan hati
yang tak henti-henti merutuk kenapa bisa sampai bangun terlambat meski ia
sendiri tahu apa penyebabnya.
Ranti
semalaman tak tidur, sibuk bergulat dengan pikirannya sendiri. Jauh-jauh hari
ia sudah merancang sesuatu yang ingin ia sampaikan pada anak-anaknya. Namun ia
ragu, lalu berpikir kembali, menyusun ulang kalimat-kalimat yang hendak ia
sampaikan. Terkadang ia tak sampai hati, tetapi sekaligus tak punya pilihan.
Bebunyian
kemerosok terdengar dari ruang depan. Anak-anaknya sudah bangun dan melakukan
aktivitas sendiri-sendiri. Kehidupan di rumah yang kecil dan sederhana itu
beriak kembali. Tak berapa lama, Ilham, putra sulungnya itu telah berdiri gagah
di ambang pintu tengah, pemisah dapur dan ruang depan rumah. Perempuan itu
menoleh sambil menyeka peluh di kening. Megap-megap kehabisan nafas setelah
berkali-kali meniup siong, namun api dalam tungku belum juga menyala.
Ilham
tampak sudah sangat siap. Pasti sulit memadamkan semangatnya. Cukup sering ia utarakan
bahwa hanya butuh setahun lagi baginya untuk menamatkan sekolah dasarnya. Sudah
pernah Ranti menyampaikan isi hati yang membuatnya gundah itu, namun Ilham
menolak dengan keras. Sejak saat itu, tiap kali si sulung membaca gelagat ibunya
tampak ingin membicarakan perihal yang sama tentang sekolah, ia segera
menghindar.
Lalu Iwan, anak
keduanya, yang penghujung semester lalu kembali menyabet juara satu. Dengan
mudah ia naik kelas. Sungguh kentara bangga di wajahnya kala pulang ke rumah
dan memamerkan bingkisan yang ia peroleh atas usaha kerasnya belajar. Hanya
beberapa pensil dan buku tulis baru, tapi ia sungguh gembira tak kepalang. Lalu
dengan senang hati ia bagi rata hadiah itu dengan abang dan adiknya.
Muncul
anak ketiga, Puspita. Perempuan. Diharapkannya dulu anaknya berturut lelaki
atau berturut perempuan. Agar pakaian bisa saling pinjam. Mungkin satu dua kali
ia bisa membelikan sandang baru, namun kalau anak-anaknya bisa saling
melungsurkan baju sejauh masih pantas dipakai, untuk apa bermubajir? Akan lebih
baik kalau uang itu ditabung demi kelangsungan hari esok.
Tapi tak semua yang
telah diguratkan nasib sesuai harapan. Anak ketiganya terlahir perempuan. Tak
mungkin ia memakai celana abangnya ke sekolah. Tahun ini umurnya sudah genap
untuk mulai berpakaian putih merah. Maka mau tak mau Ranti harus membanting
tulang lebih keras untuk membelikan rok sekolah.
Semangat putrinya itu
sedang menggelegak. Beberapa waktu belakangan ini ia sudah dicekoki kedua abangnya
tentang asyiknya bersekolah. Tentang teman-teman yang menyenangkan. Tentang
guru-guru yang membuatnya jadi pintar—dan dengan kepintaran itu mereka tak akan
mudah lagi dicurangi orang-orang di pasar ketika berjualan tapai singkong. Puspita
bahkan tak merengek mengetahui bahwa ibunya tak bisa mengantarkannya di hari
pertama sekolah. Si sulung yang mengambil alih tugas itu.
“Akan kupastikan
Puspita sampai di kelas dan mendapatkan bangku paling depan!” demikian Ilham
berorasi sembari mengunyah nasi dan telur rebus. Telah ia ajari pula cara
memperkenalkan diri dan cara berkawan dengan orang baru. Ranti sedang
membagikan seujung sendok sambal yang ia sisakan semalam sembari mencari celah
untuk bicara ditengah celoteh anak-anaknya.
Ilham,
kau adalah anak ibu paling besar. Maukah kau mengalah demi adik-adikmu? Biarkan
Iwan dan Puspita sekolah. Kau, bantulah ibu mencari uang.
Ranti sadar sulungnya
itu perlahan beranjak remaja, barangkali sudah mengerti tentang kesulitan yang
membelit.
“Bang, bisakah kau
rautkan pensilku sebentar? Aku belum pintar meraut,” pinta Puspita sambil
mengeluarkan pensil barunya, hadiah milik Iwan. Tak menunggu lama, pensil itu
kembali padanya dengan ujung yang telah runcing.
“Dengan pensil ini aku
akan membuat tulisan yang bagus.” Puspita menerimanya dengan senyum lebar. Sementara
itu pikiran Ranti terus berputar, mengatakan mungkin tak harus Ilham. Siapa
saja boleh mengalah dan berkorban. Siapa yang barangkali ingin bekerja bersama ibu, yang rela tidak pergi ke sekolah? Itu akan sangat membantu untuk membuat hidup kita lebih baik.
Namun demi melihat lahap anak-anaknya dan semangat mereka berangkat ke sekolah, kalimat-kalimat itu hanya bisa Ranti telan kembali.
“Kami pergi dulu, Bu...!” seruan lham menyadarkan Ranti dari lamunan, hingga ia tak sadar anak-anaknya sudah siap berangkat. Ketiga bocah itu bergantian mengucap pamit sambil mencium tangan Ranti. Setelah itu mereka bergandengan menuju jalan setapak, bergabung bersama sekelompok anak lain, lalu bersama-sama menuju sekolah yang harus ditempuh sebelum matahari terbit.
Ranti melongokkan kepalanya melalui kusen jendela, berebut tempat dengan kepulan asap pekat yang menyeruak. Tampak olehnya Puspita yang berbaju baru itu diapit kedua abangnya yang berseragam kusam. Ilham dan Iwan bagai penjaga yang menjaminkan perlindungan dan keamanan bagi adik mereka. Perih asap dan rasa haru agaknya telah bekerja sama, membuat Ranti mengiringi kepergian tiga anaknya dengan mata berkabut.
Ranti kembali menekuni kayu bakar di tunggu dan cepat-cepat meniup hingga api menyala ketika terdengar tangisan dari ruang depan. Ia sisihkan siongnya, lalu bergegas mendapati si bungsu yang terbangun dari tidur. Ranti mendekap dan menepuk-nepuk lembut pantat si bungsu yang sampai setahun setengah usianya kini hanya mampu ia suapi dengan air tajin. Tak sanggup ia membeli susu yang harganya selangit sementara kakinya tertanam dalam tanah. “Tidurlah, Nak. Hari belum lagi terang,” ucapnya sembari mengayun-ayunkan tubuh, berharap si bungsu kembali terlelap. Beberapa menit kemudian baru si bungsu tenang. Ranti merebahkan tubuh lelahnya di kursi rotan.
“Mas,” bisiknya,
seolah sedang memohon kekuatan. Namun, lelaki yang hanya mampu balas menatapnya
dari balik bingkai foto kusam yang tergantung di dinding itu tak dapat
membantu. Wajah muda sang suami—satu-satunya potret yang mengabadikan sosoknya,
terlihat teduh dalam figura tersebut. Entahkah ia akan tahu kesulitan Ranti
setelah ia tinggal pergi ke haribaan Sang Pencipta setahun lalu.
Ranti hampir
tertidur ketika terdengar desis air mendidih di periuk dan tumpah hingga memadamkan
sebagian api di tungku. Buru-buru diletakkannya si bungsu di atas kasur dan
menyelimutinya dengan kain panjang.
Tangannya
kembali bergulat dengan singkong, ragi, dan daun pisang. Mengolahnya menjadi
tapai yang akan dijual sebagai sumber pendapatan sampingan. Usai membungkus
singkong-singkong, ia harus berangkat ke ladang karena kemarin Pak Karim
memanggilnya untuk bekerja sebagai buruh tani.
“Biarlah,” Ranti
membatin, pasrah untuk ke sekian kali. ”Akan kutahan dulu situasi ini. Mungkin
pilihan terbaik adalah anak-anakku tetap sekolah. Tak mengapa, aku akan bangun
lebih awal lagi. Aku akan berjuang lebih keras lagi.” Hidup bagai sampan yang Ranti tumpangi bersama empat anaknya. Bilah-bilah kayuhnya adalah harapan. Tujuannya, merengkuh hari baik di seberang sana. Ia arungi waktu dan ombak kesulitan dengan tabah untuk mencapainya.
Ranti
mengintip lagi keluar melalui kusen jendela. Secercah cahaya sudah menyeruak di
kaki timur. Ranti mengingatkan diri untuk bergerak lebih cepat, memaksa langkah-langkahnya
mengayun lebih gegas.
Medan,
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar