NOVEMBER
DI KOTA HUJAN
Oleh
Dian Nangin
![]() |
Ilustrasi oleh Renjaya Siahaan |
Di bulan-bulan penghujung tahun seperti
ini, tak ada hal lain yang lebih sering diperbincangkan selain cuaca. Mendung.
Rinai air. Basah. Sarat kemurungan, ketidaknyamanan. Barangkali hanya satu dua
isu panas yang dapat mengalahkan dinginnya hujan. Isu panas yang ditunggangi
para provokator yang mengira bahwa mereka bisa menyetir negeri ini ke arah yang
mereka inginkan.
Tapi
itu bukan urusan kita, Na.
Kita punya hal lain
yang lebih penting untuk dilakukan. Ada pertemuan yang perlu kita genapkan. Serta
selaksa rindu yang harus kita tunaikan.
“Mari
bertemu di kota hujan, bulan November tahun depan.”
Email darimu terbuka di
ponselku yang menyala. Pesan yang kau kirim padaku setahun lalu; ajakan untuk bersua.
Pesan penyulut gairahku meniti hidup di pusaran hiruk pikuk negeri tirai bambu,
tempatku bekerja hingga lima tahun kini sejak tamat kuliah dulu. Kutapaki hari-hari
dengan semangat, demi tiba di titik waktu kita akan bertemu.
Aku dapat mengerti
dengan tahun yang kau pilih, sebab kaupun tahu waktu itulah masa kontrakku akan
berakhir. Tapi, aku merasa sedikit aneh dengan lokasi tempat dan bulan yang kau
tetapkan. “Kenapa di kota hujan? Kenapa November?”
“Supaya kita bisa menyatu
dengan musim.”
“Aku tidak paham.” Ya,
aku sungguh tak mengerti. Kukira kau menyelipkan teka-teki ke dalam romantika
kata-kata.
“Seperti julukannya, bukankah
kota itu tempat paling sempurna untuk menikmati hujan? Tempat terbaik untuk
menghayati kehangatan di tengah dekapan dingin?”
Kendati jawabanmu
semakin membingungkan, aku menurut saja. Tak sulit bagiku memenuhinya. Kota
Bogor yang terkenal sejuk meski datang ke sana saat akhir tahun cuma akan
disambut curah hujannya yang semakin tinggi, barangkali memang tempat yang
tepat untuk kita bertemu.
Bulan
demi bulan akhirnya berlalu. Kukemas barang-barang, siap mengangkutnya bersama
seluruh hidupku kembali ke Jakarta. Kulambaikan tangan pada rekan dan kolega.
Berat memang mengucapkan selamat tinggal, namun ada secercah harapan kala mengingat
apa yang akan kudapati kemudian. Kau.
Aku
datang, Na.
Sudah dua jam lebih aku
menunggumu, tepat pada waktu dan tempat yang kau tentukan. Kuteliti segelintir wajah
yang terjangkau pandanganku, mungkin salah satunya adalah kau. Tak lebih dari
lima wajah, sebab tidak ada yang mau mengumpankan diri pada hawa dingin yang
menggigit seperti sekarang. Kebanyakan orang pasti lebih memilih menghangatkan
diri di kafe, bertemankan secangkir kopi panas. Atau merebus mi instan di rumah
dan menikmatinya sambil berselimut di depan televisi. Yang pasti bukan
berkeliaran di tengah guyuran hujan sepertiku, demi sebuah janji yang mungkin
sudah kadaluarsa.
Datanglah, Na. Kumohon.
Tak tahukah kau betapa
aku ingin menjelma pahlawan yang mengorbankan jaket, syal, topi, atau apapun demi
menghindarkanmu dari hujan? Kubayangkan musim ini akan memberiku kesempatan dan
alasan untuk memelukmu. Agar kau tidak menggigil kedinginan.
Nanar, kupandang pesanmu
di layar ponselku. Percakapan-percakapan kita yang tak juga kulenyapkan.
Rangkaian kata yang sekarang kubaca ulang setelah menguatkan hati. Rangkaian
pesan yang menyadarkanku bahwa tak ada gunanya aku datang sekarang.
“Aku minta maaf karena
tak bisa menepati janji sendiri. Sepertinya kita tidak akan bisa bertemu,”
katamu di pertengahan Agustus, sedikit lagi menuju November.
Waktu itu aku
menanggapimu dengan setengah bercanda karena teringat sebuah lagu dangdut. “Kau
yang berjanji kau yang mengingkari....”
“Aku serius.”
“Kenapa?”
“Aku harus pergi ke
tempat lain dan mungkin tak akan kembali lagi.”
“Kemana?”
“Ke suatu tempat yang
jauh.”
“Seberapa jauh?”
“Ada jarak yang tak
mungkin sanggup kau tempuh selagi kau masih hidup.”
Teka-teki lagi. Aku tak
ingin membuang waktu untuk menerka-nerka jawabannya, sebab kau tampaknya begitu
sungguh-sungguh.
“Tidak! Kau harus menungguku! November sudah
dekat.”
“Aku tidak yakin waktu
akan mengizinkanku.”
Terlintas dalam
pikiranku sebuah dugaan yang membuatku takut mengetahui kebenarannya. Dan,
kuharap itu hanyalah pikiran tak berdasar yang salah. Tapi bagaimana pun aku
tak ingin larut dalam dugaan yang ambigu. Aku ingin kita setidaknya bertemu
muka melalui alat komunikasi yang sudah
canggih.
“Nanti kau terkejut
melihatku. Bisa-bisa kau bunuh diri mendapati kenyataan bahwa aku tak secantik
yang kau sangka.”
“Seperti kabar-kabar
norak para remaja korban dunia maya?”
Kau akhirnya menyanggupi
permintaanku; memangkas jarak dan kita berjumpa di layar sekian inci. Berusaha
kusembunyikan rasa kaget yang menyergapku begitu melihat keadaanmu. Tak pernah
kutahu bahwa hidupmu bergantung pada selang-selang yang mencucuk hidung dan
jarum di pergelangan tangan, serta sisa waktu yang telah diperkirakan secara
medis.
Rupamu sekarang amat
berbeda dengan kau yang dulu kutemukan dalam media sosial, perantara yang
mempertemukan kita. Tak pernah terlintas dalam bayanganku bahwa helai-helai
rambut hitam panjang itu akan meninggalkan kepalamu. Matamu yang penuh daya
hidup itu kini meredup.
Namun, perihal cantik atau
tidak, tak penting bagiku. Sebab aku terhenyak karena mengingat kalimatmu
sebelumnya bahwa kau ingin pergi jauh dan kita tak akan bertemu? Apakah kita
benar-benar tidak punya kesempatan?!
“Kau terkejut, kan?”
“Maaf, selama ini aku
tak tahu.”
“Tidak perlu meminta
maaf. Aku justru berterima kasih karena kau telah tulus berteman denganku. Aku
tak bermaksud membebanimu dengan kenyataanku ini.”
“Apa kau benar-benar
harus pergi?” tak dapat kusembunyikan betapa pilu hatiku.
“Lelaki seharusnya
tegar,” balasmu.
“Lelaki juga manusia
yang punya hati dan air mata,” ujarku membela diri.
“Semoga kau menemukan
perempuan yang baik dan sempurna. Selamat tinggal....”
“Aku akan datang!!!” kuteriakkan
janji pada koneksi yang telah terputus. Teriakan yang disambut gema sunyi.
Sebenarnya
sudah kutahu kau akan ingkar, Na.
Ingkar yang di luar
kehendakmu. Namun hatiku bersikeras menagihnya sekalipun itu sia-sia. Tindakan
bodoh yang hanya berbuahkan luka.
Sekarang aku paham
mengapa kau ingin kita bertemu di sini. Sebab tak ada tempat lain yang boleh
kau datangi. Di salah satu rumah yang berada di puncak kota ini kau berdiam dan
menjalani pengobatanmu. Dari sini pula awal mula komunikasi dan hubungan kita,
dua hal yang menjadi alasan kuat bagiku untuk tetap datang. Barangkali masih
ada tertinggal jejak, aroma tubuh, atau apapun yang mengindikasikan dirimu.
Namun, tak ada hal lain
yang dapat kulakukan kecuali memandang titik-titik air yang dari untaiannya terputus-putus.
Barangkali memang harus terputus dan berjarak, dengan demikian ia dinamakan
hujan. Hujan yang mengantarkan hati pada sebuah melankoli, yang menguak cerita
lama dan kenangan-kenangan usang beraroma muram.
Mungkin sekarang
aku dan kau juga harus menjelma hujan. Serupa titik-titik air yang harus
terpisah dan siap jatuh dari rahim awan menuju bumi begitu petir memberi
aba-aba. Sejenak harus saling mengucapkan selamat tinggal. Meluncur turun dan
mendarat di tempat berbeda. Namun mereka senantiasa bersenyawa kembali, tanpa
peduli di got, di sungai, danau, atau laut lepas sekalipun. Di sana mereka
bersua. Aku pun percaya, akan ada satu muara tempat kita nanti membayar
pertemuan yang tertunda.
Andaikan
hujan dapat bicara, aku ingin ia mewartakan renjana yang membelengguku. Ingin
kutitipkan rindu di setiap titik airnya, mengirimnya ke tempat jauh, berharap
sampai padamu. Setidaknya satu dari antara miliaran tetesnya akan menyentuh
ujung payungmu. Atau memercik dan meresap ke dalam hatimu. Eh, apakah di ‘sana’
juga sedang turun hujan? Apa kau kedinginan?
Semoga di nirwana kau menemukan kehangatan
abadi, Hana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar