![]() |
ilustrasi oleh Waspada |
DESA YANG HILANG
Oleh Dian Nangin
Seantero desa tiba-tiba
gaduh, riuh rendah seperti semut kebakaran sarang. Orang-orang tumpah ruah
keluar rumah. Truk-truk pengangkut bergerak. Berlusin-lusin lelaki gagah dengan
langkah berderap sigap mengerahkan tenaga.
“Ayo, ayo! Cepaaat!”
Lengkingan perintah saling menimpali.
“Lewat sini!”
Orang-orang saling memanggil satu sama lain, tak ingin tercerai berai dari
keluarga, dari sanak saudara.
“Tasku! Mana tasku?”
Di tengah kekacauan,
seorang lelaki tersuruk-suruk menggendong putri semata wayangnya menuju truk
terdekat. Lehernya dipeluk erat oleh dua lengan kecil yang mengigil. Gadis
kecilnya itu ketakutan setengah mati, tak mampu memahami apa yang tengah
terjadi. Kunciran rambutnya bergoyang-goyang hebat.
Lelaki itu setengah
melemparkan putrinya ke atas truk. “Tunggu di sini, Cike! Bapak akan kembali!”
Ia berbalik dan
berlari. Anak perempuan itu meringkuk ke pojok truk, menghindari hiruk pikuk
yang memekakkan telinga.
Menit demi menit
berlalu penuh cekam. Mata anak perempuan itu bergerak liar, mencari-cari. Namun
yang ia lihat hanya seliweran lelaki berseragam yang menggendong para lanjut
usia, menggiring anak-anak, menjinjing karung dan koper, atau menuntun
perempuan hamil. Lengking tangis bayi memilukan hati. Bak truk hampir penuh
dijejali orang dan barang. Mobil tiba-tiba bergetar, mesinnya sudah dihidupkan.
Seiring degup jantung
yang kencang, tampak sang ayah di kejauhan. “Cepat, Bapak!”
Truk hampir berjalan.
“Tunggu!” anak itu
memekik nyaring. Melonjak-lonjak. Menunjuk. “Itu bapakku!”
Beberapa tangan
menggedor kap depan mobil. Lelaki itu tiba terengah-engah. Dua buntalan gemuk
dari sarung menggelayuti kedua bahunya. Seseorang mengulurkan tangan,
membantunya naik. Pintu berdebam ketika ditutup. Truk melaju.
Jalan berbatu membuat
seisi truk berguncang-guncang. Sebagian penumpang terisak bisu. Sebagian lagi
menundukkan kepala dan terdiam, shock.
Di luar truk, gerungan mesin berbagai kendaraan terdengar ingin saling
mendahului. Gadis kecil itu mendongak. Wajahnya pasi. Sebuah bayangan hitam menakutkan
perlahan tumbuh meraksasa, menyelimuti langit desa.
***
Berapa kali pun
pertanyaan yang sama dilontarkan pada Cike dimana tempat yang paling indah
baginya, jawaban yang ia berikan tak pernah berubah. Tempat itu tak lain tak
bukan adalah kampungnya, sebuah desa di kaki gunung yang telah ada jauh sebelum
kemudian didiami kelompok-kelompok kehidupan.
Jawaban itu mungkin
mengingatkanmu akan tugas menggambar yang pernah diberikan guru kesenian
sewaktu SD. Kebanyakan anak berangkat dari tema yang sama. Dua gunung
bersebelahan, yang dari celahnya terbit matahari. Kawanan burung melintas,
menghiasi langit. Lalu ada sebuah rumah dengan pekarangan yang luas, tersambung
pada jalan yang membelah sawah-sawah berpadi. Tak pernah jelas dimana jalan itu
berakhir. Itulah mahakarya pertama yang mungkin tak akan pernah terlupa.
Barangkali gadis kecil
itu belum pernah menginjakkan kaki di ibukota, menjelajah belantara
gedung-gedung, mencicipi hidup ala metropolitan. Bila diajak ke sana pun,
mungkin ia takkan betah sebab ia terlanjur mencintai desanya.
Baginya, tak ada yang
dapat mengalahkan kenikmatan tidur siang di bawah pokok nangka di samping
pondok ladangnya. Menikmati teduh yang diciptakan rerimbunan daun yang baik
hati. Bermimpi indah sambil memeluk anjing gemuk berbulu coklat nan lebat yang
tak pernah keberatan didekap. Dibuai gemerisik rumpun bambu di tepi ladang.
Kenikmatan lain adalah
bermain ayunan yang menggantung pada salah satu lengan pohon nangka itu,
berayun dengan kencang, menantang kesiur angin sambil sesekali mengabaikan
ayahnya yang cemas ia akan jatuh. Dikelilingi ladang-ladang hijau seluas mata
memandang.
“Kenapa kita nggak pulang saja, Pak?” pernah
ia bertanya pada ayahnya setelah menahun terkatung di pengungsian. Betapa Cike
ingin pulang.
“Desa kita sudah
hilang.”
“Hilang bagaimana?”
Ayahnya hanya diam
membisu.
“Kita bisa mencarinya.”
Binar mata bocah itu penuh kesungguhan.
“Bapak sudah pernah
mencarinya, tapi desa kita tak pernah ditemukan.”
Meski di tempat yang
baru itu sejatinya juga banyak pepohonan yang dibawah teduh naungan dedaunan ia
masih bisa tidur siang, namun ia tak bisa mencintainya sama besar sebagaimana
ia mencintai desanya.
Dari puncak bukit
tempat dimana kemudian mereka berlabuh, dipandangnya gunung yang dulu di
matanya sungguh agung.
Lama matanya memandang
jauh ke utara. Seakan ingin memahami hal misterius yang sedang bergolak dalam
lambung gunung, sebab pucuknya tak lelah mengepulkan bergumpal-gumpal abu.
Seperti kepulan asap rokok yang ditiupkan bibir-bibir mengerucut.
Angin yang bertiup di
puncak bukit ini terlampau dingin meski langit nyatanya belum jatuh dalam gelap.
Dinginnya hampir-hampir membekukan tulang. Cike menghela nafas panjang. Petang
menyala jingga di balik bukit, mewarnai langit dan awan-awan.
Kembali ia teringat
pada sore tenang yang mendadak hingar bingar ketika sang gunung ‘mengamuk’.
Senja kala itu nyaris sama seperti saat ini. Letusan hebat tersintesa persis di
depan matanya. Mengacaukan segalanya. Bahkan orang-orang yang baru pulang dari
ladang belum sempat membasuh tubuh. Makan malam tak sempat disantap. Hewan
peliharaan yang disayang harus ditinggal, sebab lebih penting untuk
menyelamatkan nyawa manusia.
Sejak saat itu, di mata
Cike, senja tak pernah lagi indah.
Untuk Sinabung
Medan,
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar