![]() |
ilustrasi oleh Joglosemar |
TAKDIR ANGIN
Oleh Dian Nangin
Sewaktu masih kecil, aku mengira langit
hanya tiga jengkal lebih tinggi dari kepala orang dewasa. Aku berpikir bisa
menyentuhnya dengan memanjat pokok jambu di pekarangan belakang rumah. Kujaga
keseimbangan tubuh agar bisa bertengger di cabang dahan paling tinggi. Tapi ketika
kuulurkan tangan, ternyata langit masih cukup jauh dari ujung jemari yang sudah
berusaha kupanjang-panjangkan. Kucari sebatang galah, barangkali dengan
bantuannya, aku bisa menjangkau langit. Namun lagi-lagi bentangan mega biru itu
masih belum bisa kusentuh.
Ketika
guru Bahasa Indonesia memberi tugas mengarang tentang pengalaman liburan,
betapa aku ingin menulis cerita tentang kunjunganku ke langit. Aku ingin
berbeda dari
teman-temanku yang kebanyakan berkisah tentang liburan ke rumah
nenek atau ke berbagai tempat wisata lain yang menurutku membosankan. Namun, berhubung
aku belum pernah berhasil pergi ke langit, aku tak jadi menuliskannya. Khawatir
guru dan teman-teman akan menuduhku mengibul.
Setelah
berbulan-bulan memutar otak, akhirnya sebuah ide melintas di pikiran meski aku
tak terlalu yakin itu cukup efektif untuk menuntaskan obsesiku akan langit.
Pemikiran itu kuutarakan pada momen perkenalan di kelas baru pada tahun ajaran
selanjutnya. Waktu itu Ibu wali kelas bertanya tentang cita-cita.
“Menjadi
burung,” jawabku.
Seisi kelas terkikik
mendengarnya. Ibu guru juga sempat tertawa sebentar, namun ia segera menahan
diri. Setelah keriuhan kelas sedikit mereda, ia lanjut bertanya. “Apa ibumu
suka mendongeng?”
Aku menggeleng dengan
heran, sebab tak kutemukan korelasi antara dongeng yang tak pernah dikisahkan
ibuku dengan cita-cita yang sekarang dipertanyakan.
“Kita telah tercipta
sebagai manusia. Bersyukurlah untuk itu, sebab manusia lebih tinggi derajatnya
dari burung atau hewan apapun. Cita-cita yang ibu maksudkan adalah sejenis
profesi atau hal-hal yang ingin kau lakukan atau miliki di masa depan...”
Yang
ingin kulakukan adalah menggapai langit. Dan, burung memiliki kemungkinan lebih
besar untuk melakukannya, sementara manusia tidak,
tambahku dalam hati. Karena aku tak kunjung menjawab, Ibu guru meninggalkan
giliranku dan mengajukan pertanyaan pada murid selanjutnya. Tapi kalimatnya
tersebut terngiang di telingaku berhari-hari, membuatku ragu dan akhirnya
kuputuskan melupakan cita-cita menjadi burung.
Momen serupa kembali
terjadi ketika aku telah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Cita-cita
tak pernah luput dari daftar pertanyaan yang kerap diajukan saat perkenalan.
“Menjadi
malaikat,” sahutku yakin.
Sama seperti dulu,
seluruh penghuni kelas kembali tertawa. Kali ini lebih keras. Bahkan ada yang
sampai mengeluarkan air mata saking gelinya.
“Kau kira Tuhan sudi
menjadikanmu malaikat? Sedikitpun kau tak memenuhi kualifikasi,” sahut mereka
dengan nada mencela, seolah mereka yang paling memahami isi kepala Tuhan.
“Sebab dengan menjadi
malaikat aku bisa menyentuh langit,” ujarku membela diri. Dan, bukankah
malaikat lebih tinggi derajatnya dari manusia dan burung?
“Menyentuh langit
katamu?!”
“Anak laki-laki, kok,
jadi pengkhayal?”
“Gila,” tuduh mereka. “Anak ini tampaknya
sudah gila.”
Aku hanya angkat bahu,
gestur tidak ambil pusing. Memangnya salah kalau mengidolakan langit? Aku
memang tak sama dengan teman-teman lelakiku yang kebanyakan mengoleksi TTS
murahan bersampul gambar perempuan-perempuan dewasa yang norak tapi seksi.
Sebenarnya aku juga punya satu, namun buku tipis itu bernasib malang dengan
berakhir menjadi santapan rayap sebab terabaikan di kolong tempat tidur.
Ketika
masuk ke sekolah menengah atas, aku menemukan solusi yang lebih masuk akal.
Solusi agar aku bisa menggapai langit. Aku akan menjadi pilot! Pengendali
burung besi, bukankah itu hebat? Dengan menjadi pilot, aku akan bebas berlalu
lalang di angkasa. Namun, sebelum aku sempat mendeklarasikannya, pemikiran itu dihempas
oleh kenyataan dalam sekejap. Keadaan ekonomi kami tak mengizinkanku untuk
melakoninya. Bahkan tidak untuk sekedar beranjak dari kampung ini ketika tamat
nanti.
Begitulah. Otakku
macet, tak bisa memikirkan cara apapun lagi. Impianku kandas. Selepas dari
seragam putih abu-abu, aku hanya bisa bergelut dengan jala dan perahu.
Menggantungkan peruntungan pada hasil tangkapan ikan-ikan. Meneruskan profesi warisan
dari ayahku yang mati tersambar petir tepat ketika aku lulus. Tak ada pekerjaan
lain yang dapat kulakukan, pun tak kumiliki keahlian khusus yang bisa
menghindarkanku dari laut.
Bertahun-tahun aku
menjadi nelayan demi menjaga kelangsungan hidupku berdua dengan ibu. Lama
kelamaan aku jadi menyatu dengan laut, hasil tangkapanku pun lebih sering
memuaskan daripada mengecewakan. Sempat terpikir olehku bahwa, jangan-jangan,
sebenarnya nelayan adalah cita-citaku yang terpendam.
Namun,
suatu hari, entah sebab apa, wajah langit yang terpantul pada permukaan laut
tiba-tiba membuncahkan kerinduan yang selama ini telah terkubur. Bayangan yang
terpantul itu segera pudar ketika kusentuh. Sama sekali tak mampu mengobati
nelangsa hati ini.
Menurutku, tak ada yang
dapat mengalahkan luasnya langit. Tidak, bahkan laut sekalipun. Laut masih
dibatasi oleh pantai atau tebing yang memisahkannya dengan daratan. Sedangkan
langit selalu ada di atas sana kemanapun aku pergi. Seolah ia atap raksasa yang
meneduhi bumi.
Dengan hati dibalur
lara bercampur rindu, kutatap langit hari demi hari. Serupa rindu paling pekat
untuk kekasih yang tak pernah kumiliki. Tempat favoritku adalah di tepi pantai
kala tak pergi melaut. Hari ini langit cerah bersaput awan tipis melatari
layang-layang aneka warna. Aku nyaris hilang dalam ruang dan waktu karena
pesona langit, hingga tersadar ketika mendengar seorang anak berujar,”Ayolah
angin, terbangkan layang-layangku ke langit...”
Angin?
Tiba-tiba sesuatu
berdenting di kepalaku. Menjadi angin, kenapa tidak? Bukankah angin begitu
leluasa pergi kemana pun mereka mau? Aku tertawa terbahak-bahak merayakan
pemikiran jenius ini.
“Lihat. Lelaki itu
sudah sinting. Tertawa sendiri tanpa sebab.”
“Dia memang sudah
terkenal gila sejak dulu.”
Kuabaikan cibiran orang-orang
yang bercokol di warung tak jauh dari tempatku berbaring. Selamanya mereka
takkan pernah mengerti. Kali ini tak akan kubiarkan satu hal pun yang
menghalangi niatku mewujudkan impian ini. Aku telah berusia kepala tiga
sekarang. Namun kuyakini satu hal bahwa tak ada kata terlambat untuk meraih
cita-cita.
“Doakan
aku, Bu,” pintaku pada ibu seusai aku mengutarakan perihal cita-cita tertunda
yang sekarang ingin kukejar lagi. Ibu mengangguk dengan berurai air mata. Aku
tahu pahit baginya untuk merelakanku pergi, namun tak ada yang lebih
membahagiakan seorang ibu selain melihat anaknya berhasil menggapai mimpi.
Bukan begitu?
Diiringi restu dan lambaian
tangan keriput ibuku, kulangkahkan kaki menuju hutan tepi kampung dimana
berdiam seorang dukun yang telah terlupakan. Dukun yang dulu selalu diandalkan
penduduk kampung untuk berbagai hal, namun kini semua tindak-tanduknya
diharamkan.
Singkat cerita, aku
diterima lelaki si dukun tua di pondok reyotnya. Katanya, ia telah lama
menungguku, bahkan tahu apa maksud kedatanganku tanpa perlu kuutarakan.
“Sebab tugasku adalah
membuat setiap orang menjadi satu dengan takdirnya. Nah, sekarang harus belajar
mengendalikan diri,” lelaki tua itu terkekeh.
Sekian
detik berlalu tanpa kusadari arti ucapannya. Tak kutahu kapan dan bagaimana
lelaki tua ini beraksi, tahu-tahu aku sudah berubah wujud. Tanpa ritual, tanpa
mantra. Kami hanya bercakap-cakap sebentar, perbincangan yang tak begitu
berarti. Benar-benar dukun sakti.
Aku
hendak bersujud sembah di hadapannya, tapi tak tahu bagaimana melakukannya.
Secepatnya aku harus beradapatasi dengan wujud baru ini. Usai merinaikan seribu
satu pujian dan terima kasih, aku berhembus menuju kampung dengan diliputi
bahagia, ingin menunjukkan diri pada ibuku dan membuktikan bahwa aku telah
berhasil.
Tapi ternyata
kebahagiaan yang kurasakan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Keberadaanku
mengacaukan laju belasan layang-layang, memutuskan beberapa benangnya, menerbangkan
pasir, memorak-porandakan pondok-pondok di tepi pantai. Orang-orang berlari
menjauh sambil memekik ketakukan.
Dengan
sedih, kuputuskan berhembus menuju laut. Aku tak ingin menyebabkan kekacauan
lebih besar lagi di daratan. Tapi ternyata sama saja. Keberadaanku di bentangan
air juga menyebabkan kerusakan. Ketika aku datang, gelombang tiba-tiba
bergelora. Mantan rekan-rekan sesama nelayan panik mendapati kapal mereka
tiba-tiba diterjang badai. Mereka melemparkan diri ke laut setelah melengkapi
diri dengan pelampung pengaman sambil mengumpat, merutuki badai yang datang tiba-tiba
pada musim dimana laut seharusnya berangin tenang.
Aku benar-benar telah menggenapi
namaku, takdirku. Topan. Ah, andai saja ketika lahir dulu Ibu menamaiku Sepoi....
Medan,
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar