Sebenarnya cerpen ini pernah diikutkan LOMBA MENULIS CERPEN HUTAN DAN LINGKUNGAN Perhutani Green Pen Award 2016, namun ternyata tidak menang. Akhirnya berakhir di sini, sekedar untuk diabadikan juga untuk dinikmati bila ada yang berniat membaca. Well, here the story. Bila ada yang ingin menyampaikan kritik, saya tunggu, ya. Selamat membaca....
SENANDUNG TERAKHIR
Oleh Dian Nangin
Rasanya baru kemarin kau mengamati dan menghitung ruas-ruas baru yang bertambah di tubuhmu. Rasanya baru kemarin ayahmu—yang tubuhnya besar nan gagah itu—bercerita bahwa kau telah lama ditunggunya. Katanya, tiap kali muncul rebung tak jauh dari kakinya tertanam, selalu saja ada yang mengambilnya sebelum sempat tumbuh besar dan bertransformasi menjadi bambu yang elok dan menjulang tinggi.
Cerita itu membuatmu
paham mengapa hanya kau berdua saja dengan ayahmu yang berada dalam satu
kelompok, sementara bambu lain hidup beberapa batang sekaligus dalam satu
rumpun. Itu karena bakal bambu sebelumnya tak punya kesempatan untuk tumbuh,
seperti yang ayahmu katakan.
Rasanya baru kemarin
kau membangun persahabatan dengan para burung yang aktif berkicau, meramaikan
siangmu. Juga dengan para serangga malam yang setia dengan orkestranya. Menidurkan
para burung yang meringkuk dalam sarang, kelelahan telah bersenandung sepanjang
siang.
Rasanya baru kemarin
kau mengenal angin, makhluk yang tak tampak namun selalu berduet dengan
daun-daunmu. Ikut bersenandung penuh harmoni dengan kicau burung, dengan kerik
jangkrik.
***
Rasanya baru kemarin kau
mendapat ‘kunjungan’ pertamamu dari kaum manusia; seorang wanita tua yang datang
bersama cucu perempuannya, tak berapa lama setelah tubuh rebungmu berubah
menjadi bambu.
“Wah, kau tumbuh dengan
sangat baik. Dulu kau hanya setinggi satu ruas bambu besar ini. Tapi kini,
wuaah, aku harus mendongak untuk menatapmu...,” Wanita tua itu berkacak pinggang sambil berdecak kagum.
“Apa ini bambu? Kenapa
berbeda dengan yang lain?” cucunya yang berkuncir dua itu berceletuk. Ia pasti
heran melihat posturmu yang lurus saja, dengan pucuk yang bahkan belum mampu
menembus rimbun dedaunan yang meneduhimu nun jauh di atas sana.
“Ya, bambu ini masih
sangat muda. Lihat, daunnya juga masih beberapa. Dulu dia masih rebung.”
“Apa rebung itu, Nek?”
“Tunasnya. Nenek sering
masak rebung dan Ninda suka. Ingat? Yang warnanya putih dan enak sekali...”
“Jadi kalau rebung
tumbuh, berubah jadi bambu yang seperti ini?”
Aduh, kau gemas sekali
mendengar bocah itu melontarkan pertanyaan dengan suara lucunya. Bergantian dia
menunjukmu dan batang ayahmu.
“Ya,” sang nenek
menjawab seraya mengacak lembut rambut cucunya. “Nanti dia akan tumbuh tinggi
melebihi bambu lain. Kelak kau pun akan tumbuh besar dan tinggi melebihi ayah
ibumu. Menjadi seseorang yang hebat.”
“Halo, bambu. Kau harus
tumbuh besar dan tinggi, ya!” Anak itu tiba-tiba memelukmu dengan kedua
tangannya. Suatu perasaan aneh menjalarimu. Bahagia. Apakah ada perasaan lain
yang lebih menyenangkan selain dicintai? Kau ingin sekali balas memeluknya,
membuatmu berandai-andai memiliki tangan.
Tapi kesenangan itu
berakhir ketika si bocah kecil spontan melepaskan pelukannya. Tiba-tiba
menangis.
Ada
apa? Kenapa dia menangis? Kau bingung, merasa tidak
melakukan sesuatu yang salah.
“Aduh, Ninda. Nenek
lupa bilang kalau batang bambu itu bisa bikin gatal. Apalagi kalau belum
terbiasa,” wanita itu berusaha menenangkan.
Lihat.
Kita punya bulu-bulu halus di sekujur tubuh, kau juga. Kita gunakan sebagai
pelindung diri. Itu yang menyebabkan rasa gatal...
ayahmu menjelaskan.
Aku
tidak bermaksud menyakitinya. Sungguh... sesalmu.
“Hei, hei! Lihat.
Cantik sekali....” si nenek tiba-tiba berseru riang. Anak itu teralihkan
perhatiannya oleh beragam kupu-kupu yang beterbangan di sekitarmu. Hinggap dari
satu kuntum bunga ke kuntum yang lain. Bocah itu menghentikan tangisnya. Kaupun
tersenyum, seketika menyadari bahwa sebenarnya tumbuh tinggi tak selamanya menjadi
suatu kebanggaan. Bunga-bunga tak bernama di bawah sana, pendek, kecil saja
kelopaknya, namun sanggup melengkapi keindahan. Juga hewan-hewan bersayap
mungil yang membawa kegembiraan.
Sementara si cucu asyik
bermain, wanita tua itu menebang satu batang bambu.
Sedang
apa dia? Kau bertanya, heran melihat si wanita tua asyik
berkutat dengan parang dan potongan-potongan bambu.
Dia
biasanya membuat centongan nasi, lalu menjualnya untuk mendapatkan uang. Tak
hanya dia yang menggunakan kita para bambu. Ada petani yang mengubah batang-batang
kita menjadi pagar tanaman, peternak yang membangun kandang ayam, perajin yang
membuat souvenir dan banyak lagi. Besok atau lusa, kau mungkin akan melihatnya.
Kau hanya
manggut-manggut sembari memperhatikan si nenek bekerja. Namun kekhusyukanmu
diinterupsi oleh petir yang mendadak menyambar.
“Ayo pulang! Hujan mau
turun...” Wanita itu berseru sembari membereskan barang-barangnya. Bersama
cucunya ia bergegas keluar hutan. Langkah-langkah kaki mereka menciptakan
kemerosok ketika menginjak dedaunan kering yang menumpuk di atas tanah.
Tak lama kemudian hujan
mengguyur serupa jarum-jarum air. Sekujur tubuhmu basah nan menyegarkan. Memuaskan
dahaga urat akarmu.
Usai hujan, secercah
sinar menyeruak awan. Mentari senja ternyata masih ingin melabuhkan kehangatan
cahaya terakhirnya sebelum lungsur ke balik bebukitan, jauh di ujung barat sana.
Burung-burung bertengger di puncak
pohon, mulai lagi bersenandung sebelum kembali ke peraduan.
Hei,
apa itu? Kau takjub mendapati berkas-berkas warna melengkung
persis di atas tubuhmu.
Manusia
menyebutnya pelangi. Indah, kan...
Kau hanya terpana dalam
pukau. Warna-warna itu begitu berbeda dengan dominasi hijau yang selama ini ada
di sekelilingmu.
Baru
kali ini aku melihatnya. Ya, benar-benar indah.
Cepatlah
tumbuh lebih tinggi lagi. Ada banyak hal yang bisa kau lihat.
Kau lambaikan pucukmu
yang tertinggi, menyapa pelangi. Berharap ia sering-sering menampakkan diri
karena ia begitu memesona.
***
Rasanya belum jauh tertinggal
hari-hari yang telah bergulir tenang. Rantingmu yang mulai muncul bersamaan
daunmu ikut melebat, membuatmu merasa sempurna.
Kepada burung-burung
kau julurkan rantingmu, serupa rentangan lengan-lengan kokoh yang menawarkan
kenyamanan dan keamanan. Kau mendapatkan kepercayaan mereka untuk menjadikanmu
tempat menopang sarang.
Tak menunggu lama para
burung membaringkan telur-telur di dalamnya. Tiap hari kau melongok-longok ke
dalam sarang, menemani si induk burung mengeram. Bersemangat menjadi saksi
munculnya sebuah kehidupan baru. Betapa bersyukurnya bisa menyaksikan sesuatu
yang sepenting itu, tak peduli meski ayah dan kawanan bambu lain di
menertawakan tingkahmu. Mereka bilang burung yang menaruh sarang di ranting
para bambu adalah hal biasa. Biar saja!
***
Rasanya baru kemarin
ayahmu yang gagah pergi meninggalkanmu, di satu pagi yang baru merebak, ketika
sekumpulan lelaki-lelaki gagah memasuki hutan. Berisik dengan parang-parang di
tangan, rokok dengan bara menyala di bibir.
Salah satu lelaki berjalan
menuju ayahmu, lekat mengamati setiap inci tubuhnya. Mengangguk-angguk.
“Sempurna,” desisnya.
“Kawan, aku akan
menebang yang satu ini.”
“Ya. Yang itu terlihat bagus!”
seseorang menyahut setuju.
Kau panik, tak tahu
harus bagaimana untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi. Selama ini sudah
banyak orang keluar masuk hutan, mengambil rebung atau batang-batang bambu
untuk beragam keperluan. Tapi untuk kali ini, giliran ayahmu tiba! Kau tidak
ingin kehilangan dia...
Mereka
telah memilihmu, Ayah! Bagaimana ini?
Tidak
apa-apa, ayahmu justru menjawab kalem. Karena memang begitulah takdir kita. Jangan melawan, jangan keraskan tubuhmu
kelak bila tiba saatmu.
Ayahmu terlihat sangat
tenang, seolah momen ini telah ia tunggu seumur hidup. Ia menyambut sabetan parang
yang bertalu-talu di bagian terbawah tubuhnya.
Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.
Satu-satunya yang perlu kau takutkan adalah apabila hidup dan keberadaanmu
tidak berguna.
Tapi
aku takut, bisikmu.
Bernyanyilah...
Angin
membantumu bersenandung sembari menyaksikan tubuh ayahmu berderak lalu tumbang.
Menimpa beberapa bambu lain sebelum kemudian ambruk dipeluk tanah. Beberapa
orang memangkas ranting-rantingnya. Memotongnya menjadi beberapa bagian.
Lalu
lelaki lain mulai menganyam potongan-potongan tubuh ayahmu. Telaten sekali dia.
Baru kau tahu bahwa setelah dipotong begitu rupa, tubuh bambu bisa juga lentur.
Ayahmu yang gagah kini berubah bentuk menjadi keranjang.
***
Rasanya
baru kemarin kau paham apa itu kehidupan bagi kaum bambu.
Ada yang mati atau dibawa
pergi, namun ada pula yang baru yang akan menggantikan. Begitu pula dengan
burung-burung, tanaman lain, bahkan angin. Semua datang silih berganti.
Waah!
Lihat ini...! Kau menghebohkan rumpun-rumpun bambu
lain ketika fajar baru menyingsing. Ada
rebung yang tumbuh di kakiku!
Tampak sebuah tunas,
kecil dan masih malu-malu memunculkan pucuknya.
Selamat. Kau tidak menunggu selama ayahmu.
Sungguh beruntung.
Rasa
bangga dan takjub menguasaimu. Perlahan paham bagaimana perasaan ayahmu dulu
ketika bercerita tentangmu. Seketika kau berharap tak ada yang akan mengambil
rebung itu dari kakimu. Ingin menyaksikannya tumbuh tinggi. Bercerita tentang
ayahmu yang telah lebih dulu ditebang dan dijadikan keranjang. Menunjukkan
padanya pelangi yang sungguh indah tiada tara.
Sembari
bernyanyi-nyanyi, kau tidak sabar menunggu hari-hari berlalu.
Namun
ternyata tak ada yang abadi. Tidak semua berlangsung baik-baik saja.
***
Mulanya, sebuah
kecurigaan menghampiri.
Hei!
Kau menyapa bambu-bambu sekelilingmu. Aku
sudah lama tidak melihat wanita tua dan cucunya, pembuat centong nasi itu!
Seolah
tersadar, kumpulan rumpun bambu lain juga mulai saling bertanya.
Ya. Lelaki-lelaki penganyam keranjang itu
juga tidak muncul-muncul. Padahal aku merasa sudah cukup kuat dan siap untuk
ditebang sekarang.
Coba tanya bambu sebelah utara. Pintu masuk
ke sini, kan, dari sana. Terdengar sebuah saran.
Tak
menunggu lama, semuanya terjawab.
Papan-papan
peringatan sudah ditancapkan di pintu masuk sana!
Beberapa lelaki berbadan besar
menghalau orang-orang untuk masuk ke mari. Mereka juga melihat wanita tua yang
datang bersama cucunya tempo hari.
Katanya mereka mencuri!
Mencuri? Bukankah kita bebas dan milik siapa
saja?
Namun, kali ini
tak satupun darimu yang tahu jawabannya.
***
Rasanya
semua kedamaian itu baru terjadi sehari lalu. Namun hari ini berbalik menjadi
sebuah kekacauan.
Sore
yang biasanya menyenangkan tiba-tiba diinterupsi oleh suara bising. Ada kabar
merebak, rumpun-rumpun bambu sebelah selatan ambruk semua. Suara bising itu
meraung-raung hingga beberapa jam. Sementara langit mulai menjulurkan
lidah-lidah malam nan gelap. Kau dan kaummu para bambu terlalu panik untuk
menyadari apa yang terjadi.
Betapa
kagetnya kau ketika mendapati kenyataan itu pagi harinya. Kalau selama ini
cahaya matahari merasuk hanya melalui celah dedaunan, namun pagi ini kau dapati
sinar menyilaukan itu menjalari kakimu. Begitu dekat, seolah tanpa sekat.
Tidak
biasanya seperti ini. Tiba-tiba kau merasa terancam. Lebih lagi, kau bergidik
ngeri ketika menatap ke arah luar. Banyak batang bambu yang bergelimpangan,
saling tumpang tindih dengan kondisi hancur.
“Semuanya!
Ratakan saja semuanya...!” sebuah suara berasal dari seorang lelaki dengan jas
hitam yang bersandar pada mobil mewahnya yang mengilat. Sekelompok lelaki
berseragam berdiri di dekatnya, dengan gestur siap melaksanakan segala perintah
si jas hitam.
“Bagaimana?
Ini lokasi yang paling tepat untuk melaksanakan rencana kita,” si jas hitam
bertanya pada lelaki berpakaian mentereng yang baru tiba. Si lelaki mentereng
tersenyum lebar sembari mengacungkan jempol.
“Ide
brilian! Kita tak akan menyesal membeli lahan ini, malah akan menangguk keuntungan
berkali lipat.”
Kau
tak paham apa maksud dari rencana manusia-manusia itu. Tapi yang pasti kau dan
kaummu bukanlah bagian dari ide brilian yang dimaksudkan, demi melihat kawanan
rumpun bambu lain berakhir menggenaskan.
“Laksanakan!”
lantang suara si jas hitam memberi instruksi. Lelaki-lelaki berseragam
bergerak, menuju benda raksasa yang terlihat sudah sangat siap dioperasikan.
Mendengar suara yang ditimbulkan oleh benda itu, terjawablah rasa penasaranmu
kemarin malam.
Rasanya aku lebih baik dicuri oleh si
wanita tua atau gerombolan lelaki tempo hari. Setidaknya aku masih lebih
berarti di tangan mereka daripada berakhir seperti ini, Kau berkata. Desis-desis yang menyatakan
kesetujuan terdengar di sana sini.
Kau tak pernah tahu
kalau hidupmu dan tunas di kakimu akan berakhir seperti ini. Kau tak bisa
berperan sebagai pahlawan, yang ketika ditebang akan dijadikan sesuatu yang berguna,
meninggalkan calon bambu di kakimu dan mengatakan padanya kelak ia juga harus
menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Menjelang siang, langit
berubah mendung, melengkapi suasana hutan bambu yang murung. Burung-burung bahkan
tak ingin berkicau, ikut berduka.
Hujan pun turun
deras—tak pernah sederas ini, seakan mereka mendapat firasat bahwa ini adalah
pertemuan kalian yang terakhir. Jarum-jarum air itu berderai tanpa jeda hingga
senja menjelang, membaluri tubuhmu. Pelangi tak muncul, seolah mereka juga
sedang sembunyi di balik awan dan menangisi perpisahan ini.
Tapi hujan tak serta
merta menghentikan langkah benda bising itu. Rimbun daunmu menandak-nandak
melihat si monster raksasa membunuh semua keluarga rumpun bambu. Mencerabut hingga
ke akar-akar. Semakin lama bergerak mendekatimu. Seluruh lugut di sekujur tubuhmu
spontan berdiri tegak, ingin melancarkan serangan. Tapi kau tak berdaya.
Manusia-manusia itu sudah melengkapi tubuh sedemikian rupa hingga sedikitpun
tak merasakan gatal.
Ingin kau teriakkan
bahwa kau tumbuh besar dan kuat bukan untuk mati sia-sia. Kau ingin dianyam
jadi keranjang, dibentuk jadi centong nasi, jadi pagar ladang, kandang ayam, dibuat
jadi apa saja! Kau ingin menyaksikan tunas dikakimu itu tumbuh gagah dan
menjulang tinggi, hingga kelak di kakinya pun tumbuh lagi rebung yang
meneruskan kehidupan. Begitu terus menerus hingga waktu yang tak terbatas. Tapi
segala imaji hebat tersebut terhempas begitu saja.
Apa
itu, Yah? Aku takut....
Kau bahkan tak kuasa
menenangkan rebung mudamu seperti ketika ayahmu menenangkanmu dulu.
Ayah
juga takut, kau mengakuinya, namun kau masih mencoba
menghibur, tapi ayah akan bernyanyi, agar
kau tak takut lagi.
Kau berusaha sekuat
tenaga, tapi hasilnya bukan senandung yang menyenangkan untuk didengar. Entah
kemana orkestra indah yang biasanya tercipta. Kini hanya terdengar dengung
serangga yang semburat berlarian, ciap-ciap anak burung yang ketakutan, dan
suitan angin yang bahkan tak lagi harmonis. Segala bunyi dikuasai deru benda
raksasa yang datang mendekat, merobohkan, menyapu sekelilingmu dengan begitu mudahnya.
Kau tak mengenal
sensasi ini. Sebuah rasa asing sekaligus perih tak terperi. Sekujur tubuhmu bergetar,
tak mampu kau kendalikan. Bergetar semakin hebat. Kini kau paham bagaimana
perasaan bambu-bambu terdahulu yang telah mengalami perlakuan yang kau terima
hari ini. Tapi yang kau rasakan hari ini rasanya tiga kali lebih menyakitkan karena
sadar kau akan tumbang tanpa arti.
Dalam sekejab kau
limbung. Hilang keseimbangan. Burung-burung bersiap terbang meninggalkan
sarang. Dipaksa minggat bersama anak-anak mereka yang bahkan belum cukup kuat
kepaknya.
Lalu kau ambruk, saling
menimpa dengan bambu lain, menimbulkan bunyi gemerisik yang begitu pilu untuk
didengar. Segalanya menjadi gelap seiring ban-ban raksasa lalu lalang melumat
rebung mudamu, melindas tubuhmu.
~Sekian~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar