![]() |
Ilustrasi oleh Sumut Pos |
BALADA
AYAH SEMESTA
Oleh
Dian Nangin
Dari bawah naungan
kanopi yang juga diteduhi barisan pepohonan rindang itu, seorang lelaki tua
melepas pergi putra bungsunya.
Lengannya mengepit
sebuah jaket lusuh berbau asap. Bersepatu belel dengan gejala kerusakan terlihat
di sana sini. Si jempol kaki kiri bahkan nyaris memblesak keluar. Kerut-kerut
wajah muncul permanen, yang senantiasa terlihat tanpa perlu ia tertawa atau
meringis. Dua atau tiga tahun lagi dipastikan giginya tanggal merata, menyusul
si taring kanan atas yang copot kemarin akibat tak cukup kuat lagi untuk merobek
daging ayam kampung—lauk yang dimasak istrinya sebagai selebrasi pemberangkatan
si bungsu pergi kuliah.
Rambutnya menguarkan bau matahari.
Sedikit mengilat karena berminyak. Titik-titik peluh bertimbulan di kening
kendati hari masih pagi dan panas belum terlalu menyengat. Peluh itu lalu
membanjiri wajah, membasahi kerah baju, mengaliri tubuh, mengukuhkan statusnya
sebagai pendatang dari gunung yang tak terbiasa dengan kota bertetangga laut.
***
Dari bawah naungan
kanopi yang juga diteduhi barisan pepohonan rindang itu, seorang lelaki tua mengiringi
langkah demi langkah bungsunya.
Sudah ia perhitungkan
jarak terbaik antara ia dan si bungsu yang terus melangkah ke depan. Cukup puas
ia memandang dari bawah naungan kanopi itu—tidak ingin mengantar hingga masuk
ke dalam bangunan, apalagi ke depan kelas. Tak perlu orang tahu bahwa bungsunya
memiliki ayah yang sudah tua—meski si bungsu tak terlalu memusingkan hal itu.
Biarlah orang menduga sendiri bagaimana rupa sang ayah dengan menatap si
bungsu—satu-satunya anak laki-laki dari antara empat saudara perempuannya.
Meski belakangan ini
penglihatannya mulai memburuk,