Oleh
Dian Nangin
Barangkali suatu saat
kau akan menjalani masa-masa seperti ini ketika kau telah mencapai angka
usiaku; duduk di teras sepanjang hari, istirahat dan bersantai—satu-satunya kegiatanku
sekarang—sambil menikmati pemandangan daun-daun kering yang berjatuhan dibawa
angin, namun juga sekaligus meruapkan aroma kandang kerbau peliharaan tetangga.
Rasa iri menyelimuti
hati ketika melihat orang-orang yang masih lincah dapat bergerak dengan gegas
ke tempat yang ingin dituju. Sementara kau hanya bertemankan ayam-ayam yang
seenaknya berkeliaran, bahkan menyemprotkan kotoran mereka di dekatmu dan kau
sudah tak punya tenaga untuk menghalau mereka. Itulah yang terjadi padaku,
pemandangan yang lazim kau temui di kampung-kampung.
Tanganku kadang masih
gatal ingin meraih sapu lidi untuk membersihkan daun-daun yang mengotori
pekarangan rumah. Namun bila aku memaksa diri melakukannya, perawat atau
tetangga yang kebetulan melihat akan segera menghampiri dan merebut sapu itu
dari tanganku. Mereka lalu berujar bahwa aku tak boleh terlalu lelah, bahwa
kesehatanku adalah hal yang harus diutamakan. Namun, duduk sepanjang hari tanpa
aktivitas malah membuatku semakin menderita.
Ah! Tubuh ini kini tak
lagi segesit dulu ketika aku masih bisa menyapu halaman sembari menggendong
bayiku di punggung. Kini aku hanya bisa teronggok
tak berguna di kursi roda, tak cukup sampai hati meminta perawatku agar memindahkan tubuhku yang tua namun masih bongsor ini ke kursi goyang atau menuntunku berjalan-jalan.
tak berguna di kursi roda, tak cukup sampai hati meminta perawatku agar memindahkan tubuhku yang tua namun masih bongsor ini ke kursi goyang atau menuntunku berjalan-jalan.
Kadang, aku berpikir
tak akan ada bedanya bila aku mati sekarang atau besok lusa. Aku tak punya
apapun lagi untuk kukejar dan kucapai.
“Huss! Tidak boleh
berpikiran seperti itu! Hidup mati itu urusan Tuhan, kita tak pantas campur
tangan.” Begitulah para kerabat selalu menasihatiku kala mereka datang
menjenguk.
Haruskah aku bersyukur
masih diberi kesempatan untuk mengenang perjalanan hidupku? Bukankah
orang-orang yang disergap kematian mendadak tanpa sempat mereka sadari itu
lebih beruntung? Mereka tak sempat menanggung penderitaan dan tak perlu
mencicipi bosan di masa tua karena sudah tak mampu berbuat apa-apa selain
merepotkan orang lain.
Ketika kuutarakan
pemikiran ini, anak-anak dan menantuku berebut mengucapkan kalimat-kalimat yang
membesarkan hati. “Jangan begitu, Bu. Walau dalam kondisi seperti ini, kami
sangat bersyukur masih punya ibu.”
Bertahun-tahun hidup
telah kulalui, dengan langkah dan fase yang dialami hampir semua orang. Lahir,
tumbuh besar, bersekolah, bekerja, dan berkeluarga dengan seseorang yang kucinta.
Melahirkan, membesarkan, dan mengirimkan anak-anakku ke kota. Mereka pulang
membawa ijasah sarjana, setumpuk cerita, dan juga wanita.
Waktu berjalan tanpa
disadari hingga tiba saatnya untuk mengantarkan mereka menuju pernikahan.
Kulepas mereka agar dapat leluasa menata keluarga masing-masing. Aku tak perlu
memberitahu mereka cara bercinta—biarlah semesta yang akan mengajari. Tak
menunggu lama, rahim para menantuku perlahan membesar pertanda ada sebuah
kehidupan lain tengah tumbuh di sana, menunggu waktu untuk mencicipi dunia fana.
Anak-anak itu sendiri
cepat sekali tumbuh besar. Barangkali pengaruh susu-susu produk kota yang tak
kukenal. Dulu aku hanya menyuapi anak-anakku air tajin, dan mereka tetap tumbuh
dengan baik.
Maka, seperti yang
terjadi pada para orang tua kebanyakan di pedesaan, aku menjalani sisa hidup di
rumah tua ini bersama suamiku, hingga lelaki itu berpulang beberapa tahun lalu.
Meninggalkanku bersama seorang perawat jompo serta setumpuk kenangan yang
perlahan mengusang.
Orang-orang berkata bahwa
setiap hari adalah babak baru kehidupan, namun setelah melepas anak-anakku
pergi untuk tinggal di kota, hidupku tampaknya hanya jalan di tempat. Pensiun dari
tempat kerja, melakoni pekerjaan ringan yang masih dapat kulakukan dengan
tenaga yang sudah tak seberapa, mengunjungi cucu-cucuku sesekali, hingga
akhirnya penyakit tua datang merayap dan menyita sisa hidup.
Sesekali putra-putraku
mengirimkan prakarya anak-anak mereka yang masih duduk di playgroup—alih-alih sebagai pengganti kehadiran mereka, berharap mahakarya yang hanya berupa
coretan carut marut dan warna-warna yang compang-camping itu dapat menghiburku.
Tak ada pilihan lain bagiku kecuali merasa senang dan memuji habis-habisan
ketika berbicara dengan mereka di telepon. Tak mungkin dengan terang-terangan
aku jujur bahwa karya mereka itu jelek dan tak punya nilai seni. Bagaimanapun
mereka masih anak kecil.
“Maaf, Bu. Aku sangat
sibuk di kantor. Beberapa bulan lagi aku akan berangkat ke negeri seberang
untuk urusan pekerjaan. Bersabarlah. Ramadhan depan akan kami sempatkan untuk
berkunjung,” demikian anak-anakku bergantian menyampaikan penyesalan.
Kunyatakan pemaklumanku
bahwa kehidupan masa sekarang lebih banyak menuntut perhatian. Kukatakan bahwa
aku mengerti jaman telah berubah dan setiap orang harus bergerak sesuai
kecepatan jaman berkembang.
Tinggallah aku di sini,
bertemankan daun-daun yang luruh meninggalkan dahan dan cicit anak-anak ayam.
Barangkali beginilah hidup. Daun-daun yang luruh akan digantikan tunas-tunas
baru. Induk-induk ayam menelurkan generasi mereka selanjutnya sebelum menjadi
tua dan mati, atau diolah menjadi lauk.
Dan aku hanya bisa
mengenang hari-hari lalu sebelum nanti kembali menjadi tanah. Pagiku telah lama
menguap. Ia hanya meninggalkanku sejumput kenangan tentang masa muda. Pun tak
ada beda dengan waktu siangku yang perlahan akan kulupa bagaimana rasanya. Ada
beberapa hal yang membuatku merasa puas, namun ada juga yang kusesali tanpa pernah ada kesempatan kedua untuk
memperbaikinya.
Kini aku berada pada
langkah-langkah terakhir menuju penghabisan senja. Ah! Aku telah melihat
saat-saat terakhirku datang menjemput. Mereka datang lebih cepat dari
perkiraanku, membuktikan bahwa sisa usia tak ada yang tahu. Aku bingung
bagaimana harus menjelaskan rupa mereka padamu, namun aku yakin benar mereka
datang untuk membawaku pergi jauh dan takkan kembali.
Tolong sampaikan permintaan
maafku pada perawatku karena aku harus melewatkan makan siang. Tampaknya
sekarang dia sedang sibuk berkutat di dapur dan sebentar lagi akan datang
dengan senampan makanan.
Medan,
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar