![]() |
ilustrasi oleh Harian Analisa |
SEPENINGGAL
RANI
Oleh
Dian Nangin
Sore ini mendung,
seakan menggambarkan situasi hati empat anak muda yang masuk beriringan ke sebuah
kafe di mall terbesar di pusat kota. Tiga
laki-laki, satu
perempuan. Waitress yang selalu menyambut mereka pun
merasa heran. Biasanya mereka masuk dengan berisik atau tertawa-tawa,
mengundang banyak mata untuk menoleh. Namun,
kali ini beda.
“Kapan berangkat, Ran?”
Forman bertanya begitu mereka duduk.
Pertanyaan yang sama
untuk kesekian kali sejak dua bulan lalu Rani mengutarakan keputusan ayahnya.
Sang ayah yang baru naik jabatan di kantor dipercayakan untuk berangkat ke
Hongkong. Mengurus cabang perusahaan di sana. Mereka sekeluarga ikut diboyong
dan akan menetap cukup
lama.
Rani merasa sedih
sekaligus antusias dengan rencana itu. Sedih karena harus meninggalkan sekolah,
teman-teman,
dan kehidupannya yang menyenangkan di Jakarta. Terlebih harus berpisah dengan
tiga sahabat laki-lakinya itu. Namun, ia
juga antusias karena akan mendapat pengalaman baru di luar negeri.
“Lusa, Forman,” jawab Rani. Pertanyaan
dan jawaban itu seolah seperti countdown,
mengingatkan bahwa kebersamaan mereka tidak lama lagi. Dan, kini hitungan
mundur itu akan kehabisan angka.
Sore
ini mereka berempat berkumpul di kafe Pesona Senja, memanfaatkan waktu yang
tersisa. Tak
ada perpisahan yang mudah untuk dilewati,
tak akan mudah melupakan persahabatan mereka yang begitu manis. Bisma,
yang menjadi saingan ketat Rani dalam memperebutkan ranking satu dan dua di
kelas. Sejak SMP dulu, mereka hanya berkutat di peringkat yang itu-itu saja.
Meski sering mendebatkan pelajaran dan saling bersaing, namun itu tak
menjadikan mereka musuh.
Lalu Putra, yang selalu
menyontek dan tak peduli bila Rani
bersikeras memaksa cowok itu mempelajari persoalannya sampai bisa. Namun, hanya cowok itu pula
yang punya ketabahan tingkat tinggi ketika mengajari Rani dalam hal olahraga.
Membidik ring basket, misalnya. Atau cara melakukan servis dalam bermain voli
agar bola masuk ke wilayah lawan.
Terakhir, Forman. Orang paling sportif
yang Rani kenal, bahkan rela tidak membela bila sahabatnya sendiri yang
melakukan kesalahan. Bersama mereka,
Rani merasa bebas menjadi dirinya sendiri.
“Aku akan kangen semua saat-saat kebersamaan kita,” Putra
angkat bicara setelah beberapa menit mereka hanya membisu.
“Kalau
selama ini aku banyak salah, tolong dimaafin, ya. Mungkin aku sering nyolot,
bikin repot, nyusahin kalian...”
“Ya, kami maafkan,”
potong Bisma.
“Kami,
kan,
teman-teman terbaikmu,” Putra menyambung. Rani memonyongkan bibir, sementara
ketiga sahabatnya tertawa lepas.
“Semoga aku bertemu teman
baru yang sebaik kalian di sana,” harap Rani.
“Ya. Asal kau tidak salah
menyebut nama nanti,” celetuk Bisma.
Mereka
sontak terbahak mengingat kejadian lucu yang pernah terjadi.
Saking solidnya
persahabatan itu, keempatnya nyaris tak pernah pacaran. Merasa telah saling
melengkapi. Merasa hebat dan bisa mengatasi apa saja. Namun, Rani sebenarnya pernah
didekati oleh beberapa cowok. Ada
Josua si kakak kelas, pengurus mading bernama Pattrik, hingga Agus, murid
yang terkenal badung. Tapi,
semuanya bubar di tengah jalan karena Rani sering salah memanggil nama.
Ketika Rani menghabiskan
weekend dengan Josua, ia malah
memanggilnya dengan nama Forman.
Satu dua kali, Josua masih menoleransi. Tapi kali ketiga, keempat, ia tak tahan
lagi, menganggap kedekatan
Rani dengan ketiga sahabat laki-lakinya
itu sedikit berlebihan.. Kasus yang sama juga terjadi pada Pattrik dan Agus.
Sewaktu Rani menceritakan insiden itu, bukannya bersimpati, ketiga sahabatnya
malah tertawa geli sampai sakit perut.
“Itu bukti bahwa kami
tidak akan pernah tergantikan di hatimu.”
“Siapa bilang?” Rani pura-pura memasang wajah mual. “Kalian
juga tidak pernah dekat dengan cewek lain! Jangan-jangan kalian juga tidak bisa
lepas dariku?!”
Putra menyangkal cepat.
“Apa di antara kalian ada yang punya perasaan lebih pada nona ini? Kalaupun ada, aku tak keberatan.”
Forman
menggeleng. “Tidak, terima kasih atas tawarannya.
Masih banyak gadis lain di luar sana yang mengantri untuk sekedar makan di
kantin bersamaku.”
Pandangan beralih pada
Bisma. Cowok itu berujar penuh percaya diri. “Kalian
ingat Ami, cewek
cantik kelas sebelah? Dia masih mengejarku sampai sekarang. Sepertinya ia lebih
menarik daripada Rani.”
Gadis itu merengut
mendengar ketiga sahabatnya dengan kompak mencelanya. Namun, ia tahu itu hanya
canda belaka. Malah tiba-tiba ia disentak rasa sedih, setelah sedari tadi
bersikap tegar. “You guys, will always be
my bestfriend.”
***
Siang ini terik. Bisma,
Forman, dan Putra menghadapi
jam pelajaran terakhir dengan muka lesu. Ini minggu kedua tanpa Rani. Mungkin terdengar berlebihan,
tapi sepeninggal gadis itu rasanya mereka kehilangan semangat. Sebenarnya guru
biologi berhalangan masuk. Namun,
ia menitipkan seabrek tugas, membuat kelas semakin
lesu.
Cukup tiga puluh menit
bagi mereka untuk menyelesaikan tugas itu. Sisa waktu dihabiskan penghuni kelas
dengan beragam kegiatan. Bisma meminjam ponsel Forman. Ia mengutak atik tanpa tahu sebenarnya
ingin melakukan apa, berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain. Sementara Forman membaca komik
doraemon milik Putra. Hanya Putra seorang yang tampak berkutat dengan buku-buku
pelajaran. Dengan semangat penuh ia menyalin jawaban tugas dari buku Bisma yang
harus diserahkan besok pagi.
Kebosanan
itu semakin nyata tanpa Rani yang biasanya suka membuat kesibukan yang cukup asyik
dilakukan untuk menghabiskan waktu. Mulai dari mengisi TTS, mengulang pelajaran,
menghafal lirik lagu baru, hingga mengisengi teman mereka yang lain. Kini mereka harus membiasakan
diri tanpa kehadiran sang sahabat.
Di tengah keasyikan mengotak-atik ponsel Forman, Bisma menemukan foto
Rani di folder tersembunyi. Foto yang teramat manis. Gadis itu tersenyum meski
pandangan matanya tidak menatap kamera. Candid.
Sementara itu Forman terkesiap. Ia mendapati satu halaman komik
penuh coretan. Di atas Nobita tertulis nama Putra, sedangkan di atas Shizuka
tertulis nama Rani. Emoticon senyum
dan
bentuk hati bertebaran dimana-mana. Ini sungguh ganjil, kekanakan. Putra, yang
mengaku tak punya perasaan apa-apa
terhadap Rani, ternyata menyimpan sesuatu. Putra tak tahu bahwa Forman memandangnya dari
belakang dengan mata tajam. Putra dengan semangat penuh terus mencatat, agar ia
tak perlu kelabakan besok pagi. Namun, ketika membalik halaman buku tulis
Bisma, ia menemukan secarik kertas kecil yang dilipat rapi.
Ia membukanya. Ada
sajak tertera di sana.
Malam
ini bulan bersinar terang sekali
Hanya
pada binarnya yang benderang aku berani mengaku tentang cinta
Untuk
gadis yang membuat rindu ini indah
Rani
Putra perlahan memutar
kepala ke belakang. Ia terkaget ketika ternyata dua sahabatnya yang lain pun
tengah saling menoleh. Tanpa kata, Bisma menunjukkan ponsel Forman dengan
foto Rani terpampang di layarnya. Forman menunjukkan halaman
komik dengan coretan nama Putra dan Rani. Putra tak tahu harus bicara apa,
hanya menggenggam erat kertas kecil berisi puisi dari Bisma. Puisi untuk Rani. Ketiganya membisu, saling
memandang penuh selidik dengan alis bertaut.
Medan,
2017-2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar