![]() |
ilustrasi oleh Banjarmasin Post |
DUNIA
DI LUAR RAHIM
Oleh
Dian Nangin
“Tentang apa sebenarnya
hidup ini?”
Pertanyaanku membuatnya
tertawa. “Hei, kau—kita—masih muda. Kenapa pertanyaanmu begitu serius?”
“Aku sudah memikirkannya
begitu lama. Tapi tak pernah kutemukan jawaban yang utuh,” aku mendongakkan
kepala. Andai langit punya pikiran, apa pendapatnya tentang kehidupan di bumi
yang saban waktu dilihatnya dari atas sana?
“Sudahlah. Tidak usah
memikirkan hal-hal yang berat. Di usia ini kita hanya perlu menikmati hidup dan
bersenang-senang,” ujarnya ringan.
Aku menggeleng, semua
ini tidak sesederhana itu. Banyak hal yang menerobos masuk ke dalam ruang
pikirku, tak dapat kuabaikan begitu saja.
“Kemana kita akan pergi?”
ia bertanya, bosan. Sudah dua jam kami duduk di halte ini tanpa naik ke salah
satu bus yang sejak tadi datang dan pergi.
“Kemana saja,” aku
menjawab asal. Sejak melangkah keluar rumah tadi, aku memang tak punya rencana
untuk dilakukan dan tak punya tempat untuk dituju.
“Eh, tapi jangan katakan
pada ibuku kalau kita berkeliaran begini. Ia takkan suka aku bertingkah seperti
ini.”
Ibuku sangat protektif sekalipun
aku telah menjelang dewasa. Aku tak ingin menghabiskan hari-hariku dengan mata
yang hanya bisa memandang keluar dari balik jendela mobil atau lewat layar
televisi. Kupikir tak ada salahnya untuk sesekali bebas sebagai diriku, tanpa
bermaksud membangkang pada ibuku.
“Awas...!” seseorang
berteriak. Pengendara sepeda motor yang nyaris menyerempetku menghentikan
kendaraannya. “Lihat-lihat kalau menyeberang! Apa kau tak punya mata?”
Alih-alih meminta maaf,
aku hanya menundukkan kepala. Efek shock
dan gugup. Lelaki itu lantas memacu sepeda motornya kembali tanpa memperpanjang
masalah.
“Kau hampir membuat
kita celaka,” ia berujar kesal.
“Aku minta maaf,” kuseka
keringat dingin di kening. Ini adalah pengalaman pertamaku terjun ke jalanan
sebab sebelumnya aku senantiasa terlindungi dalam mobil berudara sejuk yang
selalu siap mengantar kemanapun aku ingin pergi. Aku tak pernah tahu kejadian
dan kekacauan apa saja yang terjadi di luar sini, membuatku tak punya
antisipasi atas peristiwa di luar dugaan. Betapa menyedihkan situasi yang
mengungkungku selama ini.
Aku mengajaknya
memasuki gang kecil yang berakhir pada sebuah perkampungan kumuh. Aku tak
pernah berada di sini sebelumnya. Keadaan sekeliling membuatku terpaku, kontras
dengan kompleks tempatku tinggal yang teratur, terawat dan membosankan.
Seorang bocah perempuan
kurus dan lusuh memandangi warung tenda tempat beberapa orang makan siang tanpa
mempedulikan lalat-lalat yang berdesingan. Kurogoh isi tasku, mengeluarkan
sebongkah roti dalam wadah plastik. Kuulurkan roti itu pada bocah tersebut. Ia menerimanya
dan mengucapkan terima kasih.
Aku heran melihatnya makan
terburu-buru. Hendak kuperingatkan agar makan dengan pelan, namun lalu aku
paham. Sebab, muncul segerombolan bocah lain yang tak kutahu dari mana datangnya,
yang langsung merebut roti itu. Pada akhirnya sebongkah roti itu tercabik-cabik.
Setiap anak harus puas hanya dengan secuil.
“Ah, andai aku membawa
lebih banyak roti,” sesalku.
“Kau begitu mudah jatuh
iba. Tak peduli seberapa banyak pun roti yang kau bawa, itu tak akan pernah
cukup, kau tahu! Kecuali kau adalah Tuhan yang mampu memecah roti untuk memberi
makan lima ribu orang,” katanya.
Aku tak menyahut.
Mataku tertuju pada seorang wanita paruh baya dengan dua karung penuh rongsokan
membebani tubuhnya, membuat langkahnya terseok. Peluh menganak sungai di wajahnya,
membasahi pakaian bututnya. Kurogoh tasku, namun tak kutemukan apapun lagi yang
bisa kuberikan kepadanya.
“Kasihan dia,” ujarku
sambil menunjuk perempuan pemulung itu. “Sudahkah dia makan? Apa dia punya
rumah yang layak untuk bernaung?”
Dia berdecak. “Sudahlah!
Perempuan itu punya alur hidup sendiri untuk ia jalani.”
“Nasib memaksa dia
bekerja terlalu keras.”
“Itulah perjuangannya
untuk memenuhi apa-apa yang ia perlukan dan inginkan.”
“Bagaimana kalau aku
tidak menginginkan apapun?” tanyaku tiba-tiba.
Ingatanku tertuju pada
hidup yang selama ini telah kulalui dengan kecukupan materi dan kenyamanan. Tapi
tak dapat kupungkiri bahwa aku merasa kosong, hampa.
“Itu berarti kau sudah
mati meskipun mau masih hidup. Mati dari dalam,” ia menunjuk dadaku.
Aku mengernyit.
Benarkah demikian? Apa aku memang sudah mati karena tak punya keinginan? Lalu,
hidup macam apa yang kini sedang kujalani? Tak bisakah aku kembali pada masa
sebelum aku dilahirkan dan masih berwujud antah berantah hingga tak perlu
menanggung semua beban pemikiran ini?
Aku teringat kemarin
ikut menemani kakak sepupuku melakukan USG di rumah sakit. Ia begitu bahagia
melihat makhluk kecil dalam perutnya terpampang pada layar. Bibirnya berseru
takjub ketika melihat organ-organ mungil si janin semakin sempurna bentuknya.
Sesuatu terlintas dalam
kepalaku. Betapa bahagianya hidup dalam selimut rahim yang nyaman seperti itu
tanpa perlu tahu hiruk pikuk yang terjadi di luar sini. Aku sempat berpikir,
apa calon bayi itu tahu apa yang akan dihadapinya di dunia fana ini ketika ia
keluar dari perut ibunya nanti? Ingin kubisikkan padanya bahwa tak ada tempat
paling aman untuk hidup selain rahim ibu. Sebaiknya ia tidak memilih keluar.
“Kau benar-benar
sinting kalau sampai berkata seperti itu,” dia menghardik ketika aku
menumpahkan isi kepalaku.
Untung waktu itu aku
cukup waras untuk tidak mengutarakannya. Tapi tetap saja pemikiran itu memenuhi benakku. Banyak hal
yang telah terjadi di muka bumi ini, sekalipun aku tidak mengalami semuanya,
namun perasaanku campur aduk melihatnya, seperti suasana yang tengah kuamati di
lingkungan tempatku berada saat ini.
“Kasihan si bayi. Dia
pasti tak tahu betapa banyak kekecewaan, ketidakadilan, serta ketidakbahagiaan
lain yang terjadi dalam hidup ini, yang perlahan pasti menodai sanubarinya yang
bening.”
“Tapi kau juga jangan
lupa bahwa di balik itu ada pula kegembiraan, kepedulian, serta serangkaian hal menyenangkan
lain. Semua hal itu terjadi saling bergantian, saling melengkapi untuk
membentuk hidup yang kaya warna.”
“Apa aku tak bisa
kembali saja ke dalam rahim ibuku?” cetusku tiba-tiba.
“Kau egois!” hardiknya
keras. “Aku yakin kau tahu bahwa sebelum lahir, berbulan-bulan lamanya kau
memberi perempuan itu hari yang berat. Akhirnya, kau bisa mencicipi kehidupan bebas
usai mengoyak tubuh wanitanya yang berharga. Sekarang kau mengeluhkan hidup dan
berkata ingin kembali ke sana. Betapa tega kau pernah memikirkan hal itu.”
Kalimatnya menohokku
telak. Kususut ujung mata yang tahu-tahu meneteskan air.
“Tidak perlu jadi
melankolis begitu,” katanya lagi. “Lakukanlah yang terbaik sebelum usia
berakhir.”
Aku tercenung lama
sambil menatap bulan separuh yang bertengger di angkasa. Kupejamkan mata, berimajinasi
sedang duduk di bulan itu sambil menatap ke bawah. Perlahan aku dapat melihat banyak
warna dan corak kehidupan. Kubuka mata ketika mendengar suara berisik. Sekelompok
bocah tengah mengejar layangan putus sambil tertawa-tawa. Ketika aku menoleh ke
arah lain, seorang ibu muda menyantap sepiring nasi sambil menyusui bayinya—upaya
untuk menjaga kehidupan yang berharga. Aku tersenyum, sebab telah kutemukan
jawaban dan dua sosok dalam pikiranku sendiri yang sedari tadi berbincang dan
berdebat akhirnya diam dalam damai.
Medan, 2017-2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar