![]() |
ilustrasi oleh Renjaya Siahaan |
RINDU
Oleh
Dian Nangin
Seorang
perempuan tua, suatu siang jelang sore, asyik berkemas. Anak dan cucunya sibuk
dengan kegiatan masing-masing di luar sana. Sementara seharian ini—pun ratusan
hari sebelumnya, yang ia lakukan hanyalah duduk mengaso di rumah. Hampir mati
ia didera bosan, pun ia tak diizinkan oleh anak-anaknya untuk melakukan
pekerjaan walau sekedar kegiatan kecil. Cukup sudah tenaga masa mudanya habis
terkuras karena bekerja keras, demikian selalu anak-anaknya berkata. Yang ia
lakukan sekarang hanyalah bersantai, menikmati masa tua tanpa beban, tak perlu
kemana-mana.
Namun, selalu ada
hal-hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Seperti sore ini, ia mendapati
rasa rindunya terhadap anak perempuannya yang tinggal bersama menantu dan
cucu-cucunya di lain desa telah membengkak.
Tak henti-henti hatinya didera
penasaran, apakah anak perempuannya baik-baik saja, apakah menantunya sehat,
sudah sebesar apakah cucu-cucunya sekarang. Batinnya bertanya-tanya apakah
keluarga anak perempuannya kekurangan sesuatu, seakan lupa bahwa sang anak
sudah dewasa dan bahkan telah menjadi ibu bagi cucu-cucunya. Namun, baginya
sang anak tetaplah putri bungsu yang senantiasa ia cemaskan.
Rindunya tak bisa
dilipur hanya dengan komunikasi lewat benda-benda canggih yang membuat
telinganya berdenging dan matanya silau. Hanya pertemuanlah obat paling mujarab.
Maka, walau geraknya lambat, perempuan tua itu bersiap. Ia mematut kebaya encim
bututnya di cermin dan mengakali kancing yang hilang dengan peniti, lalu mengenakan
sarung batik kesayangannya. Perempuan
tua itu lalu menyeret langkahnya menuju perbatasan desa.
Biasanya, ia selalu
pergi ke tepi jalan dan menyetop angkutan desa. Angkutan itu mengantarkannya ke
stasiun kota kabupaten, dan dari sana ia berganti mobil. Tak ada yang menaruh
perhatian padanya—seorang perempuan tua duduk di pojok, dengan mata lamur yang
sibuk memperhatikan jalanan, menerka-nerka dimana ia sudah tiba, khawatir
tempat tujuannya akan terlewatkan. Lalu, tiba-tiba ia berseru pada supir,
mengagetkan semua penumpang. Dengan senyum sumringah, ia turun dengan langkah
yang sangat lamban, membuat jengkel hati anak-anak muda yang tak punya
kesabaran. Ia membayar ongkos lalu memasuki sebuah rumah berpagar bambu
***
Namun,
dunia telah berubah seiring waktu berjalan. Keramaian jalan raya semakin
mengerikan. Telinga si perempuan tua sudah tak tahan mendengar klakson dan
mesin-mesin kendaraan yang meraung. Kaki dan matanya tak lagi telaten ketika
hendak menyeberang. Tapi itu tak menyurutkan langkahnya. Ada jalan lain yang
bisa ia tempuh demi menuntaskan rindunya.
Di tengah matahari
terik, ia menyeret kakinya selangkah demi selangkah. Ia berencana melakukan perjalanan
seorang diri menuju desa sebelah dimana keluarga anak perempuannya tinggal.
Seingatnya, ia hanya perlu menyeberangi sebuah sungai yang tak terlalu lebar, sebuah
hutan kecil yang belakangan semakin gundul, dan beberapa ladang. Bila perkiraan
waktunya tepat, ia akan tiba sebelum matahari terbenam. Ia yakin tak akan
tersesat karena dulu, semasa muda, tak terhitung berapa kali ia dan
saudara-saudaranya berjalan kaki dari satu desa ke desa lain untuk berbagai
keperluan.
Setelah
berjalan cukup lama, tibalah ia di tepi sungai. Tas kainnya dikepit erat-erat.
Kakinya beberapa kali goyah ketika menginjak permukaan batu yang licin.
Sebenarnya sungai itu tidak dalam, namun riak-riaknya yang deras bisa saja
menggoyahkan pijakan lemah perempuan tua itu. Mata lamurnya mencari-cari
pijakan yang tepat di dasar sungai, sementara telinganya dipenuhi pekik
anak-anak kecil yang asyik berenang dan samar celoteh para perempuan yang sibuk
mencuci kain di hilir.
Ujung
sarungnya basah ketika ia keluar dari sungai. Ia lalu bertemu hutan kecil yang
benar ada seperti dalam ingatannya. Kaki dan ujung sarungnya yang basah dengan
cepat mengering ketika beradu dengan permukaan semak-semak yang menghitam bekas
terbakar. Noda sepekat jelaga segera menghiasi telapak kakinya.
Setelah lama berjalan, peluh membanjiri tubuh
si perempuan tua, membuat kebaya encim yang ia kenakan basah kuyup. Ketika rasa
lelah tak terbendung lagi, ia berhenti di bawah pohon atau menumpang duduk di
gubuk-gubuk tengah ladang. Petani-petani pemilik ladang memberinya satu dua
teguk air minum. Setelah mendapatkan kekuatannya kembali, ia melanjutkan
perjalanan. Pelan, tertatih, namun ia terus melangkah ke depan.
Ia mengandalkan
akar-akar pohon ketika berhadapan dengan jalan menanjak yang sebenarnya cukup
mudah untuk dilewati, namun tidak untuk tubuh tuanya. Sambil mencengkeram erat
akar-akar pohon itu, ia menarik tubuhnya naik dengan susah payah. Nafasnya
tersengal namun bibirnya tersenyum karena puas masih mampu menaklukkan
tanjakan.
Ia memilih duduk di
tanah dan meluncurkan tubuh pelan-pelan ketika berhadapan dengan jalan menurun.
Ketika isi kantung kemihnya penuh, ia menghamburkannya begitu saja di
semak-semak—ia tak cukup kuat lagi menahannya.
Setibanya
di tepi jalan beraspal, ia sudah tampak seperti gembel. Gelungan rambut putihnya
tak lagi rapi. Pakaiannya kotor dan berbau apek. Buntelan tas butut yang ia sandang
melengkapi penampilannya. Deru kendaraan yang melaju kencang membuatnya takut,
memaksa langkahnya mundur. Pemandangan asing yang ia temui membuatnya
kebingungan. Seingatnya, dulu rumah
belum begitu banyak.
Beberapa orang yang
merasa iba berhenti untuk menanyakan kemana ia hendak pergi. Perempuan tua itu
menyebut nama anak perempuannya, nama menantu, serta cucu-cucunya—sebanyak yang
ia ingat. Seseorang mengangguk dan bersedia mengantarnya ke tempat yang ia
tuju.
Raut lega terpancar
dari wajahnya ketika ia melihat rumah yang familiar dalam ingatannya. Akhirnya
ia tiba, tepat ketika matahari terbenam di arah barat. Perempuan tua itu
tersenyum sambil menarik nafas panjang, bahagia karena perjuangannya tak
sia-sia. Rasa senangnya begitu kentara, hingga lama baru menyadari bahwa ada
satu sosok yang alpa dari keriuhan yang menyambut kunjungannya yang tanpa kabar.
“Dimana
anakku?” perempuan tua itu bertanya, melongokkan kepala ke arah dapur dan
pekarangan belakang, menduga anak perempuannya masih sibuk memberi makan ternak
ayamnya.
Sang
menantu menatapnya sedih. “Dia sudah meninggal. Setahun lalu. Ibu sudah tahu
itu.”
Perempuan
tua itu terhenyak, lalu menggeleng. “Meninggal? Tidak, aku tidak tahu. Tak
seorang pun memberitahuku.”
Sang
menantu hanya diam. Wajahnya muram. Sedangkan cucu-cucunya mulai tersedu.
Membicarakan tentang seseorang yang telah berlalu dari kehidupan tak pernah
mudah.
“Tak mungkin ia sudah
meninggal. Baru tiga bulan lalu kami bertemu. Aku begitu merindukannya, sampai
aku rela berjalan kaki datang ke sini. Aku rindu anakku.”
Tak
ada yang mendebat atau berusaha memberi penjelasan. Isak-isak kecil memenuhi
pendengaran. Kadang, kenyataan bisa terasa begitu pahit. Si perempuan tua
senantiasa merindukan anak perempuannya yang tak ia ingat sudah meninggal. Pikun
mengambil alih daya ingatnya ketika usianya menginjak tujuh puluh tahun, lima
tahun lalu. Tatapan mata perempuan tua itu tampak kosong ketika ia berusaha
membuka memorinya setahun terakhir.
Ketika
ia akhirnya ingatannya terbuka, tumpahlah tangisnya. Benar, anak perempuannya telah meninggal tahun lalu karena kecelakaan. Ia
ingat menjaganya di rumah sakit, menyuapinya makan, bernyanyi kala malam hari,
seolah putrinya masih berumur lima tahun yang merebahkan diri di pangkuannya. Ia
ingat kala itu meratap sambil menyalahkan Tuhan, mengapa bukan ia yang
‘dipanggil’ lebih dulu, melainkan anak perempuannya yang seharusnya masih
menjalani kehidupan yang panjang.
Air matanya baru mereda
ketika datang sebuah telepon dari desa seberang. Anak lelaki serta menantunya tentu
kaget dan panik mendapatinya tak lagi di rumah.
“Astaga, mengapa ibu
tak pamit ingin pergi? Aku bisa mengantar ibu,” anak lelakinya, di ujung
telepon menumpahkan amarah tertahan.
Perempuan tua itu
termangu sejenak. Tak ia ingat sudah berapa kali ia meminta, namun sang anak
atau cucu-cucunya selalu menunda mengantarnya dengan berbagai dalih. “Aku tak
ingin mengganggu pekerjaanmu.”
“Bagaimana kalau ibu
celaka di jalan? Tersesat?”
“Tak mengapa. Ibu
baik-baik saja. Ibu hanya rindu adikmu, ingin bertemu. Ibu tak ingat, ternyata,
ia sudah….” kalimatnya menggantung. Tak seorang pun menyelesaikannya. Semua
terdiam. Hanya ada sunyi.
Medan,
2018
Ah, makin lama makin keren. Terbawa hanyut aq dalam rangkaian kata - kata penulis.
BalasHapusAihhh, Kaka Tua muncul di sini, hehehe. Enjoy the story, Wa, kalo ada koreksi atau masukan-masukan, monggo disampaikan.....
Hapus