Puisi, bagi saya, adalah cara lain untuk
bercerita/ menikmati cerita. Tak jauh beda dengan cerpen, puisi juga merupakan
wadah untuk menuangkan buah pikiran, isi hati, sebagai cara untuk menyampaikan
sesuatu. Hanya saja, bentuk wadahnya berbeda.
Memetik Makna
Apa
yang terlintas dalam kepalamu ketika mendengar kata puisi?
dok. pribadi |
“Tidak semua orang bisa memahami puisi,”
kata seorang teman sesama pecinta buku dalam suatu perbincangan. Saya hanya
tersenyum. Kalau tidak paham, bagaimana bisa menikmatinya, kan?! Tidak heran,
koleksi buku-bukunya lebih banyak novel dibanding puisi—sepertinya dia memang
tidak punya buku puisi.
Sepintas,
puisi memang tampak sedikit lebih sulit untuk dipahami dibanding karya sastra
lainnya seperti cerpen atau novel. Barangkali karena puisi memiliki kemungkinan
multi-tafsir. Apa yang saya tangkap dari sebuah puisi bisa saja berbeda dengan
yang ditangkap orang lain. Juga, apa yang bisa saya interpretasikan dari sebuah
puisi hari ini bisa saja berubah esok hari. Selain itu, banyak orang juga
berkata diksinya terlalu rumit. Berbelit-belit. Tapi, justru di situlah letak
pesonanya.
Seperti
yang sudah saya katakan sebelumnya, puisi juga merupakan sebuah cerita. Ia adalah
sebuah kisah walau jumlah katanya terbatas, komposisinya tidak selengkap dan
serunut cerita pendek atau panjang. Sebagai pembaca, saya sangat menikmati
kisah-kisah yang disajikan si pemuisi dalam karya-karyanya, walau kadang saya
harus membuka kamus untuk mencari arti sebuah kata atau merenung sejenak untuk
menemukan makna sepotong kalimat.
Dalam
dunia menulis puisi, saya termasuk orang awam. Memang, di samping menulis
cerita pendek, saya juga pernah menulis beberapa buah puisi. Tapi, entah mengapa,
puisi itu terlihat buruk. Terlalu apa adanya, hingga saya tidak percaya diri
untuk mempublikasikannya. Puisi karya orang lain selalu terlihat lebih bagus.
Kesimpulannya, menulis
maupun memaknai sebuah puisi membutuhkan kecakapan dan konsentrasi lebih.
Memperkaya
kosakata
Puisi adalah rangkaian kata-kata
yang indah, walau hal-hal yang disampaikan di dalamnya bisa saja sebuah
kemarahan, kutukan, kritik, caci-maki, atau ledakan beragam emosi. Barangkali
pengalaman membaca puisi saya masih minim, namun itulah yang saya rasakan.
(Sejauh ini) saya hanya memiliki tiga buah buku puisi, yaitu karya Sapardi
Djoko Damono, M. Aan Mansyur, dan ‘AKU’ yang merupakan perjalanan hidup dan
karya penyair Chairil Anwar yang ditulis Sjuman Djaya. Serta kumpulan tulisan
Dee Lestari yang terhimpun dalam buku ‘MADRE’ yang didalamnya dimuat beberapa
puisi.
dok. pribadi |
Sebenarnya, kosakata
yang baru bisa kita temukan setiap hari lewat berbagai media dan event, seperti melalui lagu-lagu baru,
lewat perbincangan dengan orang asing, acara televisi/radio, dan sebagainya.
Tapi, kebanyakan kata-kata yang mereka suguhkan adalah bahasa ‘slang’ atau
bahasa yang biasa digunakan dalam pergaulan dan bersifat tidak resmi.
Lewat puisi, kita bisa
menemukan kosakata yang lebih ‘berbobot’. Jarang, tuh, saya temukan bahasa gaul
dalam rangkaian puisi. Dalam buku-buku puisi yang saya baca, rata-rata menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan baku tanpa dibaur dengan bahasa asing atau
bahasa ‘slang’ tadi. Entah dengan buku puisi lain.
Kosakata yang berbobot
itu lalu bisa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari dan tentu akan membantu
interaksi kita dengan sesama manusia. Tapi, bukan maksud saya untuk menyarankan
kita berbicara dengan puitis setiap waktu, ya. Berkomunikasi dengan bahasa yang
baik akan membuat kita terlihat lebih beradab. Saya pikir, sudah seharusnya
kita kembali memilih dan memilah kata-kata yang baik untuk digunakan dalam
interaksi sehari-hari. Itu merupakan sebuah upaya untuk membudayakan bahasa Indonesia
sekaligus melestarikannya.
Lagipula,
bukankah bahasa merupakan identitas
suatu bangsa?
Ayo membaca puisi dan
berlatih memahaminya! 😉 Itu juga akan membuat cakrawala dalam
ruang kepala kita semakin luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar