![]() | |
ilustrasi Republika |
KAKI
SEWARNA TANAH
Oleh Eka Dianta Br Perangin-angin
Setelah
sepuluh tahun merantau untuk kuliah dan bekerja, aku pulang hanya untuk
mendapati kampungku telah menjadi tempat asing. Ia telah berubah menjelma
sepotong metropolitan. Rumah-rumah reot yang dulu tampak tak lebih dari
tumpukan sampah itu berubah menjadi komplek-komplek perumahan dalam waktu
singkat, seolah disulap dalam satu kedipan mata. Tak kutemukan lagi pemandangan
yang akrab di mata kanak-kanakku dulu: lapangan sepak bola yang selalu
berlumpur kala hujan, jalan berbatu-batu, serta kawat-kawat jemuran yang saling
silang di depan setiap rumah.
Dan, ketika tiba di
rumah ayah, tahulah aku hanya lelaki tua itu yang kukuh mempertahankan rumahnya.
Tak goyah walau ditawar dengan harga cukup lumayan. Lokasi rumah ayah berada di
tepi jalan besar yang menjadi pintu masuk salah satu komplek yang megah,
berhadapan dengan gapura cantik penuh ukiran.
Sejak
aku pulang, berbagai keluhan hinggap di telingaku. Tetangga-tetangga lama kami
pindah entah kemana dan muncul pendatang baru yang sangat suka berceloteh.
Sudah pasti, mereka benci ayah karena tak kunjung melepas rumahnya. Orang-orang
menjadi senewen. Sikap toleransi telah terbang menguap. Olok-olok mereka, rumah
ayah ibarat seberkas kurap di kulit yang putih mulus.
Mereka takut terjangkit
penyakit. Apalagi usai melepas pekerjaannya sebagai kuli di pabrik semen
setelah aku tamat kuliah, ayah beralih profesi sebagai pemulung.
Berkarung-karung botol plastik atau barang-barang rombeng menumpuk di
sekeliling rumah.
Rumah
ayah sama persis seperti kutinggal dulu. Ruang depan masih berlantai semen
dengan dinding papan yang kini dihiasi tempelan koran di beberapa tempat. Waktu
telah menciptakan celah-celah di antara kepingan papannya yang meloloskan udara
dingin kala malam hari. Sedangkan ruang dapur masih berlantai tanah—definisi sederhana
yang sesungguhnya. Di pekarangan depan kami yang sempit berjejer pot-pot bunga
dari kaleng cat bekas. Bunga-bunga yang tumbuh di dalamnya pun tak terurus.
Sebagian terkulai lesu, sebagian lagi berebut tempat dengan gulma di wadah yang
sempit itu.
“Ayo
kita renovasi rumah ini, Yah,” usulku suatu sore. Kami duduk berdua di kursi
rotan nyaris lapuk di teras. Para tetangga yang melintas mencuri pandang dengan
tatapan tak sedap. “Tabunganku sudah cukup banyak.”
“Tidak
usah,” ayah menolak.
“Ayolah.
Supaya ayah bisa hidup lebih nyaman,” bujukku lagi, menggunakan kata nyaman
alih-alih berkata agar tidak ada lagi tetangga yang mengolok. Tetangga baru
kami, penghuni rumah-rumah megah itu, konon telah membujuk dan mengiming-imingi
ayah dengan berbagai hal. Kudengar banyak yang telah punya rencana bila ayahku
mau melepaskan tanah dan rumahnya. Upaya mereka tak pernah berhasil.
“Lihat.
Ayah sudah punya rumah ini sebelum menikah dengan ibumu dulu. Kau punya apa?
Belum juga mampu untuk membangun rumah sendiri, sudah berlagak ingin
membangunkan ayah rumah?”
Beberapa
menit aku terdiam demi mengartikan kalimat ayah, apakah maksudnya menyindir
atau justru menyemangatiku.
***
Maka,
kuputuskan untuk bekerja lebih keras lagi. Untuk menunjukkan bahwa aku mampu
hingga ayah tak akan menolak segala saran dan permintaanku. Lima tahun
berselang, kupenuhi tantangan ayah untuk memiliki rumah sendiri untuk kutempati
bersama istriku setelah menikah setahun sebelumnya.
Langsung
kuboyong ayah ke rumahku yang baru di pusat kota, rumah yang tak kalah megahnya
dari tetangga-tetangga ayahku yang bermulut pedas. Wajah ayah datar saja, tak
menunjukkan raut senang atau sebaliknya. Tak dapat kutebak isi hatinya, walau
menurutku, seharusnya ia senang sebab aku telah mewujudkan mimpiku.
Namun,
berada di rumahku yang amat kontras dengan rumah yang telah ditempatinya selama
puluhan tahun, ia terlihat linglung. Ia canggung berhadapan dengan segala
perkakas modern. Apalagi ketika istriku memberi ayah sepasang sandal rumah
untuk melindungi kakinya yang penuh kapalan dari lantai yang dingin, jelas
kulihat ia merasa tak nyaman. Hanya demi menghargai menantunya, ia menyeret
sandal berbulu itu ke sana kemari.
Tiga
hari menginap, ayah memutuskan pulang! Kukira ia tak betah, namun ia berkilah
dengan mengatakan tak baik rumahnya dibiarkan kosong untuk waktu yang lama.
“Ayah
pasti kesepian di sana. Kita sewakan saja, Yah, biar ada yang menempati.”
Tapi
ayah menolak. “Rumah buruk begitu, siapa yang mau menyewa?”
Ingin
kulontarkan jawaban mungkin sebaiknya rumah itu dijual saja, namun kuurungkan
niatku. Dapat kutebak bahwa ayah masih belum mengubah pendiriannya. Usulku
untuk merenovasi yang kusampaikan beberapa kali lagi pun tetap ditolaknya.
Diam-diam, sebagai anak yang mengerti segala perjuangannya, aku merasa gagal.
Gagal menyenangkannya.
“Tidak
perlu khawatir. Ayah tak akan kesepian. Ayah bisa mendengarkan radio atau
menonton televisi.”
Aku
tahu ayah tak menggandrungi benda-benda elektronik itu. Aku yakin, sejak
kuletakkan televisi berukuran besar di ruang tamunya, tak habis hitungan kedua
jari tangan ia pernah menyalakannya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya
dengan memulung barang-barang bekas di luar rumah, membuatku menerima olok-olok
yang lebih menohok lagi.
Paginya,
ketika aku bersiap untuk berangkat ke kantor, ayah juga mengemasi
barang-barangnya. Ia memilih kembali ke rumah buruknya yang bersanding
rumah-rumah megah. Kuputuskan untuk mengantarnya sendiri alih-alih meminta
bantuan supir.
Aku
menduga, ayah tidak mau menjual atau merenovasi rumah itu karena alasan
melankoli romantik ini: rumah itu penuh dengan kenangan bersama ibu yang lebih
dulu berpulang dua puluh tahun lalu. Di sanalah mengalir cinta, peluh, bahkan
darah dalam perjuangan hidupnya. Semua menyatu, seiring waktu mengkristal
menjadi kenangan. Dan, kenangan tak dapat dibeli dengan uang.
Setiba di rumah, ayah
kembali terlihat lebih hidup. Ia mondar mandir ke sana kemari bertelanjang
kaki, sementara aku tak melepas sepatu pantofelku yang hitam mengkilat. Kami
duduk di bangku kayu, dekat lemari perkakas dapurnya yang butut.
Dengan
suara selembut mungkin, aku memberanikan diri bertanya. “Yah, apa sebenarnya
yang membuat ayah enggan menjual rumah ini? Aku bahkan bisa membuat rumah yang
lebih indah dari yang bisa ayah bayangkan.”
“Ayah
tahu kamu terusik dengan komentar-komentar tetangga, tapi ayah tak akan berubah
pikiran. Jangan paksa ayah. Tolong.”
Aku
membisu. Selama ini kami saling mendiamkan komentar-komentar buruk para
tetangga, tak pernah membahas apalagi membalasnya. Jawaban yang kuharapkan tak
kuperoleh.
“Ayah
tak menginginkan rumah, apalagi yang megah,” katanya lagi. “Bagaimanapun, rumah
abadi kita adalah tanah. Tubuh ini pun terbuat dari tanah. Di penghujung usia
ini, ayah ingin selalu berdekatan dengan tanah. Mengakrabkan diri dengannya.”
Aku
menunduk, memandangi kaki ayahku yang entah bagaimana, terlihat menyatu dengan warna
lantai dapur ini. Kaki itu lalu menggosok-gosok tanah dengan pelan, seolah
menyapanya.
“Pergilah!
Nanti kau terlambat bekerja….” Ayah bangkit. “Tidak usah khawatirkan rumah
ayah. Setelah ayah mati nanti, kau bisa segera menjual atau merenovasinya. Biarkan
rumah ayah sebagaimana adanya, sebentar lagi.”
Aku
tersentak. Dibanding olok-olok tetangga, kalimat ayahlah yang terasa paling
menohok. Tak kutemukan lagi kalimat untuk menjawabnya.
Sembari
berjalan keluar, mataku menelusuri setiap inci permukaan yang kulihat. Tak ada
lagi permukaan tanah yang tampak sejauh mata memandang. Jalan, trotoar, parit,
bahkan pekarangan setiap rumah telah tertutup oleh berbagai material yang bukan
tanah. Entah aspal, semen, rumput hias, apapun. Hanya rumah ayahku yang masih
berlantai tanah, lantai dapurnya.
Mata
ayah lekat memandang pergerakanku, mulai dari menyalakan mesin, memutar mobil
hingga melajukannya ke luar komplek. Lewat kaca spion, kulihat ayah masih
mengawasiku. Tubuhnya tampak mengecil. Tiba-tiba aku tergugu. Bayangan ketika
hari ayah akan meninggal membuat dadaku sesak.
Medan,
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar