Suatu kali, saya
membaca kicauan seorang penulis di media sosial twitter. Ia bertanya, apa
alasan utama bagi seseorang dalam menggeluti dunia menulis? Pertanyaan itu
sungguh beralasan, mengingat bidang kepenulisan belakangan ini cukup
berkembang. Banyak buku-buku baru bermunculan dalam waktu singkat sebab dipermudah
oleh berbagai hal, salah satunya adalah perkembangan teknologi.
Sesungguhnya, di balik
dunia menulis yang belakangan ini terlihat ‘enak’ dan ‘gampang tenar’, ada
proses kreatif yang cukup melelahkan untuk dijalani (untuk menghasilkan karya
berkualitas). Pertanyaan tersebut lalu menyeret hal-hal lain yang lebih besar,
seperti kreativitas dan kesehatan mental. Saya berakhir di sejumlah website
yang membahas tentang dunia kreativitas dan korelasinya dengan kesehatan mental
orang-orang yang menggelutinya.
Penelusuran itu
membuahkan fakta-fakta bahwa begitu banyak seniman dan penulis yang memiliki
masalah dengan kesehatan mental mereka. Imbas dari masalah tersebut, hidup
beberapa penulis tersebut berujung tragis. Akibat depresi, Ernest Hemingway
menembak kepalanya sendiri. Virginia Woolf mengakhiri hidup dengan mengantongi
batu lalu menenggelamkan diri di sungai. Sylvia Plath bunuh diri dengan
menghirup gas karbon dioksida dari ovennya. Dan, masih banyak kasus bunuh diri
lain yang dilakukan oleh para pekerja seni.
Beberapa tahun
berkecimpung di dunia menulis (fiksi), saya paham betul bahwa kreativitas
adalah poin terbesar yang saya butuhkan dalam berkarya. Dalam setiap pengantar
email atau surat yang saya layangkan kepada media untuk menawarkan
tulisan-tulisan saya, wajib dicantumkan pernyataan bahwa tulisan tersebut
murni karya saya, bukan saduran atau jiplakan. Ini untuk menegaskan bahwa
saya tidak mencatut karya orang lain, sebab media juga tidak mau
mempublikasikan karya yang sudah pernah beredar di masyarakat. Nah, untuk
menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang pernah ada, kreativitas ini memegang
peran paling penting.
Dalam salah satu cerita
pendek Bondan Winarno yang berjudul ‘RUMPUT’, dituturkan bahwa sejumlah penulis
dan redaktur di Bangkok (tidak mutlak, negara ini cuma dijadikan latar cerita) sudah
biasa mengonsumsi ‘rumput’ (sebutan bagi ganja) untuk menyokong kreativitas
mereka. Katanya, dengan menghirup ganja, pikiran menjadi bersih dari segala
persoalan yang mengganggu dan kreativitas akan tumbuh subur. Entah benar, entah
tidak. Saya tidak pernah membuktikannya secara langsung. Memang, cerita pendek
tersebut hanyalah fiksi, namun saya yakin kisah fiksi berangkat dari situasi real.
Tidak mengherankan.
Selain bermasalah dengan kesehatan mental, memang banyak juga pekerja seni yang
terlibat dengan obat-obatan terlarang. Banyak hal yang menjadi alasan orang-orang
tersebut mengonsumsi narkotika. Bisa jadi memang untuk menumbuhkan kreativitas,
untuk mengenyahkan depresi, menenangkan diri, atau ada alasan lain.
Bekerja mengandalkan
kreativitas memang cukup melelahkan. Walau menulis adalah bidang yang sangat
saya sukai, bukan berarti tidak akan ada kesulitan yang menghadang. Kebuntuan
sering menghampiri. Bahkan saya pernah muak melihat karya sendiri yang
disebabkan oleh berbagai hal, bisa jadi oleh rasa tidak puas, jenuh, letih, dan
sebagainya. Rasa muak itu lalu berkembang menjadi frustasi.
Tapi, sejauh ini, saya
merasa diri saya belum (dan semoga tidak) dihinggapi depresi berat seperti yang
dialami oleh penulis-penulis senior di atas. Bila mengalami kebuntuan atau
jenuh, saya cukup menghentikan aktivitas menulis sejenak, lalu mencari
penyegaran. Atau, tidur. Atau, minum kopi. Atau, mengguyur kepala yang panas
dan pusing dengan air dingin.
Oh ya, saya menulis
artikel ini semata untuk berbagai pandangan dan pengalaman. Bukan untuk
menakuti, meneror, apalagi mematahkan semangat teman-teman yang ingin berkarya
di bidang menulis. Menjadi penulis atau pekerja seni tidak lantas akan
dihinggapi depresi atau gangguan mental lain. Masih banyak, kok, pekerja seni
yang ‘sehat’ serta berprestasi. Dan, kita akan menjadi salah satu di antara
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar