![]() |
ilustrasi oleh Harian Waspada |
MENUNGGU
HUJAN REDA
Oleh
Dian Nangin
Air jatuh satu-satu dari bibir atap.
Memuaskan dahaga bunga-bunga dalam pot yang seharian ini dibanjur terik
matahari. Air juga jatuh di permukaan aspal. Di puncak kepala orang-orang di
jalanan yang lantas menepi dan mencari tempat berteduh. Rinainya berubah deras
ketika lelaki itu baru akan menyudahi pertemuan dengan perempuannya. Sudah
hampir dua jam ia duduk berdua dengan perempuan itu pojok kafe, menyesap kopi
hitam dan menikmati roti bakar. Live
music jazz menambah suasana romantis.
“Ayo, pesan secangkir lagi!
Barangkali ini hari keberuntunganku, bisa sedikit berlama-lama denganmu. Biasanya
pekerjaan menahanmu untuk lembur, biarlah hari ini hujan yang menahanmu untukku,”
perempuan itu berkata lembut sambil mengangkat tangan, kembali memanggil
pelayan kafe.
Kata-kata itu berhasil meluruhkan
niat si lelaki yang hendak pergi. Senyum perempuan di sebelahnya tersebut begitu
manis dan meluluhkan hati. Ia menghempaskan diri lagi di atas kursi. Tak
apalah, pikirnya. Hujan terlalu deras untuk dilawan, hanya akan menghadiahinya
flu dan demam.
Lagipula, jarang ada kesempatan bagi
mereka untuk bertemu seperti sekarang. Mungkin ini saat untuk menebus
ketidakhadirannya pada hari-hari yang lalu di sisi perempuan yang ia sayangi
itu. Segala pekerjaan dan urusan lain bisa ditunda, sesekali.
Cangkir-cangkir mereka kembali berisi.
Sepiring lagi roti bakar datang melengkapi. Namun, lelaki itu tampak tak bisa
menikmati momen tersebut. Padahal beberapa saat lalu ia ikut bersenandung bersama si vokalis band sambil mengelus kepala perempuannya yang rebah di pundaknya.
Tapi kali ini ia sibuk menggoyangkan kaki sarat gelisah.
Sepuluh menit kemudian, lelaki itu tanpa
sadar mulai mengetuk-ngetukkan jemari di atas meja sambil melongok-longokkan
kepala ke arah dinding kaca, memeriksa barangkali hujan di luar sudah berhenti.
Buku-buku jarinya beradu dengan permukaan meja kayu, menghasilkan bunyi berisik
yang mengacaukan denting-denting indah piano si musisi jazz.
Perempuannya lambat laun merasa
terusik. “Apa sih yang membuatmu gelisah begitu?”
Si lelaki tersadar, tergagap mencari
jawaban. “Ah, bukan apa-apa. Aku hanya baru ingat kalau tadi aku lupa
mengangkat kain jemuran, padahal di antaranya ada baju yang akan kupakai untuk kerja
besok.”
Si perempuan geleng-geleng sambil
menghela nafas. “Ternyata itu yang kau pikirkan? Biarlah. Jemuranmu sudah
kepalang basah.”
“Ya, memang. Akan kukenakan pakaian
lain besok.”
Si lelaki tampak tenang sejenak. Ia
menghirup kopinya yang sudah dingin dan ia tak dapat meresapi bagaimana
rasanya. Tangannya bertahan untuk tidak mengetuk-ngetuk meja lagi. Si perempuan
kembali merebahkan kepalanya di bahu lelaki itu, melanjutkan kemesraan seperti
yang terjalin beberapa saat lalu. Tapi si lelaki merasa bahunya berat, seakan
ditindih beban ratusan kilo. Sesekali ia bergerak untuk menghindari kepala
perempuan itu.
“Mengapa kau tidak bisa bersikap
manis sebentar saja? Masihkah kau pikirkan pakaian di jemuran yang telah basah
itu? Astaga! Di suasana seromantis ini, tidak adakah hal lain yang bisa kita
bahas selain jemuran basah?”
Lelaki itu hanya diam, tak ingin
berdebat. Sesungguhnya bukan pakaian di jemuran itu yang kupikirkan, tapi tidak
mungkin aku jujur, pikirnya. Si perempuan hanya mendengus. Sikap dan sifat
lembut yang ia miliki menguap perlahan. Ia meraih cangkir dan menyesap habis
isinya dengan rasa jengkel yang kentara.
***
Sudah
pukul sebelas malam. Deru rinai hujan yang menimpa genteng terdengar riuh. Mungkin
sebentar lagi, batin seorang perempuan yang tengah rebahan sambil berselimut di
sofa. Hujan masih begitu deras, mungkin ia terjebak di suatu tempat dan tak
bisa memaksa untuk menerobos hujan.
Demikian perempuan itu memelihara
kesabaran ketika menunggu lelakinya pulang malam ini. Kesabaran yang teriring
sepi. Ia berusaha untuk tidak jatuh ke dalam lelap. Sebab, bila ia tertidur,
mungkin ia tak akan mendengar kedatangan lelakinya. Ia ingin membukakan pintu, menyambut,
dan membawakan tas kerjanya. Bukankah istri yang baik harus bersikap hangat dan
menunjukkan kesetiaan pada suami yang telah menafkahi dan menyayanginya?
Jadi, ia terus menjaga kesadaran
kendati matanya mulai memerah dan mulutnya telah menguap beberapa kali. Ia
bertahan untuk tetap menunggu lelakinya, lelaki yang juga tengah menunggu hujan
reda di sebuah kafe bersama perempuannya yang lain.
Medan, 2018
Sukaaaaa ceritanya..
BalasHapusHaiiii... Thanks ya udah suka cerpen sederhana ini...
Hapus