Hobi
Sejak kapan suka
baca? Kalau diberi pertanyaan ini, saya teringat pada orang-orang yang sering mengikuti ajang pencarian bakat
menyanyi. Sejak kapan suka bernyanyi? Mereka mengatakan sudah bernyanyi sejak
usia 2-3 tahun. Wow! Saya bayangkan di umur sebelia itu mereka bersenandung
dalam bentuk ocehan merdu 🎵
Tapi, saya belum bisa
membaca di usia demikian. Saya suka membaca sejak saya mengenal huruf, yakni
ketika memasuki usia sekolah, sekitar 6 atau 7 tahun. Saya ingat betul saya melahap
semua kisah teramat pendek di buku materi bahasa Indonesia, yang kebanyakan
bertokohkan Budi, Ani, atau Nadia. Bahkan, saya menyukai soal-soal di buku
matematika yang berbentuk cerita, seperti: Andi memiliki lima apel. Suatu hari
ia kedatangan sepupunya, si Budi, dari kampung. Andi lalu memberi dua apel
miliknya kepada Budi. Berapakah sisa apel yang dimiliki Andi? 😄
Imajinasi saya langsung
bekerja membayangkan buah apel berwarna merah milik Andi. Lalu si Budi datang dari
sebuah kampung (saya juga sampai membayangkan suasana kampung tersebut) dan
mereka berinteraksi, berbagi apel sesuai dengan yang diceritakan. Soal cerita
yang sangat sederhana, namun itulah titik mula hobi membaca mengakar dalam diri
saya.
Sejak itu, mata saya
tak pernah terlepas dari buku. Saya membaca di waktu senggang (tentu!), ketika
makan, sewaktu sedang dalam perjalanan, yah, kapan saja ada waktu walau
sebentar!
Apalagi ketika berkenalan dengan komik yang rata-rata memiliki ukuran
kecil, saya bahkan membawanya ke dalam kamar mandi dan membaca ketika sedang
BAB! Hayoooo....siapa yang seperti saya, diam-diam menyelundupkan komik ke dalam toilet?? 😆😆
Siapa yang mewariskan
hobi ini? Saya tak yakin. Mungkin dari ibu saya yang suka membaca buletin gereja,
atau dari ayah yang suka membaca koran, atau bibi-bibi saya yang berprofesi
sebagai guru dan sewaktu kecil suka meminjamkan saya buku dari perpustakaan
sekolah tempat mereka mengajar.
Genre Favorit
Berbicara
mengenai genre, saya yakin semua orang mengalami perkembangan bahan bacaan
seperti yang saya alami. Sewaktu kecil, saya hanya sekedar menikmati teks-teks
cerita dalam buku pelajaran. Lalu saya berkenalan dengan majalah kanak-kanak
Bobo dan komik.
Baru
sepuluh tahun belakangan ini saya mulai melahap bacaan bergenre sastra. Saya
sebenarnya bingung. Pembacakah yang memilih genre yang mereka sukai, atau genre
itu sendirikah yang memilih pembacanya? Apakah kita sebagai pembaca pernah
memilih? Saya tak tahu apakah saya memilih atau dipilih.
Saya
ingat persis bagaimana pertama kali saya membeli novel pertama saya dan itu
bergenre sastra. Waktu itu, saya pergi ke satu-satunya toko buku yang ada di kampung
untuk membeli buku kumpulan soal untuk SMA (saya kelas 2 SMA waktu itu). Saya
sangat jarang pergi ke sana, hanya sering mengunjungi lapak-lapak buku loak untuk
membeli majalah atau novel bekas yang tipis.
Di toko buku tersebut, saya melewati rak bagian
novel. Sebuah novel dengan cover film
Laskar Pelangi tertangkap mata saya. Akhirnya, saya meletakkan buku kumpulan
soal yang sudah saya ambil, lalu membawa novel karya Andrea Hirata tersebut ke
kasir, padahal saya tidak kenal novel itu (padahal sudah cetakan kesekian),
saya tak tahu siapa Andrea Hirata, saya tidak hobi nonton hingga tidak tahu
informasi filmnya, pokoknya clueless
sama sekali. Buku kumpulan soal yang juga saya perlukan akhirnya saya beli di
lapak loak setelah menawar dengan tajam. 💥
Saya turut larut dalam euforia
masyarakat Indonesia yang waktu itu beramai-ramai membaca novel Laskar Pelangi.
Ketika menamatkan novel tersebut, saya merasakan sebuah ‘klik’. Saya belajar
menulis dengan berangkat dari novel tetralogi Andrea Hirata.
Lalu, tumbuh niat dalam
diri saya untuk mulai mengirim tulisan ke koran-koran karena menghasilkan uang J.
Lalu saya mulai membaca tipe-tipe seperti apa tulisan yang dimuat di koran—saya
menyasar rubrik cerita pendek, dan saya menemukan kebanyakan yang diterbitkan
adalah cerpen sastra.
Selanjutnya, karena
keterbatasan biaya, saya hanya membeli novel-novel yang dapat membantu saya
dalam proses kreatif menulis cerpen (kecuali ada diskon besar-besaran). Saya mulai mengoleksi karya-karya
sastrawan, seperti Seno Gumira Ajidarma, Andrea Hirata, Ahmad Tohari, Pramoedya,
Dee Lestari, Jostein Gaarder, George Orwell, Jane Austen, dan sebagainya. Saya
merasakan dua manfaat dengan membaca karya-karya mereka: hasrat membaca saya
terpuaskan dan saya juga mendapatkan inspirasi dalam menulis. Namun, saya tidak
menutup diri terhadap genre lain, kok! Saya tetap membaca novel-novel karya
Jojo Moyes, Jenny Han, Dan Brown, dan lain-lain, dengan meminjam mereka pada
teman-teman sesama pecinta buku 😀😀😀
Tetaplah
membaca! Kegunaannya akan kita rasakan suatu hari nanti! Kalau tidak menggemari
genre apapun, pilihlah buku yang setidaknya menyenangkan. Ulasan tentang buku
tertentu bisa dilihat di goodreads
atau googling. Banyak kok orang-orang
yang mengulas buku di blog atau media sosial. Bila mungkin manfaat konkrit membaca
tidak dirasakan secara langsung, paling tidak ceritanya bisa menghibur dan
membantu melepaskan lelah. 😎
Salam
literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar