![]() |
ilustrasi oleh Renjaya Siahaan |
RAHASIA
SEPARUH ABAD
Oleh
Dian Nangin
Entah
kenapa beberapa tahun belakangan ini wajah ayahku sering tampak seperti sedang
menanggung sebuah beban berat. Seakan batu besar tengah menindih hatinya,
membuatnya mudah lelah, padahal kami sudah tak membebankan padanya pekerjaan
sekecil apapun. Barangkali sebuah balas jasa terbaik—walau mungkin tak akan
pernah setimpal—yang dapat diberikan anak kepada orang tua adalah mengambil
alih semua pekerjaan dan tanggung jawab,
lalu membiarkan mereka menikmati usia senja dengan tenang.
Aku
dan saudara-saudaraku telah melakukan segala yang terbaik yang terpikir oleh
kami. Seharusnya ayah bahagia melihat semua anak dan cucunya hidup rukun tanpa
pernah menjadikan persoalan apapun menjadi besar. Aku sering bertanya-tanya
dalam hati, apalagi yang kurang? Namun,
wajah tua ayahku semakin lebih sering suram kendati ia suka tertawa untuk
menipu kami.
Hingga suatu hari ia
menceritakan padaku kisah ini.
Suatu
petang temaram, ia menghadang sebuah sepeda motor yang melintas di gang asing
yang sepi. Calon korban pertamanya. Seorang perempuan muda yang berkendara
seorang diri dengan penampilan tampak seperti baru pulang kantor.
Setelah
membidik dengan cermat dan penuh perhitungan, ia menyalip perempuan tersebut.
Tangannya cekatan menarik tas milik korban yang tersampir di pundak. Setelah
berada dalam genggaman, ia berencana segera kabur sejauh dan secepat mungkin.
Perempuan itu, walau
kaget tak kepalang, ternyata tak mudah menyerah. Ia mempertahankan tas miliknya
bahkan hingga sepeda motornya terguling dan ia ikut terseret. Ayah, yang juga
tak mau kalah, mengerahkan segenap daya. Berpikir tindakannya sudah kepalang
basah dan ia harus berhasil mumpung belum ada orang menunjukkan batang hidung
kendati perempuan itu mulai menjerit-jerit. Dalam kepalanya bergaung ego bahwa
lelaki seharusnya lebih kuat dari perempuan. Lelaki harus menang.
Namun
yang tak pernah ayah bayangkan sebelumnya adalah bahwa ia akan ‘takluk’ dalam
dua detik adu tatap dengan perempuan itu. Bukan mata dengan kilat ketakutan
yang ia lihat, namun sebuah sorot yang sulit diterjemahkan, namun cukup
membuatnya tidur tak tenang dan merasa bersalah seratus kali lipat dari yang ia
perkirakan sebelumnya.
Itulah
kejahatan pertama dan terakhir yang dilakukan oleh ayah. Berbekal hasil
jambretan yang merupakan akumulasi dari penjualan tas, dompet, ponsel pintar,
dan sebuah jam tangan yang semuanya bermerek cukup terkenal, lelaki itu memulai
sebuah usaha kecil-kecilan.
Setelah
mempunyai usaha walau dengan cara yang tak biasa, ia berencana membuat
perempuan korban kejahatannya jatuh cinta padanya. Barangkali ia berpikir bisa
menebus kesalahannya dengan cinta. Lagipula ia memang telah jatuh hati sejak
awal.
Begitulah. Berbekal
tanda pengenal yang berada dalam dompet yang kemudian disimpan ayah, ia
mendekati perempuan yang kelak menjadi ibu. Ayah mengucap syukur berkali-kali,
setelah awalnya sangat was-was, ternyata ibu tidak mengenalinya. Beruntung
waktu itu ayah memakai kupluk bertopeng dibalik helm hingga wajahnya
terlindungi. Hanya sepasang matanya yang tampak, namun ternyata itu telah
bicara banyak.
Di akhir cerita, ayah
menyampaikan sebuah permintaan “Jangan pernah kau ceritakan pada ibumu perihal
ini.”
“Mengapa?” tanyaku
penasaran.
“Ia tak perlu tahu,”
jawabnya ringkas tanpa benar-benar mengutarakan alasan yang masuk akal.
Namun,
memendam rahasia tak ubahnya menyimpan bom waktu. Ia bisa meledak pada waktu
yang kadang di luar dugaan, saat tak ada yang siap mengantisipasi. Demikianlah
rahasia yang dipendam ayah menemukan waktunya.
Saat itu, tepat di
hari-H pesta ulang tahun emas pernikahan orang tuaku, ibu jatuh sakit. Mau tak
mau kami harus membatalkan pesta, lalu sibuk menjelaskan kepada kerabat dan
para undangan, serta menderita kerugian besar. Tapi apa boleh buat, kesehatan
ibuku yang sudah merenta jauh lebih penting dan pesta itu tak bisa dipaksakan.
Selebrasi yang dirancang mewah dan megah itu harus berlalu begitu saja.
Kupikir
pesta itu akan menjadi puncak kebahagian mereka selama hidup. Bayangkan, berapa
banyak rumah tangga yang bertahan tak retak selama 50 tahun? Atau, berapa
banyak pernikahan yang begitu panjang umur hingga usia lima dekade tanpa dipisahkan
kematian atau dikacaukan orang ketiga?
***
Sejak
ibu dirawat di rumah sakit, ayah semakin sering menekuk wajah. Meski demikian tak
pernah seharipun ia beranjak dari sisi ibu. Ia bersikeras melakukan semua
pekerjaan yang seharusnya kami lakoni, seperti menyuapinya makan, mengelap
tubuhnya dengan air hangat, memijiti kaki atau mengganti pakaiannya.
Ayah
mencintai dan menjaga ibu dengan teramat berhati-hati, memperlakukan perempuan
itu tak ubahnya gelas antik yang rapuh—dan hanya ada satu di dunia. Dulu, perangainya
itu membuatku mendambakan kekasih yang punya kemiripan sifat dengannya.
Bukankah memang orang-orang berkata bahwa setiap anak perempuan akan menetapkan
sang ayah sebagai standar calon pasangannya? Pendapat ini barangkali relatif,
namun benar demikian menurutku.
Menyimpan rahasia,
pepatah mengibaratkannya bagai menyembunyikan bangkai tikus. Lambat laun bau
busuknya akan tercium juga. Ayah memang menyembunyikan sepotong bangkai, namun
ia menyumbat hidung ibu sebaik mungkin hingga busuknya tak mampu diendus
perempuan itu. Dan, aku tak habis pikir mengapa ayah memilih untuk terus
menyembunyikan hampir lima puluh tahun daripada mengakui dan lalu membersihkan
segala kotor dan busuknya.
Mengapa
ayah demikian khawatir? Kalau rahasia itu yang membuat perangainya demikian
muram akhir-akhir ini, mengapa ia tidak mengakuinya saja? Pengakuan itu
barangkali hanya akan dianggap lelucon oleh anak-anaknya. Barangkali ibu juga
telah memaafkan dan melupakannya. Kami akan mengenang mereka sebagai takdir
yang berujung manis walau berawal dari kesalahan. Cerita yang kelak bakal jadi
legenda keluarga dan diceritakan secara turun temurun. Kisah itu akan kami
jadikan sebagai bahan untuk mengolok-olok pasangan tua itu hingga pipi mereka
memerah layaknya dua remaja yang dimabuk cinta picisan.
Ternyata, bayangan dalam
kepalaku tak selalu sepakat dengan kenyataan. Hal itu kutemukan di suatu petang
ketika aku menjenguk ibu, namun kutahan langkahku tepat di depan pintu yang
sedikit membuka demi mendengar percakapan lirih yang berasal dari dalam
ruangan.
“Yang
menjambretku puluhan tahun
silam itu....kau, kan?” tanya ibu dengan suara serak yang lemah. Nada suaranya
datar, hingga tak mampu kubaca emosi apa yang ada di dalamnya.
Ayah
terkesiap, tak dapat mengelak dan tak ada apapun yang dapat dijadikan pengalih
pembicaraan. “Bagaimana kau tahu?”
“Aku
tak pernah bisa melupakan matamu. Aku menunggu kau mengakuinya, tapi kau tak
pernah jujur.”
Aku
mematung di tempat.
Bagaimana bisa mereka berdua terperangkap dalam rahasia yang sama tanpa pernah
mengungkapkannya selama bertahun-tahun? Apa yang dilihat ibu dalam mata ayah
pada waktu ia dijambret dulu? Aku ragu cintalah yang ia lihat di sana,
sebagaimana yang dilihat ayah pada sorot mata ibu.
“Maafkan
aku. Barangkali caraku memulai segalanya bisa dibilang tidaklah baik. Amat
sadar kelakuanku sangat tidak mulia. Tapi cintaku padamu,” kata ayah sungguh-sungguh,”
benar-benar tulus.”
Ibu
terdiam, tak berkomentar sepotong katapun. Hening menguasai ruang hingga
beberapa waktu lamanya. Tiba-tiba, seakan teringat sesuatu, ayah bertanya
sambil mengerling penasaran. Seulas senyum bermain di bibirnya—senyum
pertamanya setelah berbulan-bulan berwajah muram. “Lalu, apa alasanmu tetap
menerimaku?”
Telingaku
tegak. Aku memasang pendengaran sebaik mungkin. Pertanyaan ayah barusan adalah
pertanyaan yang juga selama ini kupendam karena lelaki itu tak pernah memberiku
kesempatan untuk menanyakannya pada ibu. Kufokuskan pandangan ke dalam ruangan.
Ibu masih belum menjawab. Ayah dan aku berada dalam penantian yang sama.
“Karena...”
belum usai ibu menjawab, ia mendadak tersedak. Dalam hitungan detik nafasnya
terputus. Perempuan itu telah pergi. Ia membawa alasan itu serta. Sampai
kapanpun kami tak akan pernah bisa mendengarnya.
Medan,
2017-2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar