![]() | |
ilustrasi oleh Harian Waspada |
SEBUAH
KEYAKINAN
Oleh
Dian Nangin
Tak
ada apapun yang dijanjikan Adam ketika ia meminta hatiku dan mengikatnya dengan
janji sehidup semati. Aku masih bertanya-tanya dalam hati apa alasanku untuk
menolak atau mengiyakan, namun tahu-tahu kepalaku mengangguk tanpa berpikir
panjang. Kupikir hubungan kami dan permintaannya itu tak serius. Siapa yang
akan percaya ia serius? Sebuah ide gila untuk menikah ketika ia masih
pengangguran, dua tahun setelah kami melepas seragam putih abu-abu. Semasa
sekolah pun ia tak begitu becus, terkenal tak bisa diandalkan dalam bidang
akademik. Ketika aku meragukannya, ia dengan yakin berkata cukup mempercayakan
masa depan pada waktu.
Setelah
menikah, ia mengutarakan ide gilanya yang lain. “Ayo pindah ke desa. Aku akan
bertani. Tak ada gunanya bertahan di kota yang pengap ini.”
Aku
mengangkat sebelah alis, lagi-lagi ragu. Bagaimana mungkin kami menanggalkan
hidup yang telah terbiasa dengan kota ini? Haruskah aku meninggalkan pekerjaanku
sebagai penjaga toko ponsel, yang walau tak bergaji banyak, namun cukup lumayan
untuk menutup kebutuhan sehari-hari? Bagaimana nasib kami nanti?
“Kalau kau begitu sulit
mendapatkan pekerjaan, kupikir ayahku atau ayahmu bisa meminjamkanmu uang untuk
memulai sebuah usaha.”
Adam bersikeras,
sedikit sinis. “Aku tak butuh uang mereka. Percaya padaku. Hidup di desa akan
lebih baik.”
“Tapi aku tak yakin
akan mampu bertani,” sahutku. Lagipula, siapa yang kembali memilih bertani
setelah mencecap kehidupan modern? Orang desa saja berlomba-lomba hijrah ke
kota, memilih bertahan di metropolitan walau hidup dengan mengemis.
“Kau gemar menulis.
Lanjutkan saja. Mungkin suatu saat dewi fortuna akan menjenguk dan jatuh hati pada karya-karyamu. Siapa
tahu! Cukup aku yang bekerja di ladang.”
Aku masih ragu. Dua
puluh tahun hidup di kota adalah waktu yang cukup lama untuk sebuah perubahan
yang besar. “Apa kita tak akan kesulitan di desa? Di kota ini kita bisa
menjangkau apapun dengan mudah.”
“Tidak usah khawatir.
Kita tak akan kesulitan atau kekurangan. Alam yang memelihara kita,” ucapnya
menenangkanku.
Begitulah kami
menjalankan roda rumah tangga. Awalnya, aku begitu khawatir lepas dari kemodernan
kota dan mengasingkan diri ke sebuah ladang yang yang harus ditempuh lewat
jalan berbatu. Anehnya, berlawanan dengan rasa raguku, aku menemukan diriku
merasa nyaman dengan rumah semi permanen yang kami miliki. Rumah ini
dikelilingi alam, bukan berdempet-dempetan dengan rumah tetangga dan berjejalan
di tengah kota.
Aku mulai senang
berkebun di pekarangan. Setiap jengkal ruang kosong kutanami bunga atau
sayur-sayuran. Tak butuh waktu lama, aku sudah bisa memandang bunga-bunga labu
kuning yang merambati pagar bambu dari jendela ruang tengah tempatku membaca
dan menulis. Adam juga memutuskan memelihara beberapa ekor ayam. Butuh waktu
berbulan-bulan hingga berjumlah lumayan. Kami menahan diri untuk tidak segera
mengonsumsi telur yang dihasilkan unggas itu dan lebih memilih untuk
menetaskannya. Sekarang, kami bahkan bisa menjual beberapa kilo telur ke warung
di ujung jalan atau ada tetangga yang membeli langsung pada kami.
Kabar bagus lainnya, setelah
bergelut dengan kesabaran yang tidak main-main, satu persatu karya-karyaku
mulai mendapat tempat di koran-koran ibukota. Mungkin tak ada yang mudah dalam
hidup, namun beberapa hal menjadi ringan ketika dikerjakan dengan sepenuh hati.
***
Waktu
berlalu dan hari ini aku mendapati keraguan yang menderaku bertahun-tahun lalu
sebenarnya tak beralasan. Sejak awal Adam telah memegang sebuah keyakinan akan
setiap keputusan yang diambilnya. Ia tahu benar apa yang ingin ia kerjakan.
Siang tadi kami menghadiri panggilan dari pengadilan untuk bersaksi atas
saudara Adam yang berseteru tentang warisan yang ditinggalkan orang tua mereka
yang wafat tahun lalu.
Sepulang dari
pengadilan, kami berkendara dengan damai, seakan tak terjadi apapun. Adam
bersikap cukup tenang untuk situasi panas yang baru saja terjadi.
“Sejak awal aku tak
terlalu berharap sekalipun aku anak laki-laki yang juga punya hak atas warisan
orang tua,” Adam angkat bicara. Aku teringat perseteruan sengit antara dua saudara
Adam, yang mengklaim bagian masing-masing lebih besar. Sedangkan Adam tampak
tak begitu antusias untuk ikut berebut tanah, rumah, serta berbagai harta lain
yang ditinggalkan mendiang orang tuanya. Sejak awal ia telah menerima sepetak
kecil lahan beserta rumah sederhana yang kami tempati dan itu sudah cukup.
Katanya, ia tak menginginkan apapun lagi.
“Yang perlu kita
lakukan adalah tetap fokus mengerjakan usaha agar mendapatkan hasil yang
terbaik.”
“Ya. Menikmati hasil
kerja sendiri akan terasa lebih puas,” aku sependapat. Kuingat kembali
hari-hari yang telah lalu ketika kami hanya makan ala kadarnya, dalam arti yang
sebenarnya. Kadang tumbuh rasa tak tega dalam hatiku ketika menyambut Adam
setiap petang jelang gelap. Wajahnya yang habis dipapar matahari tampak semakin
legam. Urat-urat leher dan tangannya bertimbulan akibat bekerja begitu keras.
“Dan, kita tidak perlu
kehilangan apapun yang tak pernah kita miliki.”
Adam benar. Mungkin
pendapatan Adam dari bertani ditambah penghasilanku dari menulis tidak dalam
jumlah yang mengizinkan kami untuk berfoya-foya, namun nyaman rasanya bisa
menikmati hasil jerih sendiri tanpa memelihara hasrat berlebihan untuk sesuatu yang
lebih yang tak dapat kami jangkau. Aku dan Adam sepakat menekan pengeluaran
agar dapat menabung. Hasilnya, kami membeli sebuah mobil pick up bekas, lemari pendingin, beberapa perkakas, dan hidup semakin
nyaman.
“Apa kau telah
memperkirakan dari jauh-jauh hari bahwa hal ini akan terjadi?”
Adam mengedikkan bahu. “Sedikit
banyak…ya. Aku kenal baik sifat abang-abangku. Itu sebabnya sejak awal aku tak
mau begitu terlibat dengan urusan uang atau harta orang tua.”
Aku diam dalam kagum.
Dari mana ia peroleh kebijakan dan kematangan pikiran itu? Setiba di rumah, aku
bergegas menuju dapur untuk memasak makan malam. Kami kelaparan. Perseteruan dan
perjalanan panjang tadi telah menguras banyak tenaga. Aku sedang mengikat
rambutku dengan seutas karet gelang ketika Adam memanggilku. Aku menoleh.
“Dik, malam ini aku
ingin makan daun singkong rebus. Tumbukkan cabai rawit. Tidak usah halus, kasar
saja.”
Aku tersenyum. Dalam
kebersahajaannya, ia masih sesederhana Adam yang kukenal dulu. Ketika aku
berbalik, ia menambahkan.
“Jangan lupa ikan teri goreng
dan telur rebus.”
Medan,
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar