![]() |
ilustrasi oleh Analisa/ Christian M Saragih |
MELODY
Oleh
Dian Nangin
“Mel!
Apinya sudah siap?!”
Suara
ibu menginterupsi keasyikanku menikmati kemerosok lagu yang mengudara dari
radio kecil yang kutempel di telinga—barang elektronik kami satu-satunya. Kuletakkan
radio butut itu kembali ke tempatnya, lalu setengah berlari menuju tungku
tempatku tadi menyulut api. Ternyata api telah padam, menyisakan kepulan asap
tebal. Kukipasi baranya dengan kecepatan penuh hingga api menyala dan melalap
kayu bakar.
Ayah
yang baru kembali dari hutan tampak sibuk menurunkan jerigen berisi air nira
yang baru dipanen dari atas becak motornya. Wajahnya memerah, urat-urat bertimbulan
di leher dan tangannya, nafasnya terengah-engah, namun ia tampak masih punya
banyak tenaga untuk mengangkati jerigen berat itu.
Ibu
lalu muncul membawa wajan besar yang baru ia cuci di sumur belakang. Dengan
perlahan ia meletakkannya di atas tungku batu, memastikan posisinya stabil.
Ayah menuang air nira sementara ibu memegang saringan di atas wajan dan tugaskuku
memastikan api tetap menyala.
Inilah
rutinitas kami: mengolah air nira menjadi gula merah. Aku, ibu dan ayah harus
selalu bekerja sama dan bekerja keras, sebab hanya dengan begitu kami akan
memiliki penghasilan. Penghasilan yang kami yang tak seberapa itu pun masih
harus dipotong untuk membayar air nira yang disadap ayah dari pohon-pohon aren milik
orang lain.
Uap pekat dari didihan
air nira di wajan terasa lengket di kulit. Asap memerihkan mata. Panas bara
terasa membakar. Peluh mengaliri tubuh dan lengan terasa pegal karena tak henti
mengaduk cairan dalam wajan yang kian lama kian berat sebab air nira berubah kental.
Tapi, aku mampu menahan semua itu karena dalam hati aku asyik bernyanyi.
***
Apakah
ada cara untuk membunuh sepotong mimpi?