![]() |
ilustrasi oleh Banjarmasin Post |
ES
BATU
Oleh
Dian Nangin
Petang telah diambil
alih malam. Seorang lelaki duduk terpekur di samping gerobak dorongnya yang
terparkir begitu saja di depan sebuah toko kelontong yang sudah tutup. Di dalam
gerobak terbaring putranya yang berumur tujuh tahun. Sesekali bocah itu
mengigau. Suhu tubuhnya mendadak naik drastis siang tadi dan sang ayah belum
mampu memberi tindakan yang maksimal untuk memulihkan kondisinya.
Lelaki tersebut
menengadahkan kepala ketika mendengar suara langkah mendekat, suara yang ditunggu-tunggunya
sedari tadi. “Apa yang berhasil kau dapatkan?”
Seorang perempuan,
istrinya, mengacungkan plastik berisi es batu. “Hanya ini. Kita coba kompres
saja dulu. Semoga panasnya segera turun.”
Lelaki itu menerima es
batu yang memang sekeras batu, lalu membenturkannya ke sebongkah batu besar di
dekatnya. Sang istri mencari-cari selembar kain dalam gerobak yang dapat
digunakan untuk mengompres.
Suami
istri itu lalu duduk bersisian, termangu menunggu dinginnya kain kompres yang
diletakkan di kening putra semata wayang mereka bekerja. Sebenarnya, mereka
telah pergi ke klinik-klinik dan pusat kesehatan, namun pelayanan yang
diharapkan tak mereka peroleh. Jumlah
pasien hari itu membludak. Perubahan cuaca membuat tubuh-tubuh berdaya tahan
lemah rentan dihinggapi penyakit. Mereka ditolak hanya setelah berbicara sepotong
kalimat.
“Tolong,
anak saya demam tinggi…” Lelaki itu ragu merogoh sakunya, menyodorkan sepotong
kartu dan kertas-kertas dengan dada berdegup kencang.
Perawat
berbedak tebal berlipstik norak itu memeriksa sekilas. Ia berdehem. “Tunggakan
berbulan-bulan. Silakan datang lagi bila sudah dilunasi.”
“Tapi…”