Kaca
mata retak itu milik ayah, salah satu benda yang sangat disayanginya. Karena
melalui benda itu ia menemukan penghiburan, kebebasan dari letihnya
berpeluh-peluh setiap hari, bekerja membanting tulang di ladang. Kaca mata tua
itu memberinya pertolongan.
Sesungguhnya
kaca mata itu sudah tidak layak untuk dipakai, tapi ayah tak pernah berniat
menggantinya. Di kaca mata itu tergores perjuangannya, kisah masa lalunya. Kaca
sebelah kanannya sudah retak, sebuah garis tanda pecahan seenaknya melintang
diagonal. Lalu kacanya juga sudah sangat kusam, tidak mempan lagi dilap dengan
tisu, diuapi dengan nafas dan digosok dengan ujung pakaian, atau dengan
pembersih kacamata sekalipun. Gagang dan bingkainya yang berwarna keemasan
perlahan memudar karena dimakan usia.
Tetapi
kacamata itu adalah pahlawan yang membantu ayah membaca koran di kedai kopi,
menandatangani rapor si bungsu, melihat nama yang tertera di layar handphone ketika seseorang meneleponnya,membaca
alkitab, juga ketika membaca not balok di
partitur ketika ia bermain piano.
Dengan
kacamata itu juga ayah melakukan hobi favoritnya, memainkan game sejuta umat
yang ada di setiap komputer, spider solitare.
Permainan itu satu-satunya hiburan bagi ayah, yang selalu dilakukannya malam
hari. Ayah tidak hobi menonton televisi (kecuali ada pertandingan sepakbola,
tentu). Maka setelah ia selesai memainkan dua atau tiga lagu di pianonya, ia
akan beranjak, menarik kursi dan duduk menghadap komputer.
Sering
kupandangi ayah yang begitu asyik bermain, dengan kacamata menghiasi wajahnya.
Aku pernah mencoba memakai kacamatanya itu, dan aku tidak dapat melihat apa-apa. Hanya bayangan buram.
Memang, mataku tidak rusak dan aku tidak memakai kacamata, tapi dapat kurasakan
bahwa kacamata itu benar-benar tidak layak, tidak nyaman lagi dipakai.
“Ayah,
kenapa tidak diganti saja kacamatanya?” celetukku suatu malam. Ayah mengalihkan
pandangannya sebentar dari layar monitor, menatapku. “Kan sekarang banyak model
kacamata terbaru yang bagus dan trendy?!”
“Sudahlah,
ayah tidak terlalu memerlukannya. Lagipula harganya pasti mahal, lebih baik
uangnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan,” jawabnya, membuat mulutku terkunci.
Ayah memang begitu, selalu mendahulukan kepentingan keluarga dan mengesampingkan
kepentingan pribadi, meski kepentingan pribadi itu juga benar-benar penting.
“Makanya kamu jaga kesehatan mata, jangan malas makan sayur,” nasihatnya lagi.
Sejak itu aku tak pernah mengusulkannya lagi, dan dalam hati aku berjanji,
setelah sukses dan mandiri nanti, akan kubelikan ayah kacamata, yang terbaik
dan termahal sekalipun.
Aku
hanya memandangi ayah. Ia fokus dengan gamenya.
Ia memang tidak mau diusik. Hanya terdengar bunyi trek, trek, trek, yang khas ketika kartu-kartu itu berpindah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar