Ini adalah salah satu cerpen karya saya ketika masih SMA (sekitar 5 tahun sejak cerpen ini di publish di sini). Ceritanya cukup simpel, dengan gaya tulisan yang sederhana dan apa adanya. Sebelumnya cerpen ini sudah pernah di kirim ke media, tapi tidak ada konfirmasi sampai sekarang. Belum layak muat kali ya. Dan cerpen ini saya posting tanpa di edit sama sekali. Jadi beginilah adanya. Enjoy... :)
***
Kriiinngggggg.....
Bel tanda istirahat telah
usai berdering panjang, semua murid berhamburan masuk kelas. Hufff, dengan
gontai aku melangkah ke arah mejaku, menghempaskan diri di bangku dengan
keluhan. Sebenarnya bukan aku saja, sebagian besar teman sekelasku melakukan
hal yang sama. Bagaimana tidak? Ini adalah jam-jam terakhir dengan mata
pelajaran paling membosankan. Biologi. Sebenarnya tidak begitu membosankan,
andai saja Pak Guru berkacamata tebal jadul itu dapat mengajar dengan sedikit
lebih baik, sedikit lebih menarik maksudku. Betapa membosankannya, selama
sembilan puluh menit ia mampu mengoceh di depan kelas dan kami harus
memelototinya tiada henti. Huh, terlalu monoton dan bikin ngantuk saja.
Hai, kenalin, aku Keira. Keira Anggreini lengkapnya. Duh, saat
ini aku lagi ngantuk plus boring setengah mati. Mataku rasanya udah maksa
banget buat nutup. Pak Guru jadul itu masih asyik menerangkan di depan kelas.
Beruntung aku duduk di bangku paling belakang, jadi bapak itu nggak terlalu
merhatiin kepalaku yang sudah terasa sangat berat. Hmmm..., enaknya ngapain ya
biar nggak ngantuk. Kuedar pandanganku ke seantero kelas, sepertinya semua
temanku mengalami hal yang sama sepertiku. Kulihat Jono di pojokan sana,
sepertinya ia sudah benar-benar tertidur dengan kepala disenderkan ke dinding.
Lihat saja ilernya yang menetes itu. Hiii.... Menjijikkan!
Kulirik Mey, teman
sebangkuku. Dia sih punya jurus andalan buat ngusir ngantuk. Dia dengerin musik
pake headset, dan headsetnya ditutupin pake rambutnya yang panjang itu. Terus
kepalanya ngangguk-ngangguk ngikutin musiknya. Pasti pak guru ngira Mey udah ngerti pelajarannya, tak taunya
lagi asyik menikmati suaranya Bruno Mars, hahahaa.... Sebenarnya aku juga
pengen dengerin musik kayak Mey. Masalahnya rambutku nggak panjang kayak rambut
Mey, mau ditutupin pake apa headsetnya? Kalo nekat juga, bahaya nih...
Kucuri pandang ke meja
samping, mejanya Rafa. Cowok yang kutaksir, hehehe... Bukan aku saja sih yang
naksir dia, cewek sekelas juga naksir kayaknya. Orangnya cakep sih, mirip
Morgan personelnya Boyband SM*SH itu. Bahkan adik-adik kelas juga berebutan
kirim salam untuknya, tapi sering salam itu nggak kami sampaikan. Ya iyalah,
orang kami juga naksir sama dia, ngapain nyampein salam dari orang lain.
Hahaha... dasar kakak kelas bandel!
Kulihat Rafa juga
mati-matian ngusir ngantuknya. Duh, aku jadi nggak tega buat ngusilin dia. Biasanya sih aku jagonya
ngusilin dia, ngegodain dia juga meski nggak pernah ngerespon, mumpung meja
kami sebelahan. Tapi rasanya aku tak sampai hati buat ngusilin dia saat ini,
liat tuh wajah cute-nya yang lagi bete. Hmmm, tapi kayaknya melototin wajahnya
lebih asyik kali ya daripada melototin wajah pak guru jadul itu. Kutopangkan
dagu kesamping, memandangnya dengan wajah mesem-mesem. Duh, cute-nya nih anak.
Biar nggak dapet si Morgan SM*SH itu,
dapet duplikatnya juga nggak pa-pa tuh.
Ehh, tiba-tiba Rafa balik
memandangku. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku ke depan kelas meski ekor
mataku masih sempat curi lirik ke dia. Lha? Kok aku jadi salah tingkah gini ya?
Biasanya aku nggak pernah tuh salah tingkah, soalnya dia yang selalu salah
tingkah kubuat.
Tiba-tiba....
“Pssstt....” Eh, dia
memanggilku? Aku menoleh. Dia menyodorkan sebuah kertas kecil yang terlipat.
Apa-apaan nih? Aku mengedipkan mata beberapa kali dan masih belum ngeh.
“Cepat...,” katanya
berbisik. Oh, aku segera menyambar kertas itu dan membukanya di dalam laci.
“Keluar
yuk...”
Haaa? Dia ngajak aku
keluar? Nggak salah nih, biasanya dia jarang nanggepin ajakan aku (bukan aku
doang sih, tapi dia juga nolak ajakan cewek sekelas, Erika sang primadona kelas
sekalipun). Wah, aku kejatuhan durian runtuh nih. Kesempatan besar buat deketin
dia, cewek sekelas, eh, satu sekolah bakalan ngiri abis. Hmmm, basa-basi sebentar
ah, pasti asyik. Kutulis balasan di balik kertas itu.
“Kita
kemana? Kalo ketahuan kita berkeliaran di luar sana waktu jam pelajaran,
gimana?”
Siip deh. “Psssttt...”
Kali ini aku yang manggil
dia dan kusodorkan surat balasan ke arahnya. Ia tersenyum dan meraih kertas di tanganku.
Oh, senyumnya manis sekali dan sentuhan tangannya begitu lembut. Aku jadi
senyum-senyum sendiri. Seru juga nih main surat-suratan bareng pujaan hati
(yaelaaah, pujaan hati!). Rafa membaca
kertas itu dalam laci meja, persis seperti yang kulakukan dan kemudian menulis
balasannya, sementara aku deg-degan menunggu.
“Psssstt...” Aku menoleh
dengan cepat dan mengambil kertas ditangannya.
“Makan
dikantin yuk..., tadi pas istirahat nggak sempat makan nih. Terus nanti kita
keperpus, pura-pura pinjam buku. Ntar kita bilang aja ke penjaga perpus kalo
guru kita nggak datang. Boring nih dikelas. Mau ya....”
Woww...! Gila juga ya nih anak. Biasanya dia kalem,
nggak pernah macem-macem. Sekarang dia ngajakin aku cabut. Kapan lagi nih kalo
nggak sekarang? Kesempatan kayak gini nggak bakalan datang dua kali. Makan
berdua bareng Rafa di kantin,
so sweet....
“Pssst...” Dia menoleh.
“Oke! Aku duluan ya, kita
ketemu di kantin,” kataku, nggak pakai surat basa-basi lagi. Terlalu
bersemangat, nih! Rafa tersenyum, kemudian menggangguk dan mengacungkan
jempolnya. Wah, ini dia kesempatan bagus buat permisi keluar kelas. Pak Guru jadul
sedang asyik menulis di papan tulis. Aku berdiri dan beranjak ke depan kelas.
“Permisi, pak. Saya mau ke
toilet sebentar,” kataku pelan.
“Ah, ya...ya...,”
jawabnya, cuek.
“Yeessss.....Yu...huu...,”
sorakku dalam hati.
Dengan langkah ringan aku melangkah keluar kelas. Di ambang pintu aku memandang
teman-temanku yang sedang terkantuk-kantuk. Aku melihat ke arah Rafa, sekali
lagi dia mengacungkan jempolnya kearahku. Senyumku mengembang. Aku keluar kelas
dan menutup pintu kembali. Rasanya hidungku menarik nafas kebebasan (halah,
lebay). Aku melangkah riang menyusuri koridor menuju kantin. Belum juga aku
sampai di kantin, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Langkahku sontak
berhenti dan aku berbalik ke belakang.
“Ah, Rafa! Ternyata elo...
Gue sampe kaget, kirain siapa...,” kataku sambil mengelus dada.
“Oh, sory deh Kiara...,”
katanya sambil merangkul bahuku. Oh, senangnya dirangkul sama Rafa.... Aku
merasakan pipiku memanas. Kami segera menuju kantin dan mengambil posisi di pojok
kantin, posisi paling aman dan nyaman. Kulihat beberapa adik kelasku yang
berpapasan dengan kami memandang iri, kemudian berbisik satu sama lain.
Hahaha..., bangganya aku.
Aku dan Rafa kemudian
duduk berhadap-hadapan dan aku dapat memandang wajahnya sampai puas. Kudengar
lagu Afgan mengalun lembut dari radio mininya Bik Onang, pemilik kantin.
Mendukung banget tuh lagu buat romantis-romantisan.
“Lo mau makan apa? Gue
yang traktir deh karna lo udah mau nemenin gue makan,” Rafa membuatku terkejut
karena tadi aku tak sadar sedang asyik memandangnya.
“Ngg.. apa aja deh,” aku
tergagap. “Duh, Kiara tolol! Kok lo jadi gugup gini? Lo harus enjoy, bersikap
manis dong,” aku merutuki diri dalam hati.
Rafa beranjak memesan
makanan, dan aku leluasa memandang punggungnya. Aku segera sibuk menyisir
rambut dengan jari tangan dan mengelap wajahku pakai tisu dengan cepat, sebelum
Rafa kembali dan melihat kelakuan konyolku. Wajar dong kalau aku ingin terlihat
rapi dan cantik di depan Rafa?!
Rafa kembali seraya membawa
nampan berisi makanan. Aku penasaran makanan apa yang dipesankannya untukku.
Dia kemudian duduk dan ,”nih, gue pesanin lo nasi goreng,” katanya kalem.
“ Thanks, ya. Lo tau aja
deh makanan kesukaan gue,” kataku semanis mungkin, tak lupa dengan senyum
lebarku.
“Eh, lo pesan apa?”
tanyaku balik.
“Nih, bakso! Kesukaan
gue...,” katanya sambil memamerkan mangkuk baksonya.
“Oh,” jawabku singkat.
“Yuk, makan,” ajaknya
sambil menyendok sambal dan menambahkan saus tomat ke dalam baksonya.
“Huekss, kok dia suka
makanan menjijikkan itu, sih?” dalam hati aku mengerenyit jijik. Aku punya
pengalaman buruk dengan makanan berbentuk bulat kenyal-kenyal itu.
Waktu itu siang terik
sepulang sekolah, perutku sudah sangat lapar tak tertahankan. Aku melangkah
cepat menuju sebuah warung bakso tak jauh dari sekolah. Segera aku memesan
bakso, kemudian melahapnya. Ehh, ketika sedang asyik-asyiknya makan bakso, aku
mendengar berita televisi di warung itu yang mengatakan bahwa harga daging
sedang melonjak tinggi dan banyak pedagang bakso yang menggunakan daging tikus
karena tak sanggup membeli daging.
Uhuk..uhuk... Aku tersedak
mendengarnya dan sebuah bakso yang sedang kumasukkan kedalam mulut nyangkut di tenggorokan.
Kemudian aku terbatuk dengan keras dan semua makanan dalam mulutku termasuk
bakso itu tersembur keluar. Aku sangat malu dan sejak saat itu aku menjadi
benci sekaligus jijik dengan makanan yang namanya BAKSO!
“Hei, Kei... Makan dong,
ntar makanannya keburu dingin lho,” Rafa menatapku bingung karena sejak tadi aku
hanya melamun dan mengabaikan nasi gorengku.
“Oh, ya...ya..,” aku
segera melahap makananku. Sialan tuh bakso, membuatku mengingat masa lalu dan
menyia-nyiakan waktuku bersama Rafa.
“Ehm! Keira, gue pengen
ngomong sesuatu sama lo,” tiba-tiba Rafa berbicara serius.
“Oh, ngomong aja lagi. Gak
ada yang larang kok,” aku pura-pura sibuk makan padahal dalam hati aku sibuk
menerka-nerka apa yang akan dikatakan Rafa padaku.
“Rafa, bilang kalo lo juga
suka sama gue,” harapku tak karuan dalam hati.
“Ngg... lo tau nggak kalo
gue...,” Rafa menggantung kalimatnya, membuatku jantungan menunggu
kelanjutannya.
“Ayo, Rafa....! Ayo bilang
kalo lo naksir gue. Gue terima kok kalo lo nembak gue. Gue nggak bakal nolak,”
teriakku dalam hati, tak sabar.
“Ng... ntar aja deh. Kita
makan aja dulu, ntar dah siap makan gue lanjutin,” katanya penuh teka-teki.
Yah, Rafa.... Aku cepat-cepat menghabiskan makananku, tak sabar menunggu agar
Rafa melanjutkan kalimatnya.
“Hmm, Kei... Lo cobain
dong bakso gue. Enak banget Lho....”
Whatttt?
Oh no...! Mataku melotot memandang Rafa.
“Lo pasti suka. Gue suapin
deh,” Rafa menyendoki bakso dan hendak menyuapkannya kepadaku.
“Oh, eh..., nggak usah
Rafa. Gue udah kenyang kok. Lo makan aja lagi,” aku menolak dengan halus. Aku
benar-benar gugup kali ini.
“Ayo dong Keira sayang...
nggak pedas kok,” katanya setengah memaksa sambil menatapku tajam. Entah kenapa
tiba-tiba kulihat mata Rafa membesar dan bulat menyerupai bakso.
“Eh, Rafa...,” belum
selesai aku bicara tau-tau bakso itu
melayang kedalam mulutku.
Uhuk....uhukk....uhukkk......!!
Aku tersedak lagi.
Tiba-tiba...,
Krrriiinnggggg.......... Bel panjang berdering, bel khas yang menandakan
kegiatan sekolah sudah berakhir.
Plak...! Kurasakan sebuah
tamparan halus mendarat di pipiku. Aku membuka mata dan kudapati teman-temanku
menyorakiku.
“Lho? Kok aku dikelas
sih?” aku belum sepenuhnya sadar. Kulihat Rafa berdiri didepanku, dengan ponsel
kamera ditangannya.
“Aduh Keira, lo kok molor
sih dikelas? Liat tuh iler lo, jadi cewek kok jorokkk??” teriak Rafa menjauh
sambil memperlihatkan kameranya, dan kudapati fotoku yang sedang tidur dengan
posisi melamun, menghadap kearah bangkunya dan dengan iler yang menetes. Aku
sendiri jijik melihatnya dan segera me’lap bibirku.
“Rafaaa...........,”
teriakku seraya bangkit berdiri dan mengejarnya yang telah lari menghindar. “
Ntar gue upload ya fotonya di
facebook,” Rafa tertawa ngakak, sambil berlari menjauh.
“Huuuuuuu......,”
sorakan teman-temanku mengiringi langkahku pulang. Sialll...........!!!