Festival seni di desa budaya Dokan. Seni dan budaya, adalah kata kunci yang berhasil menggiring saya datang ke acara ini, kendatipun saya bukanlah mahasiswa seni ataupun orang yang bergelut di dalamnya. Menikmati seni (musik, tari, seni rupa) adalah satu kenikmatan tersendiri, apalagi yang masih berbau tradisional.
Kabar akan diadakannya event ini telah saya dengar sejak awal tahun kemarin. Setelah tanya sana sini dan dapat informasi dari beberapa web, akhirnya saya tahu acara ini diselenggarakan selama tiga hari, 15 hingga 17 Mei.
Maka pada hari kedua, Sabtu 16 Mei selepas siang, saya dan adik serta sepupu pergi ke sana.
Sementara lomba vokal solo dilangsungkan, kami berjalan-jalan mengeksplorasi desa yang saya kunjungi untuk kali pertama ini. Hunting foto di beberapa tempat bertemankan alunan lagu dari para peserta lomba.
Pemandangan rumah adat berpadu dengan gema lagu Taneh Karo Simalem semakin mengentalkan nuansa tradisional sore itu.
Melalui sebuah harian lokal Medan, saya mengetahui kisah awal mula munculnya ide mengadakan acara seni di desa Dokan, serta bagaimana proses pengembangan ide hingga penyusunan acara.
Saya
cukup surprise ketika menemukan fakta
bahwa ide mengenai acara festival seni ini berawal dari percakapan ringan di
kedai kopi dan para penggagasnya adalah para anak muda, yang kemudian berlanjut
ke perbincangan serius.
Kenyataan
lain yang saya temukan adalah tentang minimnya dana, sehingga pengisi acara
dengan nama besar seperti Tio Fanta Pinem datang dari Jakarta dengan biaya
sendiri. Beliau, bersama sejumlah musisi dari dan luar Tanah Karo tidak
mendapat imbalan/honor atas sumbangsih mereka. Mengapresiasi serta mendukung
semangat dan ide kreatif para anak muda, adalah alasan terbesar mereka mau tampil secara gratisan.
Karena
satu dan lain hal, kami tidak dapat mengikuti acara malam budaya, yang pastinya
sangat meriah—karena pada saat itulah para musisi dan para pengisi acara akan
menunjukkan kreativitasnya.
Mejuah-juah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar