![]() |
ilustrasi oleh Medan Bisnis |
KEDAI
KOPI REPUBLIK INI
Oleh
Dian Nangin
Telingaku
terjaga, samar menangkap beberapa suara. Sayup awalnya, namun semakin aku sadar
semakin jelas suara itu terdengar. Kupaksa tubuhku bangun. Ternyata yang
kudengar adalah kombinasi gelak tawa yang ditimpali sahut menyahut suara
berbincang, memaksaku menyudahi mimpi yang belum lagi usai.
Pukul
lima pagi kurang seperempat. Suara berisik itu semakin menjadi-jadi. Dengan
mata setengah membuka, aku melangkah menuju pintu depan. Kulongokkan kepala
begitu daun pintu terkuak.
Hebat!
Bahkan anak-anak ayam pun belum bangun, tapi sekumpulan lelaki telah bercokol
di kedai kopi. Apa yang mereka lakukan di sana sepagi ini? Arisankah? Aku
menoleh ke kanan kiri, bingung. Tidak ada orang yang keluar dari deretan rumah
kontrakanku. Hanya aku yang terganggu sebagai penghuni baru, ataukah para
tetanggaku sudah terbiasa dengan keadaan ini?
***
‘Warung Sarapan Bu
Tatiek’
Itulah
yang tertulis di bagian teratas sebuah etalase kaca
yang bertempat di bawah kanopi samping kedai kopi yang berisik itu. Seorang wanita berjilbab, kuduga bernama Bu Tatiek, tampak sibuk. Namun ia tetap menyambutku dengan senyum ramah.
yang bertempat di bawah kanopi samping kedai kopi yang berisik itu. Seorang wanita berjilbab, kuduga bernama Bu Tatiek, tampak sibuk. Namun ia tetap menyambutku dengan senyum ramah.
“Lontong
sayurnya satu, ya, Bu.”
“Baru pindah ke sini,
ya?” alih-alih menjawabku, ia malah bertanya.
Aku
mengangguk. Melihat posisi kedai yang berhadapan tepat dengan jalan masuk ke
kompleks kontrakanku, ia pasti sudah hafal dengan wajah-wajah yang biasa keluar
masuk kompleks itu. Aku maklum ia merasa tidak familier denganku. Sembari
menunggu, aku memandang berkeliling, mencoba mempelajari lingkungan baruku ini.
Kedai kopi ini layaknya
warung kopi biasa, tempat para lelaki nongkrong, melepas lelah sambil minum
kopi, atau sekalian bergunjing. Kulihat dua orang duduk berseberangan dengan
gelas kopi yang mengepulkan uap di hadapan masing-masing. Keduanya tampak berpikir
keras dan menatap serius papan catur di hadapan mereka. Tapi ternyata telinga
mereka masih dapat menangkap percakapan rekannya dan sesekali ikut berkomentar.
“Republik ini, Bung,
takkan jalan kalau pemimpinnya macam dia,” ujar seorang lelaki bertubuh tambun.
Dia duduk santai di atas bangku kayu panjang. Kaki kanan dinaikkan dan matanya
fokus menatap layar televisi yang diletakkan tinggi di pojok kanan kedai.
“Ya! Aku setuju, Bung.
Dia bukan orang politik. Sementara Republik ini keras politiknya. Mau dibawa
kemana nanti Republik ini kalau dia tak berpengalaman?”
Aku
heran, bagaimana bisa mereka seenaknya berkomentar? Dengan sembarangan menilai
para calon pemimpin bersahaja itu? Tahu apa mereka tentang calon-calon pemimpin
tersebut? Sementara mereka sendiri, aku yakin, belum menjadi pemimpin yang baik
bagi rumah tangga mereka masing-masing kalau hanya bisa bercokol di kedai kopi.
Sudah sesiang ini, tapi masih belum ada di antara mereka yang angkat kaki. Apa
mereka tidak bekerja?
Setelah menerima
pesananku dan membayarnya, aku bergegas pulang. Kuletakkan sarapan di meja.
Pena dan kertas menarikku lebih kuat. Tak dapat kubendung lebih lama lagi
aliran kalimat yang membanjiri kepalaku.
***
Aku semakin rajin
‘mengunjungi Bu Tatiek’ dengan maksud agar bisa memperhatikan gerak-gerik dan mencuri
dengar percakapan para lelaki itu. Mereka selalu berkumpul dan berteman baik, seolah
punya dunia sendiri apabila sudah bersama duduk melingkari meja tripleks itu.
Kedai kopi tak pernah sepi, selalu dipenuhi perbincangan seru, gelak tawa, dan
denting sendok yang beradu dengan gelas-gelas kopi.
Tak peduli panas terik,
hujan bahkan badai sekalipun, tidak pernah seharipun mereka absen di sana.
Berbicara seenaknya, sebebasnya, dengan kata-kata yang langsung terlupakan
seiring dengan tegukan demi tegukan mengaliri tenggorokan. Lalu mereka
membubarkan diri, bersamaan dengan mengendapnya ampas bubuk kopi di dasar
gelas.
Aku
jadi hafal wajah-wajah yang sering nongkrong di sana, juga tempat duduk
masing-masing, karena nyaris mereka duduk di bangku yang sama, formasi yang
mungkin terbentuk secara tidak langsung. Maka aku juga dapat mengetahui lelaki
yang mana tidak datang atau datang terlambat. Sesekali ada beberapa pengunjung
baru, yang datang dan pergi tanpa bergabung dengan kelompok lelaki itu.
Kini,
akupun sudah terbiasa dengan kebisingan yang mereka ciptakan. Alarm pembangun,
begitulah aku menyebutnya. Seperti pagi ini, tanpa menggerutu aku langsung
terbangun begitu mendengar gelak tawa mereka. Padahal, jangkrikpun masih mendengkur
dan ayam belum berkokok. Dalam hal nongkrong di kedai kopi, mereka telah
mengalahkan makhluk paling pagi sekalipun.
Topik mereka pagi ini
seru, tentang salah satu anggota dewan yang tengah malam kemarin tertangkap
basah sedang menerima uang suap.
“Bodoh
sekali dia, tidak memikirkan taktik yang jitu.”
Seperti
biasa, aku memasang telinga sementara Bu Tatiek membuatkan sarapanku.
“Ya.
Di Republik ini, salah langkah sedikit saja langsung diciduk. Harusnya dia
membuat banyak rencana matang sebelum beraksi. Bukan begitu, Bung?”
Seorang
bocah laki-laki berseragam merah putih lengkap dengan ransel butut menggantung
di punggung. Bocah itu memasuki kedai kopi dan langsung menuju seorang lelaki
yang duduk berselimutkan sarung sambil bersandar di dinding kedai. Ia
mengulurkan tangan, meminta ongkos ke sekolah.
“Rajin
belajar, ya, Nak. Biar kamu pintar dan tidak seperti anggota dewan yang goblok
itu.”
Para
lelaki itu tergelak. Bocah yang tidak mengerti apa-apa itu segera pergi setelah
mencium tangan ayahnya, dengan beberapa lembar rupiah dalam genggaman.
Aku
meralat dalam hati,” Rajin belajar, ya, Dik. Supaya kamu pintar dan kelak
ketika dewasa nanti kamu bisa lebih baik dari ayahmu!”
***
Dering
pendek ponsel membangunkanku. Sebuah pesan singkat masuk, berisikan konfirmasi
dari redaksi sebuah surat kabar bahwa karyaku telah dimuat. Honor bisa diambil
mulai besok. Spontan aku terduduk, kantukku hilang tak bersisa. Ha! cerpen itu
berhasil!
Dengan
langkah ringan dan hati riang, aku menuju warung Bu Tatiek, berniat membeli
sarapan kendatipun waktu kini menunjukkan pukul sepuluh pagi—sudah cukup siang
untuk sarapan. Seperti biasa, para pengunjung setia kedai kopi telah
mendahuluiku. Mereka sudah bertengger di ‘singgasana’ masing-masing.
Aku
menatap etalase dan bingung menentukan pilihan, sementara di belakangku
terdengar lembar koran yang lebar dibolak-balik diselingi suara berbincang. Bolehlah
aku memanjakan diri sedikit dengan dua macam lauk untuk sarapanku pagi ini,
berhubung keuanganku sedang membaik.
“Besar sekali uangnya?!
Pasti karena sedang tanggal muda, ya?” tanya Bu Tatiek ketika kusodorkan
selembar uang seratus ribu rupiah. Aku tersenyum, tak menampik ataupun
mengiyakan. Dalam hati aku mengucapkan terima kasih untuk lelaki-lelaki yang
sedang asyik menyeruput kopi itu, yang telah memberiku inspirasi yang jenius.
“Sebentar, ya. Ibu ke
dalam dulu untuk mengambil kembaliannya.” Aku mengangguk, dan Bu Tatiek dengan
cepat menghilang ke dalam rumah untuk menukar uangku menjadi pecahan yang lebih
kecil. Aku memandang sekitar dengan kantong kresek di tanganku sambil menarik
nafas panjang. Betapa cerahnya hari ini!
Tiba-tiba aku dikejutkan
oleh sebuah suara. “Lihat, Bung, cerita di halaman paling belakang. Rasanya aku
mengenal percakapan yang diceritakan di sini.”
Berikutnya,
gemerisik koran yang dibuka cepat dan hampir serempak terdengar memenuhi
telingaku.
“Kedai
Kopi Republik ini?” seseorang bertanya dengan suara berat. “Aku ingat pernah
mengucapkan kalimat ini. Kenapa bisa sama persis begini? Terlalu kebetulan
untuk sebuah kebetulan.”
Jantungku
tiba-tiba berdegup dengan ritme yang lebih cepat. Itu cerpenku. Tak kusangka
surat kabar yang memuat cerpen itu juga beredar hingga ke kedai kopi ini. Ah,
kenapa aku tak sampai berpikir sejauh itu?
“Katrina
Sari, Mahasiswa Fakultas Sastra?”
Aku
terkesiap. Namaku dibubuhkan bersama
cerpen itu. Perasaanku tidak enak. Aku kian gugup, tak berani menoleh ke
belakang dan merasa Bu Tatiek terlalu lama mengambil uang kembalian untukku.
Medan,
2015-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar