![]() |
Ilustrasi Harian Analisa |
TEH
DAN KOPI
Oleh
Dian Nangin
Ini kali pertama aku
berkunjung lagi ke desa ini setelah dua tahun lalu aku pulang ke kota.
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan keluar rumah. Papa dan Mama masih
terlelap. Setelah meninggalkan pesan singkat, aku pergi menuju kebun kopi
Wilsen. Sepanjang jalan aku menghirup udara segar dalam-dalam. Aku suka bau
rerumputan yang basah oleh embun di pagi hari, salah satu kenikmatan alam yang
sulit kutemukan di kota.
Teringat Wilsen, serta
merta pula muncul nama Juna. Dan, bila nama mereka berdua telah keluar dari
kotak ingatanku, turut mencuat sebuah janji yang mereka pinta dariku. Waktu
itu, sehari sebelum aku kembali ke kota, mereka mengutarakan isi hati mereka
padaku. Baru kali itu aku menghadapi dilema, tak dapat memutuskan dengan mudah.
Wilsen dan Juna, dua teman laki-laki yang telah memberiku kenangan indah di
tempat yang awalnya dulu tak kusukai ini.
Aku ingat,
bertahun-tahun lalu, aku berkali-kali merajuk ketika orang tuaku memutuskan
pindah ke desa. Papa beralasan agar kami bisa menjaga nenek yang kini sendiri
setelah ditinggal kakek untuk selamanya. Waktu itu aku protes berat, kenapa
bukan nenek saja yang pindah ke kota? Perempuan tua itu sungguh egois. Aku tak
rela pindah sekolah dan meninggalkan hidupku yang nyaman di kota. Menurut
kebanyakan sahabat, tinggal di desa itu membosankan.
Ketinggalan zaman.
Namun Papa menjawab
dengan kalimat yang tak dapat kubantah. Nenek sudah tua, ia ingin menghabiskan
hari-harinya di tempat tenang. Ibukota yang penuh hiruk pikuk tidak cocok
untuknya. Masa kita yang muda tidak bisa mengalah? Begitu katanya.
Namun kemudian aku
menemukan keasyikan luar biasa. Bersama Juna, cucu dari sahabat nenek yang
tinggal di kebun teh yang seumuran denganku, aku menikmati bermain sepeda melintasi
lereng-lereng yang datar maupun yang curam. Mengitari perempuan-perempuan
pemetik daun teh, bermain di tempat hijau seluas mata memandang.
Juna juga mengajakku
berkunjung ke pabrik pembuatan teh yang berada tak jauh dari kebun. Aku menyaksikan
sendiri bagaimana daun-daun yang telah dipetik itu diolah mulai dari mentah,
diproses melalui beberapa fase seperti pengeringan, penggilingan, oksidasi dan
serangkaian proses lain. Hingga akhirnya teh itu dapat diseduh dan dinikmati.
Papa tersenyum lebar melihatku
beradaptasi dengan cepat. “Sudah lihat, kan, kalau ternyata tinggal di desa
juga menyenangkan?” sindirnya. Aku hanya tersenyum malu karena akhirnya aku
jatuh cinta pada tempat ini.
Lalu, muncullah Wilsen.
Pertama kali aku melihatnya sewaktu kami sekelas melakukan kegiatan lintas alam
dengan rute melewati kebun demi kebun, turun sedikit ke lembah dan mengitari
perbukitan. Anak laki-laki yang imut itu duduk murung dengan mata bengkak.
Ternyata ia baru datang dari kota, dibawa oleh kakeknya, karena orang tuanya
mengalami kecelakaan pesawat dan meninggal.
Tak butuh waktu lama
untuk akrab dengan Wilsen. Kalau bersama Juna aku belajar banyak tentang teh,
maka Wilsen membawaku bertualang di kebun kopi kakeknya. Bertiga kami telah
menjadi sahabat dekat.
Aku jadi suka kebun
kopi. Padahal sebelumnya aku tidak pernah menaruh perhatian, berpikir kebun
kopi itu tak menarik. Pohon-pohonnya tumbuh tinggi dan rapat, berdaun rimbun
hingga terkesan tertutup.
“Ayo, Ninda!”
Aku ingat pengalaman
pertama kali memetik kopi. Siang jelang sore itu, Wilsen menjemputku. Aku keluar
rumah dengan kaos oblong dan celana pendek, baru ingat punya janji dengannya
sepulang sekolah. “Maaf. Tadi aku ketiduran.”
Wilsen hanya
geleng-geleng kepala sejenak. “Ganti celana dan bajumu dengan yang berlengan
panjang. Kalau tidak, nanti kulitmu digores ranting-ranting kopi yang tajam
yang menyakitkan dan meninggalkan bekas.”
Aku mengangguk paham.
Tak menunggu lama, aku telah memakai kostum sesuai saran. Sore itu kuhabiskan
dengan memetik kopi. Wilsen menunjukkan kopi yang bagaimana yang harus kupetik.
Menyenangkan juga, karena ternyata dibalik rimbun daun-daun kopi, ada buah-buah
kecil berwarna merah bercampur hijau berdesakan pada satu ranting. Sesekali aku
memekik ketika mendapati semut-semut yang suka nongkrong di buah-buah kopi,
bahkan membangun sarang di balik daun-daunnya.
Usai memetik kopi,
Wilsen mengajakku membantu kakek memutar tuas mesin pengupas kopi manual. Menebar
kopi-kopi yang sudah terkupas dan dicuci bersih ke tampah-tampah yang lebar,
lalu diletakkan di bawah sinar matahari.
Beberapa hari kemudian aku
datang lagi setelah kopi kering. Kami menonton kakek dan nenek Wilsen
menyangrai biji-biji kopi itu hingga berwarna kehitaman. Aku berjongkok di
dekat tungku, sekalian berdiang untuk menghangatkan tubuh karena di luar sedang
hujan. Aroma kopi yang begitu enak di hidung memenuhi seantero pondok.
Bila ada orang yang
datang berkunjung atau sekedar berteduh, maka aku akan berperan sebagai
pramusaji yang mengantarkan cangkir-cangkir kopi panas kepada mereka.
Baristanya adalah Wilsen. Tentu saja bukan barista profesional karena
pekerjaannya tidak seberat itu—ia hanya menyeduh bubuk-bubuk kopi dengan air
mendidih dan pilihan menu yang bisa disajikan di pondok kecil ini hanya kopi
dengan gula atau susu kental manis kalengan.
Teh dan kopi.
Dua minuman itu selalu
ada di rumah. Teh diseduh dalam gelas bening Mama. Aromanya menenangkan,
menghangatkan. Kopi hitam pekat dengan uap terkepul datang dari cangkir Papa.
Baunya meninggalkan jejak yang begitu membekas dalam rongga penciuman maupun
ingatanku. Kedua aroma itu berbaur menjadi satu, akrab, berdampingan di setiap
pagi.
Sebenarnya masih ada
satu minuman lagi yang tak pernah absen di rumah. Baunya amat menyengat—tak
pernah bisa bersahabat dengan hidungku. Aroma rempah yang kuat menyeruak ketika
minuman itu terhidang. Jamu nenek. Lidahku spontan menjulur keluar ketika nekat
mencicipi jamu itu suatu kali. Rasanya paduan antara pahit, pedas, juga asam
bercampur manis, amat tidak karuan. Aku tak pernah suka dengan minuman itu.
Perhatianku hanya tertuju pada dua minuman tadi.
Teh dan kopi, punya
kesan tersendiri pada indra perasaku. Aku menyukai keduanya. Salah satunya tak
pernah lebih tinggi dan lebih hebat dari yang lainnya.
Namun, sesuatu terjadi.
Persahabatanku dengan Juna dan Wilsen mendadak dihadang jarak. Nenek meninggal.
Papa kembali memboyongku dan Mama ke kota. Mang Bono disuruh tinggal di rumah
nenek, bertugas menjaga dan merawat rumah itu, menjadi tempat kami kembali
suatu saat nanti.
Dan
di sinilah aku, kembali menyusuri jalan setapak menuju kebun kopi Wilsen
setelah dua tahun tidak berkunjung. Dari kejauhan, aku sudah melihat pondok
kopi Wilsen. Pun, ada Juna di sana. Keduanya entah sedang membicarakan apa.
Kuhampiri dengan tak sabar.
“Surprisee...!” ujarku nyaring sembari
merentangkan tangan. Dua pemuda itu
serentak menolehkan kepala dan memberiku reaksi yang sama. Keduanya
menunjukkan raut kaget bercampur senang yang kentara. Aku tersenyum bahagia
melihat mereka masih seakrab ketika kutinggalkan.
Mereka
memelukku bergantian. Kedua sahabat masa kecilku telah berubah menjadi remaja
jelang dewasa yang menawan. Aku bahagia pernah datang ke desa ini dan kemudian
bertemu mereka.
“Masih ingat dengan janji bahwa
kalau kamu kembali, kamu akan memberi jawaban tentang pilihanmu di antara kami
berdua?” Sekonyong-konyong Juna bertanya.
Tentu
aku ingat. Dalam hati aku sudah menetapkan jawaban. Kuhirup kopi manis yang
baru disajikan Wilsen. Kulihat wajah kedua sahabat laki-lakiku itu menyiratkan
gugup dalam penantian.
“Aku
tidak ingin memilih siapa-siapa,” sahutku mantap. Mana bisa aku memilih yang
satu dan membiarkan yang lain menjauh?! Dan, tak ada pula perasaan lebih di
hatiku yang dapat kupaksakan, kendati mereka punya perasaan untukku. Sebab
selamanya aku hanya ingin bersahabat dengan mereka. Persahabatan yang kekal.
Medan,
2016-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar