oleh Dian Nangin
Peran
Keluarga
Kebanyakan
teman-teman sesama pecinta buku dan juga rekan-rekan penulis mengatakan bahwa
mereka sudah hobi membaca sejak kecil. Walau tak begitu ingat kapan
tepatnya hobi itu bermula, namun mereka masih mengenang majalah anak-anak,
komik, dan bacaan lain yang digandrungi sewaktu belia.
Orang-orang
yang gemar membaca yang saya kenal punya riwayat masa kecil yang dekat dengan
buku. Rata-rata, kegemaran dan kedekatan itu memang diwariskan oleh orangtua
mereka. Barangkali hal tersebut tidak mutlak seratus persen, tapi tetap saja
itu merupakan bukti kuat bahwa orangtua memegang peranan penting dalam
menumbuhkan budaya baca bagi anak-anaknya.
Saya
pun juga demikian. Walau latar belakang keluarga saya bukan akademisi, bukan
pula pengoleksi buku, juga bukan tipe keluarga yang menyisihkan pengeluaran
khusus untuk membeli buku, namun ayah ibu saya cukup suka membaca. Surat kabar,
buletin gereja, majalah, buku renungan harian, menjadi santapan sehari-hari
mereka. Bahkan mendiang nenek saya yang gemar mendongeng, menghabiskan masa
tuanya dengan membaca. Mata lamurnya menyipit dan berkedip dengan intensitas yang
lebih tinggi ketika menekuni baris demi baris kalimat dalam buku yang ia baca. Selain itu, ketika masuk sekolah saya langsung duduk di kelas satu SD tanpa mencicipi bangku TK terlebih dahulu (tahun 1997), maka ayah saya rutin mengajari saya membaca setiap sore. Setelah mahir membaca, buku pelajaran Bahasa Indonesia menjadi favorit saya, menjadi buku yang paling cepat lecek karena terlalu sering saya buka, sebab di sana ada banyak cerita dan teks-teks yang dapat saya nikmati.
dok. pribadi |
Kebiasaan membaca yang ditunjukkan keluarga
lalu menjadi cikal bakal saya menggemari segala jenis bahan bacaan, mulai dari
sekedar teks pendek di belakang kotak kemasan susu, selembar kecil komik dalam
bungkus kerupuk, buku pelajaran, Alkitab, hingga akhirnya saya berkenalan
dengan beragam novel serta genrenya.