Oleh
Dian Nangin
Satu
persatu cahaya yang menerobos rimbun dedaunan perlahan menghilang. Hanya
tersisa keremangan yang memaksa mataku
bekerja lebih awas. Ini berarti matahari sudah semakin jauh bergeser ke arah barat. Ini juga
berarti aku harus semakin bergegas sebelum hutan belantara ini diselimuti
gelap. Aku tengah tersesat dalam sebuah perjalanan yang tak kuingat darimana
dan kapan bermula.
Daripada menguras otak dan tenaga untuk memikirkan asal muasal perjalanan ini,
lebih baik aku berjuang menemukan jalan keluar.
Sesekali pekik-pekik manusia
terdengar sayup, sahut menyahut. Aku berteriak memberitahu keberadaanku, berharap
ada yang berbaik hati mencari dan menolongku sebelum malam turun. Namun, teriakanku hanya
disambut gema pekik-pekik lain tanpa ada yang benar-benar datang menolong.
Bersama rasa gentar yang merambati
hati, aku menyadari tak akan ada seorang pun yang mau mengumpankan diri pada alam
liar di waktu yang tidak seharusnya seperti sekarang. Apalagi besar kemungkinan
banyak hewan buas yang berkeliaran di sini. Membuang waktu untuk hal lain
selain mencari jalan pulang adalah tindakan bodoh. Yang ada dalam pikiran setiap orang pastilah kembali
ke rumah, ke tempat hangat dan nyaman untuk beristirahat.
Kudongakkan kepala. Biru langit perlahan
menua di antara celah-celah dedaunan yang saking lebatnya nyaris menutupi
pandangan. Aku tak punya penunjuk waktu dan tak tampak adanya penunjuk jalan. Aku
buta arah dan hanya bisa mengandalkan doa sebagai satu-satunya kompas paling akurat.
Berharap barisan munajat kacau balau yang kupanjatkan mengarahkanku pada jalur
yang benar.
Di
saat seperti inilah baru kusadari bahwa kosakata milikku yang pantas dirangkai
menjadi doa begitu minim. Apa boleh buat, aku tak lagi menghitung berapa tahun
sudah kaki ini tak menginjak rumah ibadah. Kupikir angka-angkanya sudah
melebihi jumlah jemari kedua tangan.
Maka kurapalkan saja kata-kata yang
kukira benar dan indah didengar Tuhan. Semakin lama aku berjalan, aku
mengusahakan doaku bertambah panjang. Bukankah Tuhan akan mendengar doa yang
panjang dan spesifik? Memang benar bahwa Dia Maha Tahu, namun kupikir tak ada salahnya
memberitahu dengan detail apa yang sekarang benar-benar kubutuhkan.
Sudah di mana aku sekarang?! Aku
terlalu sibuk berdoa hingga tak memperhatikan jalan yang sejak tadi
bercabang-cabang dan tak
menghapal arah mana yang telah kumasuki. Jalan buntu
menghentikan langkahku. Di hadapanku membentang
semak-semak begitu padat dan tinggi.
Batang-batang pohon sebesar dua kali tubuhku terlihat begitu mengintimidasi. Tampaknya di
sini tak ada rute yang pernah dilalui manusia.
Kutelusuri semak-semak itu sambil berharap tak
ada ular yang tiba-tiba keluar entah
darimana dan mematukku. Kutemukan sebuah sungai yang
lebar, berarus deras dan tampak liar.
Kuikuti jalan setapak di sepanjang tepiannya. Sial! Jalan ini ternyata berakhir
di sebuah tebing.
Untuk kali kesekian aku harus
membuat keputusan yang melelahkan. Bila aku berbalik dan kembali pada rute
sebelumnya, aku tak yakin
di sana tak ada jalan keluar. Satu-satunya pilihan adalah meniti tebing ini
untuk melihat apa yang ada di depan sana. Keputusan yang sesungguhnya tidak
menjanjikan apa yang kuharapkan, namun lebih baik dicoba daripada tidak
melakukan apa-apa.
Setiap pijakan adalah pertaruhan
hidup dan mati. Lebar pijakan
hanyalah seluas telapak kaki. Ah...! Aku kaget
setengah mati!
Kaki kananku nyaris terpeleset oleh permukaan batu yang licin. Untung tanganku
masih cukup kuat berpegangan pada akar-akar pohon besar yang banyak bertimbulan. Darahku berdesir dingin demi melihat sungai
berjeram deras di bawah sana. Gemuruh riaknya meredam semua suara—pekik-pekik
manusia, kerik jangkrik, hingga derak cabang-cabang pohon yang diayun angin.
Kutenangkan nafas yang
tersengal-sengal sembari mengumpulkan tenaga. Aku harus membuat pijakan yang
kuat. Sebab, kalau sampai terjatuh, aku akan ditelan arus deras itu. Hanya bisa
kuikuti riaknya tanpa bisa melawan
sebab tubuhku sudah begitu lelah. Aku akan terombang-ambing, sesekali
menghantam bebatuan besar di sepanjang sungai, hanyut hingga jauh dengan
kondisi yang hanya Tuhan yang tahu.
Sial! Kenapa aku malah membayangkan hal yang
tidak-tidak? Kugeleng kepala kuat-kuat, menyangkal bayangan itu. Butuh beberapa detik untuk menjernihkan pikiran dan
lalu kulanjutkan langkahku.
Setelah melewati tebing dengan dada
berdebar keras hingga terasa menyakitkan, aku tiba di jalan setapak yang
tampaknya pernah dilewati manusia. Permukaannya keras tanpa lumpur dan sedikit
lebih bersih dari semak-semak. Syukurlah. Sepertinya jalan keluar sudah tak
jauh lagi. Semangatku bangkit kembali, membuatku mampu menyeret kaki yang
bergetar sebab adrenalin ketika melewati tebing tadi belum lagi reda.
Sebuah siulan tiba-tiba meniup daun
telingaku. Kaget, spontan kutepis siulan itu dengan tangan serupa mengusir
nyamuk berdenging. Namun,
siulan itu malah menjadi-jadi. Sontak kutolehkan kepala.
Sesosok makhluk hitam yang terlihat
ganjil muncul dari balik sebuah dahan besar, dua langkah di belakangku. Bentuknya jauh dari fisik
manusia, tapi ia juga tak menyerupai
binatang apapun. Wujudnya
benar-benar ganjil. Ia berwarna hitam dengan dua mata
menyala. Aura mengerikan menguar
dari tubuhnya, membuat gelap di sekitarnya semakin pekat di sisa keremangan
petang.
“Siapa kau?” teriakku.
Alih-alih menjawab, ia melangkah
mendatangiku. Ia menjejak tanah namun langkahnya
tak terdengar.
“Berhenti di sana! Jangan
mengikutiku!” Perintahku tegas. Seketika aku sadar bahwa
aku tidak sedang berhadapan dengan para bawahanku di kantor, melainkan dengan sebentuk makhluk asing yang kian lekat di
belakangku—dan tampaknya tak akan menuruti kata-kataku. Langkahku kian gegas.
Namun, itu tak juga
memperlebar jarak di antara kami. Tangannya terulur, menggapai-gapai.
Tepat ketika ia mencengkeram kerah
bajuku dan menariknya kuat hingga aku tercekik, tiba-tiba aku melihat secercah
cahaya. Terang yang perlahan semakin benderang. Bersama satu hentakan nafas,
mataku terbuka lebar. Kusadari aku telah terbangun dari mimpi yang buruk—teramat buruk.
Kudapati berlapis-lapis manusia
mengerubungi tubuhku yang tengah berbaring kaku. Langit-langit
putih dan bau khas yang akrab mengembalikanku pada dunia nyata.
Baru kemudian realitas menyusup masuk ke alam sadarku bahwa telah enam bulan
aku menghuni rumah sakit ini karena penyakit
komplikasi.
Seorang lelaki dengan jubah megah
menopangkan tangannya di kepalaku; seorang pendeta yang kukenal namun selalu
kuhindari. Matanya terpejam. Bibirnya komat-kamit mengucapkan doa. Ah,
pemandangan ini tiba-tiba membuatku merasa ciut hingga sebesar semut. Tak ada momen yang
paling menyadarkan dan mendera hati dengan rasa bersalah karena alpa terhadap
Tuhan selain penyakit paling mematikan. Pun,
ketika hidup rasanya sudah di ujung tanduk
seperti yang terjadi padaku sekarang.
Doa
yang dipanjatkan sang pendeta menenangkan degup jantung dan menyejukkan hatiku.
Aku
lega dan tenang—sejenak.
Beberapa detik kemudian aku
tercekat tak kepalang. Sebab,
sesosok makhluk hitam ganjil melongok dari tubuh-tubuh
yang mengelilingiku. Makhluk yang mengejarku barusan di
alam mimpi! Ia menyeringai penuh kemenangan karena telah menemukanku seolah
tadi kami bermain petak umpet. Ingin aku berteriak minta tolong. Namun, pita suaraku tak
berfungsi dan bibirku tak bisa bergerak.
Tak ada sepotong kata pun yang berhasil keluar dari tenggorokanku.
Kuputuskan untuk ikut berdoa di dalam hati,
mengulang-ulang kalimat yang diucapkan pendeta. Pilihan kata-katanya sudah
pasti lebih benar dari doaku barusan. Aku berharap doanya cukup ampuh untuk
membebaskanku dari teror ini. Tapi,
makhluk itu melangkah mendekat seolah tak sedikit pun terganggu oleh
doa-doa yang mengancamnya. Seringainya semakin lebar. Aku menggigil.
Aku tak dapat melawan ketika ia
merenggutku paksa. Mencengkeram leherku seolah aku ayam yang siap dijagal. Semakin kuat
makhluk itu mencekikku, semakin besar keinginanku untuk berteriak, semakin
keras pula si pendeta berdoa, sahut
menyahut dengan doa yang juga mulai diucapkan orang-orang di sekelilingku
dengan suara yang tak kalah kerasnya.
Tapi
tampaknya doa itu tak manjur, sebab aku tetap saja berada di
cengkeraman makhluk hitam ini. Ia membawaku pergi semakin jauh, meninggalkan
dengung doa yang bergemuruh.
Medan,
2017-2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar