![]() | ||
ilustrasi oleh Harian Republika |
ANGIN
BERKABAR HUJAN
Oleh
Dian Nangin
Sepasang tangan
lelaki tua itu berkacak di pinggang. Tangan tersebut berwarna kelam, serupa
malam yang akan segera datang menggantikan petang. Sulur-sulur pembuluh darah
tampak menonjol di balik kulitnya yang penuh kerut, bukti kerja keras yang
masih ia lakoni hingga usia hampir tujuh dekade kini. Baru saja ia selesai
menggali lubang-lubang kecil dan menjatuhkan butir-butir biji kacang panjang ke
dalamnya. Butuh usaha yang sedikit ekstra karena tanah begitu kering dan keras
ketika digali. Sudah cukup lama hujan tidak turun, namun bagaimanapun, mereka
tak bisa berhenti menanam.
Itulah yang ia
lakukan bersama istrinya selama puluhan tahun: mengolah tanah dengan bermandi
peluh dan berhujan air mata. Menghidupi anak-anak mereka dengan bertani—profesi
tanpa pilihan yang diwariskan para pendahulu mereka. Yah, apalah yang bisa
dilakukan orang-orang kampung yang bahkan tak mencicipi bangku pendidikan
setidaknya hingga Sekolah Menengah Pertama itu.
Beragam jenis tanaman telah
melewati proses tumbuh-rawat-panen di tangan mereka. Kadang upaya itu memberi
hasil yang cukup memuaskan, namun tak jarang juga berakhir buruk dan
menyebabkan kerugian—yah, roda kehidupan berputar. Sejak awal, mereka tak
membangun mimpi untuk menjejakkan kaki di puncak kemakmuran