![]() | ||
ilustrasi oleh Harian Republika |
ANGIN
BERKABAR HUJAN
Oleh
Dian Nangin
Sepasang tangan
lelaki tua itu berkacak di pinggang. Tangan tersebut berwarna kelam, serupa
malam yang akan segera datang menggantikan petang. Sulur-sulur pembuluh darah
tampak menonjol di balik kulitnya yang penuh kerut, bukti kerja keras yang
masih ia lakoni hingga usia hampir tujuh dekade kini. Baru saja ia selesai
menggali lubang-lubang kecil dan menjatuhkan butir-butir biji kacang panjang ke
dalamnya. Butuh usaha yang sedikit ekstra karena tanah begitu kering dan keras
ketika digali. Sudah cukup lama hujan tidak turun, namun bagaimanapun, mereka
tak bisa berhenti menanam.
Itulah yang ia
lakukan bersama istrinya selama puluhan tahun: mengolah tanah dengan bermandi
peluh dan berhujan air mata. Menghidupi anak-anak mereka dengan bertani—profesi
tanpa pilihan yang diwariskan para pendahulu mereka. Yah, apalah yang bisa
dilakukan orang-orang kampung yang bahkan tak mencicipi bangku pendidikan
setidaknya hingga Sekolah Menengah Pertama itu.
Beragam jenis tanaman telah
melewati proses tumbuh-rawat-panen di tangan mereka. Kadang upaya itu memberi
hasil yang cukup memuaskan, namun tak jarang juga berakhir buruk dan
menyebabkan kerugian—yah, roda kehidupan berputar. Sejak awal, mereka tak
membangun mimpi untuk menjejakkan kaki di puncak kemakmuran
atau memanjat ke
pucuk-pucuk tertinggi kekayaan menurut standar duniawi. Sadar mereka tak akan
mampu, sebab mereka sendiri tengah berjuang keluar dari lubang dalam yang
tengah memerangkap mereka.
Pasangan itu merelakan
bahu-bahu mereka menjadi batu pijakan untuk mengeluarkan anak-anak mereka dari
lubang yang membatasi ruang gerak. Tak mengapa kaki mereka tertanam lebih dalam
karenanya, yang penting para buah hati itu sanggup mereka julang tinggi. Biar
mereka sanggup keluar melihat dunia, mencicipi hiruk pikuknya, dan kemudian
sesekali pulang menjenguk mereka sambil membawa cerita-cerita hebat. Biarlah
mereka menunggu di kampung bertemankan cericit burung, konser katak-katak yang
begitu meriah menjelang hujan, serta gemerisik daun-daun bambu.
Setelah
berjuang bertahun-tahun, pasangan petani tua itu cukup berbangga hati melihat
anak-anak mereguk sukses menurut ukuran mereka: meraih gelar sarjana, memiliki
pekerjaan tetap, serta cukup uang untuk tuntutan kehidupan di ibukota.
Hingga akhirnya tiba waktu
untuk berpisah setelah bertahun-tahun hidup di bawah atap yang sama. Atap yang
telah menyaksikan tangis anak-anak itu kala lahir. Atap yang sama juga
mendengar gelak tawa mereka, pun yang mengetahui semua rahasia juga
perselisihan. Anak-anak yang telah lahirkan-besarkan itu tumbuh dewasa, meraih
cita-cita, pun telah menemukan tambatan hati pula.
Mereka
hanya geleng-geleng kepala ketika menjelang hari pernikahan putra-putrinya,
karena muncul debat panjang hanya karena masalah pilihan gedung resepsi, katering,
juru rias, pakaian pengantin, tim dokumentasi, dan seribu satu urusan lain yang
tak kepalang banyak bila dijabarkan secara mendetail. Problema kekinian, begitu
mereka menyebutnya. Teringat pasangan tua itu pada puluhan tahun silam, ketika
kedua hati mereka menyatu, tak ada kemewahan apapun yang dapat dihidangkan
dalam pesta yang teramat sederhana itu. Bukankah pernikahan pada intinya adalah
tujuannya? Janji sakral dan kesungguhan untuk hidup bersama sampai maut
memisahkan?
Maka,
pasangan orang tua tersebut tak ambil pusing dengan segala kerunyaman debat
tersebut. Menyerahkan sepenuhnya segala keinginan pernikahan impian pada calon-calon
pengantin itu. Biarlah seiring waktu anak-anak muda itu menyadari bahwa
sesungguhnya hal yang mereka ributkan sekarang hanyalah masalah sepele dan
kelak hanya bisa menertawakannya.
Sepeninggal anak-anak,
pasangan tua itu kembali hidup berdua seperti awal mula berkeluarga. Anak-anak
dan para cucu mengolok mereka kembali menjadi pengantin, yah…mereka tak lagi
muda, jadi pengantin tua saja. Olok itu lalu menerbitkan tawa.
Rumah
tak lagi bersih dan tertata, tapi tak mengapa. Diminta pindah ke rumah modern
milik anak-anaknya, mereka enggan. Tak masalah tinggal di rumah buruk itu, yang
penting mereka masih punya tempat untuk berbaring berdua. Masih punya ruang
pribadi untuk malam-malam mereka saling menyentuh. Bukan lagi tentang api gairah
dan selaput yang telah lama koyak, namun hanya demi kehangatan yang tercipta
ketika mereka saling menemukan.
***
Kini
hidup mereka lebih ‘santai’, walau hingga usia senja mereka tetap mengabdikan
diri pada alam. Mengakrabkan diri pada unsur pembentuk raga sendiri. Perjuangan
mereka tinggal sekedar dapat makan tiga kali sehari, minum kopi kala pagi, teh
manis panas pada malam hari, serta sedikit ongkos untuk mengunjungi anak-anaknya
di kota. Tak lupa sejumlah lembar-lembar uang lima ribuan untuk diselipkan di
saku cucu-cucunya untuk membeli permen—kendati orang tua bocah-bocah itu mampu
membeli sepuluh kali lipat dari pemberian tersebut. Anak-anak petani tua
tersebut juga mampu memberi mereka jauh lebih banyak dari hasil mereka
berladang, namun pasangan petani tua itu adalah tipe ayah ibu yang tak ingin
merepotkan anak-anaknya.
“Simpan
saja, simpanlah. Hidup serba tak pasti. Uang itu kelak akan berguna untuk
situasi yang tak terduga,” begitu selalu nasihat pasangan petani tua itu.
Pastilah hidup yang sulit di masa lalu telah mengajari mereka banyak hal,
memberi pengalaman yang terus berkesinambungan pada kehidupan masa kini.
***
Angin
kering berhembus meniup rambut kelabu si lelaki tua. Sore yang gerah, walau di
langit mulai tampak awan mendung bergerak berarak. Sebenarnya musim hujan masih
belum tiba, namun demi melihat gulungan awan hitam itu, tumbuh sejumput asa
dalam hatinya. Persediaan air di dalam tong-tong berkarat dan bak penampungan
yang dangkal milik mereka sudah lama kering akibat kemarau panjang. Parit-parit
pun begitu. Padahal, air kotor bau bacin yang mengalir di parit-parit itu
sangat berguna untuk memberi minum tanaman-tanaman yang didera dahaga.
Namun, warga kampung pun
sudah kehabisan air untuk mencuci dan mandi. Otomatis tak ada lagi yang bisa
dialirkan ke dalam selokan. Kalaupun ada sedikit air yang mengaliri
parit-parit, riak lemahnya tak sampai di ladang si petani tua, sebab
petani-petani sebelum ladangnya telah lebih dulu mengurasnya habis.
Si lelaki tua melepas kaus
bututnya untuk mengurangi gerah. Hadirlah sebuah tubuh ringkih. Tak terlihat
lapisan lemak di bagian manapun. Rusuk-rusuknya terlihat menonjol, tampak
seperti jemari tangan tengah mencengkeram dada tipis dan perut kempis itu. Mata
lamurnya memandang ke seantero lahan yang baru selesai dikerjakan. Tampak
gundukan-gundukan kecil menandakan tempat biji-biji kacang panjang itu dikubur.
Ia membayangkan dalam beberapa hari akan muncul pucuk-pucuk kecil berwarna
hijau dari puncak gundukan itu, pucuk yang kelak tumbuh tinggi meliliti tiang-tiang
penyangganya.
“Semoga
angin ini membawa kabar bahwa hujan akan segera turun,” katanya penuh harap.
Kalaupun hujan masih enggan merinai, semoga semesta masih berkenan mengguyurkan
embun-embun agar biji-biji yang baru ditanam itu sudi mengeluarkan tunasnya.
Ia
menoleh ke arah selatan ladang. Tampak istrinya sibuk membersihkan gundukan
lain yang ditanami wortel—sesungguhnya tak banyak gulma di sana, sebab gulma
pun enggan tumbuh di musim kemarau. Sesekali perempuan tua itu membelai satu
dua batang wortel yang tampak lesu karena sudah lama tak berjumpa dengan air.
Ia mengusap-usap helai-helai daunnya penuh sayang, seolah tengah membujuk agar
mereka tidak menyerah pada kehidupan kendati cuaca sedang tidak bersahabat.
Pada tanaman-tanaman itu, bertahun-tahun, mereka menunjukkan cinta penuh dedikasi.
Medan,
2018-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar