![]() |
dimuat di Harian Medan Pos |
JASAD MIMPI SANG PENGARANG
Oleh
Dian Nangin
Ketika
wajah langit mulai berselaput mendung, aku melakukan sebuah prosesi menuju pemakaman. Tak ada lagu-lagu penghiburan,
ayat-ayat yang melipur lara,
sekeranjang bunga-bunga,
atau tepuk di bahu serta peluk singkat sarat empati. Hanya ada jasad ratusan file cerita pendek yang berada dalam belasan folder. Folder itu lalu menjelma peti yang akan menemaninya ke
tempat peristirahatan terakhir.
Kutatap
layar putih di hadapanku dengan folder-folder
berbaris rapi, dengan nama-nama yang akrab. Tidak
pernah ada perpisahan yang mudah. Walau perpisahan ini sebenarnya telah
membayangi dari jauh-jauh hari dan aku—sedikit banyak—telah berlatih mempersiapkan diri, namun tak pernah ada
kesiapan yang sempurna. Kuhalau titik-titik
air yang mulai menggenangi pelupuk mata.
Sebentar,
aku harus menarik nafas! Aku ingin mengenang dengan tenang waktu yang telah
kulewatkan bersama impian
ini hingga kini tiba saat bagiku untuk melepasnya. Ah, terlalu lama! Terlalu lama
aku memelihara impian ini
hingga tak lagi kuingat kapan ia tumbuh. Tak terhitung sudah berapa kali aku dan
ilham-ilham di kepalaku melakukan persetubuhan hingga
melahirkan karya yang (tidak selalu) mengagumkan.
Tidak
mudah untuk menjadi seorang pengarang. Dalam tubuhku tersimpan bibit-bibit kegelisahan yang perlahan tumbuh meraksasa, menggerogoti
jiwa. Pikiran
selalu menaruh curiga pada mimpi yang singgah dalam tidur. Ada banyak hal yang
seenaknya menerobos masuk ke dalam tubuh
dan hati tanpa bisa diabaikan dengan mudah serupa mengacuhkan angin yang meniup kulit.
Detak
jantung bukan sekedar pertanda masih
berlangsungnya kehidupan—tak cuma berarti bahwa darah masih dipompa dengan baik
mengaliri pembuluh-pembuluh yang tumbuh berkejaran dalam
tubuh. Bagiku, detak jantung juga merupakan sebuah isyarat ambigu
tentang sesuatu, yang
lebih sering mengganggu ketimbang memberi ketenangan. Bahkan, dalam lelap aku
gugup. Kecemasan-kecemasan kadang menyerang, lalu enyah
tanpa disadari.
“Pernahkah kau
terbangun subuh-subuh dengan perasaan tumpul yang menggelisahkan, tanpa kau
tahu bahwa di sana, di seberang laut
dimana kampungmu berada, telunjuk
kiri ibumu baru saja tersayat pisau saat sedang mengiris
bawang?”
Kekasihku
geleng-geleng kepala ketika suatu kali
kusampaikan hal-hal yang membuat kepalaku penat. Namun gelengannya itu bukan
sebagai jawaban atas pertanyaanku, tapi karena murni tidak mengerti atas
kicauanku.
“Dan
kau memendam gundah karena tak menemukan penjelasan apa-apa, hingga kau
menganggapnya tak lebih dari firasat tak berdasar namun menyita energimu.
Lagipula ibumu yang tinggal di
seberang gunung itu tak akan pernah memberitahu perihal kecelakaan-kecelakaan
kecil yang ia alami. Tapi tetap saja perasaan tak nyaman itu menderamu
sepanjang hari,” jelasku panjang lebar.
“Kau
terlalu berlebihan, terlalu sering bermain-main dengan pikiran dan perasaan
sendiri,” lelaki itu
berujar, tak habis pikir dengan perangaiku.
“Apakah
salahku terjebak dalam pikiran yang seperti ini? Apa kau pikir aku ingin? Aku
tak memilih, namun terpilih.”
Pernahkah
kau berpikir bagaimana sebuah impian hinggap dan mengendap dalam jiwamu? Kau
bilang itu bakat, tapi pernahkah kau menelusuri bagaimana bakat itu
terperangkap dalammu?
“Kalau
begitu abaikan saja.”
“Tidak
semudah itu.”
Kekasihku
garuk-garuk kepala. Rautnya tampak ruwet. “Aku tidak
paham,” katanya.
“Kadang
kau tidak dituntut untuk paham.
Tapi, dengar! Jangan kau mencintai fisikku saja,
tapi pikiran-pikiranku juga,” ujarku demi mengingat alasannya memintaku menjadi
perempuannya. Tubuh molek dan paras indah
bisa pudar seiring waktu berputar, namun mencintai seluruh elemen kehidupan
seseorang akan menjadikan sebuah hubungan lebih awet—ah, aku tak bermaksud
berbijak ria.
“Kita tidak harus
selalu sepakat dan sepaham, tapi cintailah pikiran-pikiranku juga,” jelasku sekali lagi.
“Ternyata
kau perempuan yang rumit,” tuturnya, baru sadar dan entah ia menyesal. Kami
baru seminggu menjalin cinta setelah sebulan berkenalan dan
lalu berteman. Sebenarnya,
bagiku itu waktu yang cukup
singkat untuk sebuah penjajakan sebelum memutuskan untuk berpacaran, apalagi menuju
langkah lebih lanjut. Namun, kepalaku
mengangguk begitu saja ketika ia mengucapkan barisan kata meminta hatiku.
Kekasihku
cuma bertahan dua minggu lagi setelah perdebatan tersebut. Setelah itu ia
pergi, tak lagi
kembali. Beberapa hari kemudian kulihat ia asyik bercumbu di taman kota dengan
seorang perempuan manis yang tak henti bergelayut padanya. Perempuan manis berwajah
penuh rias dan tampak tak ada yang membebani pikirannya—kecuali barangkali
tentang pakaian model apa yang akan ia kenakan esok hari dan riasan seperti apa
yang akan ia pakai. Bukan karena ia tak punya rekomendasi, tapi karena terlalu
banyak opsi yang memenuhi kepalanya.
Apa
aku marah? Tidak! Cemburu? Mmm, barangkali sedikit. Jujur, aku juga tak
terlalu mengharapkan cintanya. Ia hanya kujadikan selingan kala jenuh mengarang. Dendam? Tidak! Memendam dendam, kata ibuku, seperti meminum
segelas racun dengan harapan membunuh orang lain.*
Yang
tersisa padaku adalah rasa putus asa, tapi bukan karena putus cinta. Bertahun-tahun
aku menggeluti dunia mengarang, namun baru sedikit yang kuperoleh. Lebih banyak
pahit dan getirnya, yang
berupa tusukan-tusukan perasaan yang menyesakkan.
Aku ingin mengeluarkan kegilaan ini.
Esensi karya, suara jiwa, atau sekedar jeritan tak bermakna, aku tak peduli segala. Aku
hanya ingin lega.
Barangkali, beginikah derita para
pengarang? Ah, pantaskah kulabeli diri
sebagai pengarang hanya karena segelintir karya?
“Mau
bagaimana masa depanmu nanti? Susunlah sebuah rencana yang matang dan pasti.
Tak selamanya kau hidup sendiri. Dan, tak selamanya kau bisa bergantung padaku,”
begitu ibuku berkata baru-baru ini. Aku tahu apa yang menjadi sasarannya. Sejak
awal, pekerjaan ini bukanlah sebuah ‘pekerjaan’ baginya.
Bayangan
hidup tanpa ibu, sementara aku masih terombang-ambing dalam ketidakpastian
membuat hatiku merasa ngilu. Tiba-tiba, aku seperti tersadar dari sebuah
amnesia akut. Aku tahu ada banyak orang yang berada dalam satu arah denganku,
menapaki jalur yang sama, tersandung-sandung, sudah terjatuh berkali-kali,
namun masih terus melangkah ke depan. Kali ini ingin kubungkukkan hormatku pada
mereka, lalu berbelok ke arah persimpangan lain.
Aku
menyerah.
***
Selaput
mendung di langit sudah mulai merinaikan gerimis ketika aku menegakkan punggung. Mereka tampak menari-nari di luar jendela kaca. Aku
menabahkan diri. Serupa menghadapi sebuah pemakaman, semesta seolah ikut
menangis. Kusemayamkan jasad mimpi-mimpi
itu dalam recycle bin. Di sanalah segala tulisan yang pernah kuhasilkan
teronggok, perlahan menumpuk sembari aku menyisir folder-folder lain—aku tak ingin ada yang tertinggal. Kutatap
mereka untuk kali terakhir sebelum melenyapkan segalanya hingga tak ada yang
tersisa. Kuenyahkan jejak-jejaknya hingga tak akan kutemukan lagi kemanapun aku
mencari. Tak ingin aku bersentimental ria bila suatu hari
secara tak sengaja kutemukan sisa karya tak bermakna dan meratapinya.
Aku
akan lahir baru. Orang-orang bilang pengarang hidup dalam dunia semu, maka kini
aku kembali. Kujejakkan kaki di dunia nyata. Semoga angan yang kubangun
berikutnya tak sekedar fiktif belaka. Cukup sudah bertahun-tahun aku berkubang fantasi.
Kali ini aku akan benar-benar belajar mengacuhkan segala gelisah. Tak ingin
lagi aku digerogoti olehnya. Aku memang tak paham bagaimana sebuah bakat bisa
hinggap dan tak tahu bagaimana impian tercipta, atau hubungan keduanya. Atau,
adakah antara bakat dan impian tak punya korelasi?
Ah, selamat tinggal,
mimpi! Aku menepuk-nepuk tangan, mengenyahkan debu. Kubuka sebuah lembar kosong dan mengetikkan surat lamaran kerja.
Medan,
2017-2018
Catatan:
*Petikan puisi M. Aan Mansyur dengan
judul Melihat Peta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar