Sewaktu
SMA, aku satu sekolah dengan seorang tetanggaku (cowok), dan sebenarnya kami
masih bertalian keluarga, tapi akan sangat rumit bagaimana menjelaskannya.
Intinya, kami masih ada hubungan saudara. Begitulah.
Dulu semasa
SMA, aku selalu direpotkan olehnya. Bukan karena ia selalu menyontek padaku,
atau suka meminjam uang atau sebagainya. Aku repot karena harus selalu
mengantarkan surat peringatan atau surat panggilan untuk orang tuanya dari
sekolah.
Ia anak
bungsu dan entah kenapa, imej bahwa
anak bungsu pasti manja dan selalu membuat masalah amat melekat padanya. Aku
tak begitu mengerti apa masalahnya, karena aku tak pernah tertarik membaca
surat itu.
Kadang yang
menerima surat itu ibunya, ayahnya, kakaknya, abangnya, pokoknya semua anggota
keluarganya pernah kutemui ketika menyampaikan surat itu. Dan untuk setiap
surat yang datang, yang pergi ke sekolah memenuhi panggilan itu pun
berbeda-beda.
Untung
ketika naik kelas 3, aku berhenti total menjabat sebagai pengantar surat. LOL.
Ketika itu aku berpikir, mungkin dia sudah bertobat dan serius belajar karena
kami akan menghadapi ujian akhir.
***
Suatu sore,
aku pulang kampung karena setelah tamat SMA, aku melanjutkan kuliah di kota
Medan. Begitu memasuki rumah, aku mendapati sebuah surat undangan pernikahan di
atas meja makan. Iseng-iseng, aku membacanya karena penasaran kerabat mana yang
akan menikah.
Dan betapa
terkejutnya bahwa nama mempelai yang tertera di sana adalah si tetangga temanku
satu sekolah yang suka membuat masalah.
Tidak
mengherankan juga ia akan menikah secepat ini. Dulu ia selalu bergonta-ganti
pacar, suka mojok di sana sini, bahkan suatu kali aku memergokinya sedang kissing di salah satu sudut sekolah.
Nama pasangannya juga kukenal baik. Mereka dulu sekelas dan ternyata perempuan
itu yang menjadi kekasih terakhir si tetangga. Dari sepupunya si tetangga aku tahu
bahwa dia MBA, married by accident. Aku
hanya bisa geleng-geleng kepala.
Aku
menanyakan kepada sepupunya itu, kenapa si kawan tersebut bisa berkelakuan seperti
itu. Apa ia tidak khawatir dengan masa depannya sampai, maaf, menghamili anak
orang? Apa ia tidak ingin kuliah? Akan jadi apa kalau hanya tamatan SMA?
Dan
jawabannya sungguh membuatku melongo. Ia memang tidak ada niat kuliah. Kuliah
atau tidak, akan sama saja baginya. Ia mencontohkan abang dan kakaknya yang
rata-rata sarjana, tapi tetap tidak meningkat karirnya. Hidup mereka juga
begitu-begitu saja. Bahkan abangnya yang telah menikah, masih suka meminjam
uang atau beras ke rumah orang tua mereka. Jadi, buat apa kuliah? Katanya
begitu. Lebih enak langsung terjun ke dalam ‘hidup’ yang sesungguhnya, memulai
perjuangan.
Menurutku,
pikirannya sangat simpel, terbatas, dan tidak maju.
***
Dua tahun
berlalu sejak itu, aku mendengar lagi cerita tentangnya dari sepupunya sendiri.
Si kawan
tersebut sekarang punya anak, perempuan kalau tidak salah. Aku sempat bergidik,
membayangkan aku di usia sekarang mempunyai anak. Sungguh aku belum siap.
Sedangkan si kawan itu, sudah punya keluarga. Mereka tinggal di kampung asal
istrinya dan bekerja sebagai petani. Dia sangat menyayangi putrinya, juga
istrinya. Ia bahkan rela tidak membeli rokok, tidak membeli pakaian baru, tidak
makan mewah, demi membeli susu putrinya.
Dan
sekarang, ia sedang mempersiapkan pembangunan rumahnya. Meski tidak terlalu besar, paling tidak rumah itu milik
mereka sendiri, katanya. Gila...! Ini benar-benar gila. Ia baru menikah 2
tahun, dengan profesi petani, sudah punya anak pula, bagaimana bisa membangun
rumah secepat itu? Rasanya hampir mustahil bagiku.
Tapi memang
tidak ada yang tau arti dari apa yang telah tergores di telapak tangan, dan apa
yang telah digariskan Tuhan. Bisa jadi hasil ladangnya melimpah, berkat usaha
keras dan kegigihannya. Rejeki bisa mengalir dari mana saja.
Salut. Aku
benar-benar salut mendengarnya.
Mungkin
dulu orang tuanya suka dongkol melihat kelakuan si bungsu itu, keluarga besar kesal
karena tingkahnya. Tapi bisa kupastikan kalau si kawan yang dulu badung itu
sekarang cukup membanggakan.
***
Mendengar
kisah si kawan itu, aku tiba-tiba merasa kalah. Aku merasa kalah bukan karena
ia telah menikah, telah punya keluarga dan anak sementara aku belum. Aku merasa
kalah karena ia lebih dulu berhasil mewujudkan impiannya. Misi hidupnya sejauh
ini berhasil, meski cita-citanya sangat sederhana. Paling tidak itu baik
untuknya dan membuat hidupnya lebih berkualitas serta berarti. Sementara aku
masih sibuk ini itu, masih sibuk dengan pergaulan yang kadang sebenarnya kurang
penting, sibuk kuliah demi satu cita, dan masih suka membuang waktu.
Hidup ini
adalah pilihan, kan? Pilihan yang bebas dengan konsekuensinya masing-masing. Si
kawan itu telah menentukan pilihannya sendiri, dan ia menjalaninya,
menikmatinya.
Dan untuk
kamu, siapapun itu, tentukanlah pilihan yang tepat, dan selamat menjalaninya... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar