Well, ada sedikit kesalahan penulisan nama oleh pihak Flores Sastra. Saya berasa jadi jiwa yang melayang-layang, hoho...
Selamat membaca, kawan ^-^
NYAWA SEMATA WAYANG
Oleh Dian Nangin
Meski sewaktu
kanak-kanak dulu aku tak paham apa arti kematian, namun kukira aku telah cukup
akrab dengannya.
Pertama kali berhadapan
dengan yang namanya kematian adalah ketika nenek berpulang, menyusul kakek yang
tak pernah kukenal sebab ia telah tiada bahkan ketika ibuku masih kecil. Suatu
petang jelang malam, perempuan tua itu dibawa ke rumah sakit dan tidak kunjung
kembali ketika esok hari aku pergi ke sekolah—aku masih kelas 3 SD waktu itu.
Sepulang sekolah, kulihat sebuah bendera merah terpancang di depan rumah.
Orang-orang berpakaian hitam dan bermata sembab berlalu lalang.
Aku yang belum mengerti
apa itu duka hanya duduk di tepi peti mati, melongok ke dalamnya dan memandangi
seraut wajah keriput yang damai. Kedua tangan berkulit penuh kerut yang dulu
sering kupuntir-puntir terlipat di atas perut. Di mataku, nenek tampak hanya
sedang tidur pulas. Aku cuma mengernyit melihat orang-orang menangis begitu
keras. Meski sesekali pelayat mendekapku dengan wajah bersimbah air mata, aku
tak tahu harus bereaksi apa selain balas memeluk dengan raut datar.
Setelah nenek dikebumikan
dan di hari-hari berikutnya kemudian baru aku paham bahwa bila seseorang mati,
berarti ia takkan bisa ditemui lagi. Tak peduli kemana kau mencari dan seberapa
lama kau menunggu dia kembali. Raga tempatnya menumpang hidup telah kembali ke
tanah dan satu-satunya nyawa yang dititipkan padanya sudah harus kembali pada
Sang Pencipta. Dua komposisi inti kehidupan yang pada akhirnya berpisah ke
berlawanan arah.
Beberapa tahun kemudian,
seorang tetangga yang kupanggil paman tutup usia. Anak-anaknya yang sedang
menempuh pendidikan di pulau seberang diminta pulang. Ketika tiba di rumah,
tangis mereka melengking demi melihat sesosok jasad kaku yang telah menunggu.
Lalu tubuh-tubuh itu ambruk tak sadarkan diri, tak sanggup dihantam pilu. Aku
menyaksikan semua adegan itu dengan mulut terbungkam bisu.