![]() |
Ilustrasi oleh Sumut Pos |
FRAGMEN HATI
Oleh Dian Nangin
Pagi
ini aku terbangun ketika tiba-tiba pendengaranku sudah dipenuhi berbagai suara.
Sebagian mendekat, terdengar kencang. Setelah itu menjauh, sayup-sayup
menghilang. Aneka bebunyian itu berupa denting mangkuk yang terus-menerus
dipukul dengan sendok oleh penjual bubur, teriakan penjaja kue keliling, atau
seruan lantang tukang ikan yang memancing para ibu untuk keluar rumah.
Satu yang tak
ketinggalan; kokok ayam, si alarm alam yang berbunyi merdu. Aku rindu kokok
ayam di pagi hari. Selama ini suara itu alpa dari telingaku karena komplek kos
ketika kuliah dulu cukup sulit menemukan ayam, kecuali yang sudah digoreng
dengan tepung, berkulit renyah dan mudah ditemukan di restoran fastfood—yang sudah pasti tak bisa
berbunyi ‘kukuruyuk’ lagi.
Dingin. Dan, kokok
ayam. Itu hanya berarti satu hal; aku sudah berada di rumah sekarang. Rumah ibu,
tepatnya, di desa kecil tempatku lahir dan besar. Baru kemarin malam aku tiba,
membawa ijazah sarjana dan berkoper-koper barang. Ah, Ibu. Aku kembali memasang
telinga. Denting piring atau sendok terdengar beradu di lantai bawah. Perempuan
itu pasti sudah sibuk sekarang.
Ibu, sosok yang sejak
delapan tahun silam juga merangkap peran sebagai bapak. Orang tua tunggal
dengan peran ganda. Bapak yang seorang polisi meninggalkanku dengan ibu beserta
dua adik laki-laki, lalu pergi mencari kebahagiaannya sendiri. Hal itu
membuatku menyadari satu hal bahwa selama ini ia tidak bahagia bersama ibu,
bersama kami.
Sepeninggal bapak, ibu
membanting tulang demi menghidupi tiga anaknya, sekalipun dana sokongan dari
bapak masih mengalir. Ibu membanting tulang dalam arti yang sebenar-benarnya.
Tanpa membanting tulang, mustahil aku dapat mencecap bangku kuliah hingga
meraih gelar sarjana, berbarengan dengan salah satu adikku yang kini juga
sedang kuliah semester keduanya.
Sebelum menikah, ibu
bekerja sebagai seorang perawat yang cekatan. Namun, setelah menikah, perempuan
itu melepas pekerjaannya dan tinggal di rumah. Mendedikasikan diri sepenuhnya
untuk keluarga. Ia kini kembali ke profesinya setelah berpisah dengan bapak. Di
sela-sela waktu kosong ia masih sempat mengurus sepetak ladang yang diwariskan
kakek padanya. Meski ia membayar orang untuk menggarap ladang itu, ia masih
turun tangan dan bekerja bagai petani pada umumnya.
“Helenaaa...”
Aku kembali membuka
mata yang tak sadar kembali jatuh dalam kantuk ketika seruan ibu terdengar,
disusul bunyi langkah menaiki tangga. Tak lama kemudian pintu kamar sudah terbuka
lebar. Ibu muncul di baliknya.
“Bukannya hari ini kamu
langsung ke kantor?” ia menyingkap tirai dan mendorong jendela hingga membuka.
Terasa udara dingin menyerbu masuk.
“Mulai senin nanti, Bu.
Lagipula akhir pekan begini, mana ada kantor yang buka,” sahutku sambil
menguap.
Ibu adalah orang yang
paling bersemangat ketika kukabari bahwa aku sudah diterima bekerja di sebuah
bank setelah magang beberapa bulan, hingga ia tak sadar sekarang hari sabtu.
Dan beruntungnya lagi, kantor pusat menempatkanku di kantor cabang yang tak
begitu jauh dari tempat tinggal kami. Aku senang bisa kembali berkumpul dengan
orang-orang yang kusayang.
“Ya sudah. Ibu mau ke
ladang. Kalau nanti kamu mau keluar, kabari ibu,” katanya sambil bangkit
berdiri.
Angin sangat tenang
pagi ini. Matahari perlahan muncul di ufuk timur sana. Cahayanya yang cemerlang
terasa hangat. Aku turun ke dapur sambil mengucek mata. Sudah sepi. Memang,
rumah lebih sering sepi belakangan ini. Aku menghabiskan empat tahun terakhir
untuk kuliah di ibukota, disusul adikku Gema tiga tahun kemudian, meninggalkan
ibu berdua dengan si bungsu Jopi. Ibu setiap hari sibuk dengan pekerjaannya.
Jopi masih SMA yang sebagian besar waktunya disita oleh kegiatan sekolah.
Alam bahkan belum
seutuhnya terjaga, tapi ibu sudah berangkat ke ladang sebelum menjalani shift malam nanti. Mungkin ada beberapa
pekerjaan di ladang yang tak dapat ditunda. Lelahku lenyap dan tubuh kembali
berenergi setelah sarapan. Namun tak ada kegiatan berarti yang dapat kulakukan,
kecuali menyiram krisan-krisan putih di pekarangan dan pekerjaan itu hanya
makan waktu beberapa menit. Ibu tak pernah membebaniku dengan pekerjaan berat
apalagi yang berurusan dengan mencari nafkah. Ia bahkan melarangku bekerja di ladang,
hanya cukup dengan tugas rumah dan belajar yang rajin. Kini semuanya telah
kutunaikan.
Aku ingin mulai
membantu ibu semampuku dan aku bisa mulai hari ini. Dengan bersepeda menyusuri
alam dan ditemani angin yang bertiup sepoi, kususul ibu ke ladang. Kutemukan ia
sedang berbincang dengan beberapa pekerja ketika aku tiba.
“Oh, ke ladang juga,
Na? Ibu pikir kamu akan keluar, entah kemana.”
Aku mengernyit,
menyahut jahil. “Masih siang, Bu. Kalau mau keluar, ya, nanti malam, dong.”
Ibu mengangkat wajah, antusias.
“ Dengan siapa? Kenapa tidak kenalkan pada ibu?”
Kusebutkan nama sahabat
karibku yang telah lebih dulu pulang ke kota ini beberapa bulan mendahuluiku. Antusias
di wajah ibu sontak padam. “Oh, Ibu kira dengan siapa...”
Aku tertawa, namun
reaksi ibu tadi sedikit mengusikku. Apa ibu memang benar-benar berharap aku
akan keluar malam ini bersama seorang laki-laki?
Aku mengekori
langkahnya menuju ujung ladang, melewati beragam tanaman hijau yang menyegarkan
mata. Aku mengambil tempat di sisi ibu yang telah berjongkok dan dengan
dinaungi satu payung untuk berdua, kami mulai mencabuti rerumputan yang
menyesaki tanaman kubis yang masih kecil-kecil.
“Bertemanlah dengan lelaki baik-baik, ya, Na.
Kenali dulu dia secara mendalam sebelum melangkah lebih jauh. Supaya tidak menyesal
nanti di kemudian hari,” ujar ibu membuka percakapan, seolah ingin melanjutkan
topik di awal.
Aku ingin berkomentar
iseng. Namun, ada keseriusan yang kutangkap dalam nada bicara ibu. Kami tak banyak
membicarakan romansa sebelumnya. Sejak perpisahannya dengan bapak, aku berikrar
dalam hati bahwa fokusku adalah pendidikan, lalu kebahagiaan ibu. Meski begitu,
aku juga tak menampik bahwa hati ini berharap ada cinta yang manis akan menghampiri
suatu hari nanti.
Di sela-sela kecekatan
tangannya mencabuti rumput, ibu memandangku sekilas. “Tidak terasa, anak ibu
sudah dewasa sekarang. Mungkin sebentar lagi juga pergi menikah, membangun
keluarga sendiri, meninggalkan ibu.”
Dalam benakku yang
masih menapaki usia dua puluhan, apa yang diutarakan ibu terasa masih jauh.
Menikah muda bukan bagian dari daftar cita-citaku. Aku tidak terlalu terobsesi membangun hubungan,
setidaknya untuk saat ini. Ketika berumur belasan, aku dengan santai menonton
teman-temanku jatuh hati, pacaran, patah hati, lalu jatuh hati lagi. Meski
demikian, aku sebenarnya belajar banyak. Terutama dari kisah romansa ibu, yang
sepanjang perjalanan hatinya hanya mengenal satu cinta.
“Ibu sangat mencintai
bapak...”
Aku terpekur, diam
mendengarkan alur pembicaraan kami yang mendadak berbelok.
“....dulu. Ya, dulu ibu
sangat sayang sama bapak.”
Kupandang wajah ibu.
Muram, menyimpan sejuta kisah yang sepertinya akan ia tumpahkan sebentar lagi.
Aku memilih menjadi pendengar yang baik dan menahan semua pertanyaan yang kini
muncul satu persatu.
“Apa
kamu tahu, dulu, Ibulah yang pertama kali menyatakan cinta pada Bapak?”
“Oh,
ya?” Menarik sekali. Baru sekarang aku mendengar cerita ini, karena baru
sekarang pula ibu mengakuinya. Sekilas ibu tersenyum. Pasti teringat kembali
momen-momen manisnya ketika muda dulu bersama bapak.
“Waktu
itu kami kelas tiga SMA. Sebenarnya ibu sudah suka padanya sejak kelas dua.
Kami dekat. Ibu sudah berusaha menunjukkan sinyal padanya.”
Aku
tersenyum sendiri, membayangkan ibu dan bapak melakonkan cerita itu dengan
busana putih abu-abu, bertahun-tahun silam.
“Ketika
acara perpisahan, Ibu memberanikan diri mengatakan pada Bapak, bahwa Ibu sudah
suka padanya sejak lama.”
“Terus?”
Jelas, aku penasaran.
“Bapak
menerima Ibu. Tak ada hal lain yang bisa membuat Ibu sebahagia waktu itu. Bapak
waktu itu ingin jadi polisi. Ibu rela menunggu bertahun-tahun, hingga impiannya
terwujud, hingga akhirnya kami bisa bersama.”
Aku
terdiam, menyimpulkan sendiri bahwa ibu adalah wanita yang setia. Tapi setelah
bertahun-tahun penantian, yang tersisa untuknya sekarang hanyalah kesendirian.
Kesepian. Ditinggal cinta. Dan ia tak pernah memilih untuk menikah lagi.
“Tapi
pada akhirnya, Bapaklah yang tidak mempertahankan Ibu. Tidak ada gunanya kami
hidup berdua di bawah atap yang sama kalau sudah tidak merasa nyaman antara
satu sama lain.”
Aku
kembali sibuk menekuni gulma-gulma, meski pikiranku fokus pada cerita ibu.
“Percuma
Ibu yang terus mengejar Bapak, hidup di belakang bayang-bayangnya. Sementara Bapak
terus melangkah, menoleh pun tidak barang sedikit. Melelahkan hidup seperti
itu. Malah Ibu lega setelah perpisahan itu. Ibu yakin Bapak juga merasakan hal
yang sama.”
“Bagaimana
bisa Ibu yakin?”
“Coba
kamu bayangkan. Seperti dua anjing yang kejar-kejaran, yang berlari sama
kencangnya. Yang mana yang tidak merasa capek?”
Pelan
namun pasti, aku mengangguk. Ibu benar. Keduanya pasti merasa lelah, yang mengejar
maupun yang dikejar. Memilih melepaskan dan membiarkan bapak terus melangkah
telah membuatnya lega, sekalipun aku yakin hati ibu pasti perih ketika
merelakan orang yang ia cintai pergi.
Aku
ingat. Begitu bapak hengkang dari rumah, ibu segera menangkupkan foto-foto
bapak. Lalu Ibu menyediakan satu hari khusus untuk membenahi rumah, membuang
barang-barangnya yang sengaja ia tinggal (atau mungkin tidak ia perlukan lagi),
hingga mengeksekusi tanaman dan bunga-bunga yang ditanam bapak di halaman
depan, meski beberapa mawar dan bougenvil sedang mekar saat itu. Ia layaknya
seorang perempuan yang awalnya jatuh cinta setengah mati, namun kemudian
berubah jadi pembenci sepenuh hati.
Banyak tanya yang
muncul tanpa pernah kutemukan jawabnya. Tapi seiring berlalunya waktu, satu
persatu kebenaran menguak tepat pada waktunya nanti.
“Lalu, apa Ibu sudah
memaafkan Bapak?”
Ibu hanya mendehem,
lalu terdiam. Lama. Tampak matanya berkaca-kaca, membuatku menyesal telah
bertanya. “Ibu sudah maafkan, tapi tak akan pernah bisa melupakan.”
Sungguh sedih ketika
mendengar kalimat itu. Dalam hati aku berjanji, akan mempersembahkan
kebahagiaan berlipat bagi ibu untuk membayar masa lalu hatinya yang begitu
pedih. Entah dengan prestasi kerjaku, perilaku baik, atau dengan kehidupan masa
depan yang tak akan mengecewakannya.
“Sudah mau sore.
Pulang, yuk,” Ibu menyela monolog dalam hatiku. Kami memandang hasil kerja yang
cukup luas meski diselingi dengan kisah-kisah yang telah silam. Aku tersenyum
puas telah membantu meringankan pekerjaan ibu, juga menjadi tempat curahan
hatinya.
Ibu menolak ketika aku
ingin memboncengnya, namun aku memaksa dengan mengklaim bahwa aku cukup kuat.
Akhirnya ibu mengalah dan duduk di belakang. Tangannya melingkari pinggangku. Mentari
jelang petang bersinar cerah dan hangat, memantulkan jingga keemasan di langit
barat, mengiringi putaran roda sepeda yang kukayuh penuh tenaga.
Medan, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar