Suatu tengah hari, pertengahan Januari 2017, datanglah seorang petugas pos mengetuk pintu rumah saya. Wajahnya tampak lega begitu saya membuka pintu. Katanya, dia sudah beberapa kali datang dan tak ada seorang pun di rumah untuk menerima sesuatu yang dia bawa untuk saya. Tahu-tahu beliau menyodorkan selembar kertas sambil bertanya apa saya ingat sebuah media bernama Harian Minggu Pagi yang ternyata mengirimi saya sejumlah uang. Ternyata itu adalah honor atas sebuah cerpen saya yang saya sendiri tidak tahu kapan pemuatannya. Keterangan di atas kertas memang benar nama dan alamat saya. Nominalnya tidak banyak memang, tapi tentu menerbitkan rasa senang dan bahagia. Setelah saya lihat arsip di laptop maupun catatan pengiriman cerpen saya, memang ada sebuah cerpen genre remaja yang saya kirimkan ke media tersebut pada awal November 2016.
Saya sedikit kesulitan menelusuri e-paper Harian Minggu Pagi (atau memang tidak ada, ya?). Saya hanya menemukan sebuah dokumentasi dalam sebuah blog lain yang setiap minggunya menginformasikan tulisan-tulisan yang dimuat di dalam kolom sastra dari berbagai koran di Indonesia.
Bila teman-teman pembaca sekalian yang berlangganan atau biasa membaca Harian Minggu Pagi, mohon infonya, ya, bila di waktu-waktu mendatang cerpen saya kembali dimuat di media tersebut. Terima kasih. Selamat membaca.
dok. pribadi |
RUMAH
UFUK TIMUR
Oleh
Dian Nangin
“Di rumah sakit jiwa? Ada-ada
aja kamu, Mia.”
Seperti yang kuduga,
Yuda pasti menolak. Tapi aku akan tetap membujuk sampai ia berubah pikiran.
Kukejar langkahnya yang terburu menuju ruang musik di ujung lorong sekolah.
“You
tell me that you will give your best performance
tanpa mempersoalkan siapa yang nonton atau sekecil apapun panggungnya.”
Yuda tiba-tiba menghentikan
langkah.
Aku sontak terdiam satu meter di belakangnya. Ia membisu sejenak demi
mendengar kalimat yang menjadi ikrarnya sewaktu ia bersikukuh ingin jadi musisi
dulu. Ia memulai cita-citanya itu dengan membentuk sebuah band di sekolah.
Kalimat barusan adalah salah satu tekad dalam mengarungi impiannya kelak, yang
kuharap bisa menggugah hatinya sekarang. Yuda berbalik hingga kini kami
berhadapan.
“Tapi mereka itu orang
yang udah enggak waras, Mia.”
“Iya, aku tau,”
sahutku. “Tapi mereka juga manusia.”
“Apa mereka bakalan
ngerti musik?”
“Bukannya kamu bilang musik itu universal? You said music can heal pain, even change people.”
Bukan hanya Yuda, aku pun
sebenarnya meyakini kebenaran kalimat itu. Aku yang selama ini acuh tak acuh
terhadap musik, mulai aware sejak
dekat dengan Yuda. Hingga akhirnya waktu membawaku ke sebuah pengalaman yang
tak tak pernah terjadi sebelumnya. Wajah Yuda sedikit melunak sekarang.
“Aku pikirin dulu, ya,” dia mengacak lembut
rambutku, lalu melanjutkan langkah. Namun aku tahu ia baru saja berkata ya.
***
Awalnya,
tidak mudah menjadi putri seorang dokter yang bertugas di rumah sakit jiwa.
Sekalipun menyandang titel dokter yang terdengar megah dan diimpikan banyak
orang, namun nyatanya tempat ayah mengabdi membuat gelar itu seakan berbeda
dengan dokter-dokter yang bekerja di tempat lain yang terdengar lebih normal
seperti rumah sakit umum, swasta, atau klinik. Yah, setidaknya itulah yang
kualami.
Sewaktu SD dan SMP aku
seringkali diantar dengan ambulan atau mobil dinas rumah sakit jiwa hingga aku
jadi objek ledekan teman-teman. Tapi ayah selalu bilang bahwa harusnya aku
bersyukur masih bisa sekolah, masih punya jiwa dan akal yang sehat. Ibu juga
berkali-kali menekankan hal itu. Hingga akhirnya aku tidak lagi ambil pusing,
berpikir bahwa teman-teman yang tulus akan datang tanpa mempermasalahkan latar
belakangku, lingkunganku, transportasi yang mengantarku ke sekolah, dan
sebagainya.
Sejak kecil, aku
terbiasa mengunjungi tempat ayah bertugas, meski saat itu pergerakanku terbatas
dan diawasi. Namanya pun aku suka; Rumah Ufuk Timur, seolah menggambarkan
harapan sebagaimana matahari yang pasti selalu terbit dari timur. Saking
seringnya ke sana, aku jadi terbiasa dengan tingkah aneh seperti tawa mendadak
tanpa ada yang lucu, orang-orang dewasa yang bermain boneka, mengoceh sendiri,
melongo sepanjang hari, atau saling jambak rambut hingga tercetus pertengkaran
hebat.
Ketika menginjak SMA,
teman-teman mulai menerimaku karena dekat dengan Yuda. Pemuda itu adalah satu
dari segelintir orang yang tidak menganggapku aneh, yang tidak risih dengan
postingan-postingan media sosialku yang kebanyakan aktivitas di Rumah Ufuk
Timur. Darinya pula aku belajar memetik gitar. Sedikit demi sedikit hingga aku
akhirnya berhasil membawakan beberapa lagu sederhana. Aku sangat bangga meski
masih tertinggal jauh dari Yuda.
Suatu
kali, aku menghabiskan waktu di Rumah Ufuk Timur, sementara ayah pergi keluar
untuk beberapa urusan. Sambil nangkring di koridor yang sepi, aku
mengeksplorasi lagu-lagu yang bisa kubawakan berbekal beberapa kunci yang
simpel. Dengan gitar yang selalu kubawa, aku asyik bereksperimen mumpung tak
ada yang mendengar dan mengeluh ribut. Lama kemudian baru aku tersadar bahwa
ada sepasang mata yang memperhatikanku dari balik jeruji jendela sebuah ruangan
yang semula kukira tak berpenghuni. Seorang perempuan muda berambut pendek
dengan raut seakan sedang memanggul beban berat.
“Hai,”
sapaku sambil melambaikan tangan. Rasanya sedikit aneh diperhatikan oleh orang
yang pemikirannya kutahu tidak seperti orang normal kebanyakan. Perempuan itu
tak menunjukkan reaksi, hanya terus memandang.
Ketika
aku memberanikan diri mendekatinya, ia berbalik cepat dan meninggalkan jendela.
Sejenak aku tak mempercayai penglihatanku ketika ia berbalik tadi aku melihat
sepintas matanya, dan dia....menangis! Aku hanya terdiam lalu melangkah mundur,
kembali ke tempat duduk sambil menerka-nerka apa yang tengah ia rasakan. Aku
tahu kemampuan bernyanyi dan petikan gitarku tidaklah begitu hebat hingga bisa
menyentuh dan membuat yang mendengar menitikkan air mata. Dan, memang barusan
aku menyanyikan lagu mellow tanpa
bermaksud apa-apa, bahkan kondisi hatiku juga tidak sedang galau.
Kuputuskan
untuk menyanyikan beberapa lagu lagi sembari mencuri lihat ke arah jeruji
jendela. Perempuan itu perlahan beringsut kembali mendekati jendela. Kuputuskan
untuk bernyanyi sebaik mungkin. Entah dia terhibur, atau memang sungguh
tersentuh, aku tak tahu. Beberapa menit kemudian aku menyudahi permainanku. Kutinggalkan
koridor sambil sesekali menoleh ke belakang. Perempuan itu berdiri di balik
terali besi, mengiringi langkahku sambil menyeka air matanya.
“Yah,
pasien perempuan yang dikamar 101 kenapa?” tanyaku ketika akhirnya ayah
kembali.
“Mina?
Hmm, dia jadi begitu setelah pulang dari luar negeri. Dia TKW dan sering
diperlakukan dengan buruk. Waktu pulang mentalnya terganggu dan makin parah
sewaktu anaknya bahkan nggak mengenal dan mengakuinya.”
Hatiku
diliputi perasaan antara ngeri dan sedih.
“Memangnya
kenapa?”
“Enggak. Aku cuma
heran, waktu tadi main gitar di koridor atas, ternyata dia mendengarkan dan
terlihat berbeda.”
“Berbeda bagaimana?”
“Dia sedih. Sedih
seperti orang normal.”
“Oh, ya?” Ayah bergumam
sambil terus sibuk dengan lembar-lembar kertas di hadapannya.
“Gimana kalau aku ajak
teman untuk main musik di sini? Bukan yang besar-besaran sih, akustikan aja.
Aku penasaran gimana reaksi pasien-pasien di sini sama musik,” usulku, meski
sebenarnya aku hanya ingin tahu tentang reaksi Mina karena sejauh ini hanya dia
yang pernah mendengarku bermain gitar.
“Boleh,” ayah
mengangguk ringan. Begitulah awal mula aku kekeuh membujuk Yuda agar mau memainkan
beberapa lagu di sana.
***
Yuda melangkahkan
kakinya penuh keraguan. Sekilas ditatapnya plang nama Rumah Ufuk Timur di depan
gerbang, seolah mengantisipasi apa yang akan ia hadapi di dalam sebentar lagi. Aku
maklum karena sebelumnya aku pun seperti itu. Pasien di sini bisa mengamuk
sewaktu-waktu tanpa sebab yang jelas.
Tempat untuk kami
‘manggung’ ternyata sudah disiapkan, meski hanya beberapa bangku, standing microfon rendah serta peralatan
sound system sederhana. Tapi ini
sudah lebih dari cukup.
Ketika kami mulai
bermain, beberapa kepala menoleh ingin tahu. Usai menatap sekian menit,
sebagian membuang wajah dan melakukan aktivitas lain. Mungkin merasa tidak tertarik atau bahkan
tidak paham apa yang sedang kami lakukan.
“Keep going...” bisikku. Ada beberapa mata yang masih menatap.
Setidaknya kami memperoleh atensi meski kami tak dapat menebak apa yang ada di
dalam pikiran mereka. Kulihat Mina memperhatikanku dari balik tiang tak begitu
jauh dari kami.
Kami menyelesaikan lagu
dengan baik. Terdengar gemuruh tepuk tangan yang semuanya berasal dari petugas
dan perawat di sana. Kulihat ayah melongokkan kepala sekilas dari ruangannya
sambil mengacungkan jempol.
Tanpa diduga, Mina
mendatangi kami. Yuda membeku di tempat duduk, tak tahu harus berbuat apa. Seorang
perawat bergegas datang untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi hal yang tidak
diinginkan. Bukan satu dua kali aku melihat pasien di sini bisa bertingkah liar
dan tidak terkontrol pada orang yang sedang berkunjung, sekalipun mereka tidak
diusik. Tapi ternyata Mina berhenti beberapa meter di depan kami, seakan menjaga
jarak. Dia hanya mampu menatap kami beberapa detik, lantas menundukkan kepala.
“Terima kasih,” ucapnya
pelan dengan nada rendah, namun terdengar jelas di telinga. Lalu ia berbalik
dan dengan patuh menuruti perawat yang
membimbingnya kembali ke ruangan.
Yuda terbengong-bengong
sesaat, lalu berbisik sambil menatap punggung Mina menjauh. “Itu ucapan terima
kasih paling tulus yang pernah kudengar.”
“Aku juga,” balasku
takjub.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar