![]() |
Ilustrasi Oleh Renjaya Siahaan |
LILIN
ULANG TAHUN
Oleh
Dian Nangin
Selasar itu dipenuhi
orang-orang yang seakan hidup tanpa beban—apakah itu tampak luarnya saja,
entahlah. Beberapa orang duduk berkelompok, tertawa-tawa dengan benda
elektronik dalam genggaman. Sebagian bernyanyi-nyanyi ditingkahi petikan gitar,
ditimpa cekikikan segerombol gadis yang melintas dengan tampilan modis.
Sementara kau sendiri berjalan tertunduk-tunduk di sisi dekat dinding, melangkah
lebar-lebar, ingin segera menyingkir karena sadar pakaian kumal dan karung kecampangmu
tak cocok membaur di sana.
Orang-orang bilang ini
tempat untuk belajar, serupa sekolah. Batinmu bertanya bagaimana gerangan
bentuk belajar yang dilakukan di sini. Ah, kau hanya masih terlalu belia,
hingga jenjang pendidikan semacam ini belum terjangkau pikiranmu.
Sekolah yang kau kenal
adalah belajar di bawah bangunan yang atapnya hasil sumbangan para dermawan.
Tidak mengharuskan seragam. Bertelanjang kaki pun tak mengapa. Tak ada kekangan
setoran wajib. Pun para pengajarnya hanya mereka yang terlihat biasa dan selalu
silih berganti, bukan guru-guru dengan
setelan mengagumkan yang biasa kau lihat di sekolah-sekolah lain.
setelan mengagumkan yang biasa kau lihat di sekolah-sekolah lain.
Namun, meski nyata-nyata
tak sebanding, kau tetap bersyukur karena sekolahmu juga bisa membuatmu
mengerti angka dan aksara. Setidaknya memampukanmu mengeja sebaris nama yang
tertera di puncak gedung di sekelilingmu, meski dengan lafal terpatah-patah.
Bi-ro Rek-tor.
Au-di-to-ri-um.
Fa-kul-tas Tek-nik.
Kau tak paham arti kata-kata
itu, namun pemandangan lalu lalang orang-orang berpakaian rapi, yang terlihat
sibuk dan penting membuatmu menganggap mereka pastilah sangat hebat.
Sesuatu mengusik
perhatianmu. Tiba-tiba dari arah utara terdengar sorakan meriah. Sekelompok
anak muda, laki-laki perempuan, serentak bernyanyi lagu ulang tahun untuk
seseorang yang berada di tengah-tengah mereka. Kau memandang, iri bercampur
kagum. Perhelatan dadakan di sebuah koridor berlatar taman hijau. Sungguh
indah. Kau berpikir betapa senangnya si gadis berbando kelopak mawar, yang hari
itu berulang tahun entah keberapa.
“Hoi!!”
Kau kaget ketika sebuah
tepukan mendarat di bahumu. Bersiap mengambil ancang-ancang untuk lari
kalau-kalau si penepuk adalah satpam berwajah galak yang tak pernah bermurah
hati untuk mengizinkan orang-orang sepertimu duduk untuk sekedar melepas lelah
di bangunan megah itu.
“Kenapa kagetmu
berlebihan begitu?”
Kau berpaling. Ternyata
bukan satpam, melainkan satu sosok akrab yang kemudian mengambil tempat di sisi
kirimu.
“Nggak kenapa-kenapa.”
“Jangan kebanyakan
melamun. Melamun itu nggak menghasilkan uang.”
“Siapa yang melamun? Aku cuma mau duduk-duduk
sebentar,” kau berkilah.
“Kau
mau ikut ngamen?”
“Duluan saja. Aku menyusul
nanti.”
“Kita jumpa di tempat
biasa, ya,” dia melambai riang sambil beranjak pergi. Kau hanya mengangguk,
lalu mengalihkan lagi perhatianmu. Pesta itu, meski bukan milikmu, terlalu
indah untuk dilewatkan. Balon gas berwarna warni. Tembakan konfeti yang semarak.
Yang berulang tahun
dipakaikan mahkota kertas. Tangan-tangan jahil melumuri wajahnya dengan krim
warna-warni yang dicolek dari kue. Pemborosan!
Kau mencibir. Kau hanya bisa menelan ludah, menyayangkan kelakuan orang-orang
yang menurutmu sudah cukup dewasa itu. Berpikir akan lebih baik krim-krim kue
itu masuk ke perutmu.
Seingatmu, tak pernah
ada benda bernama kue ulang tahun yang singgah di rumahmu. Hanya pernah sebuah
tumpeng sederhana, itupun dibawa ibumu dari rumah nyonya tempatnya biasa
menjadi buruh cuci. Namun, meski kau baru sebelas tahun, sebagai anak tertua
dari empat saudaramu yang lain membuatmu mengalah dan harus puas hanya dengan
beberapa suap nasi dan separuh telur rebus. Tanpa sadar kini berandai-andai,
akan sangat menyenangkan bertukar posisi dengan gadis yang berulang tahun itu sekarang.
Kemeriahan pesta itu
lalu bubar diiringi gelak tawa sarat bahagia. Kau menarik nafas panjang,
menghela segala khayal. Giliranmu mendekat untuk mengutip gelas-gelas plastik.
Menumpuknya dalam karung butut yang kau sandang seharian ini.
Sebelum bangkit, matamu
menubruk sesuatu. Kau membungkuk, memungut barang itu. Batang-batang lilin yang
teronggok begitu saja setelah kuncup-kuncup nyala api pupus ditiup bibir
berwarna merah muda, beberapa saat lalu.
Kau genggam lilin itu
bagai harta karun. Mereka mungkin menganggap benda itu sudah tak ada guna,
sekedar pelengkap pesta ritual bertambahnya usia. Tapi amat bermanfaat untuk
menerangi rumahmu nanti malam. Agar kau bisa belajar barang sebentar.
***
Cukup berdiri di ruang
terbuka tak lebih dari dua menit, maka tak ayal ubun-ubun akan terasa seperti terbakar.
Semua orang sebisa mungkin menghindar dari paparan terik yang bisa menggosongkan
kulit. Namun dia tetap berdiri tegak di sana, di perempatan jalan yang seolah
sudah ditakdirkan menjadi panggung abadinya. Riak peluhnya yang nyaris bagai
jeram di anak sungai belum juga menggoyahkan kakinya.
“Sudah
dapat banyak?” kau bertanya sambil menyeka keringat yang membanjiri kening.
Dia
hanya menjawabmu dengan gelengan lesu. Dia—tetangga seumuran yang juga karibmu,
tak lebih beruntung darimu. Kalau kau melakukan semua ini demi satu mimpi yang
tumbuh dalam lubuk hati kecilmu, namun dia berjibaku di jalanan itu hanya demi
senyum ibunya ketika pulang nanti, plus
nasi dengan sepotong lauk. Syukur-syukur kalau ada sayur.
Kau
tak pernah mengerti bagaimana bisa seorang ibu yang sejatinya penyayang bisa
berubah perangainya. Deraan kesulitan hidup telah menempanya menjadi seseorang
yang begitu berbeda. Hingga dia pun dipaksa ikut membanting tulang. Dan
mengamen adalah pilihannya—setidaknya ia memiliki usaha dalam mencari uang
daripada harus meminta-minta. Perbendaharaan lagunya banyak, yang selalu ia
keluarkan menurut musimnya masing-masing. Lagu untuk ramadhan, bulan
kemerdekaan, momen natal, semua telah ia latih sebaik-baiknya.
Dua
jam berikutnya kau setia menunggui dia bernyanyi. Begitu usai, kau
membentangkan rokmu yang kusam untuk menampung receh demi receh yang dia
peroleh, membantu menghitung sekeping demi sekeping. Tiga puluh lima ribu. Dia
lalu menemanimu menyetorkan isi karungmu ke penampung, berimbalkan beberapa
lembar rupiah yang kau terima dengan senyum sumringah. Tidak terlalu banyak memang, namun kau dan dia bisa
bernafas lega hari ini.
Sayang,
langit menuliskan alur berbeda. Nafas lega kalian hari ini tak berlangsung
lama, berubah menjadi nafas cekat kala dicegat preman-preman bau tuak. Kekuatan
dan kecepatan yang tak seimbang. Para lelaki itu dengan mudah merampas
lembar-lembar harapan dari tangan kecilmu.
“Jangan, Bang! Jangan!”
Kau meronta, namun mereka tak peduli. Bahkan tak segan merogoh segala tempat
yang memungkinkan bagimu untuk menyelipkan lipatan kecil selembar rupiah, tak
acuh walau kau berteriak dan melawan.
Tangan tak sopan itu
juga mulai mengarah ke tubuhmu, membuatmu bergidik takut luar biasa. Dia—sobatmu
si lelaki kecil yang tak tahan untuk tinggal diam, maju menerjang. Membelamu
dengan gagah berani. Tindakan itu berbuah dua hantaman di perut. Satu
tempelengan di wajah. Pundi recehnya juga diambil paksa.
Pada akhirnya, kau dan
dia terduduk lemas di depan toko yang sudah tutup. Dia nyaris menangis, namun
ditahannya kuat-kuat hingga giginya bergemelutuk. Di wajah anak laki-laki itu
kau dapat melihat raut mengerikan seorang wanita yang bahkan lebih kejam dari penyihir.
Harapan akan senyum dan nasi dengan lauk pupus sudah.
Tak ada yang dapat kau
lakukan untuknya. Uangmu juga habis dirampas dan keluargamu sejatinya tak
pernah kelebihan walau hanya sepiring nasi. Bagaimana lagi? Kau hanya bisa
memeluk bahunya, berbagi sakit dan sedih bersama.
Kesialan ternyata tak
berhenti sampai di situ. Si pemilik toko—yang entah bagaimana bisa tahu kau dan
dia sedang duduk-duduk di teras kosongnya, keluar beserta dua anjing untuk
mengusir. Anjing-anjing yang seringainya lebih galak dari satpam gedung megah
tempatmu singgah tadi siang. Gerungan hewan itu membuat kau dan dia berlari
pontang-panting. Salakan demi salakan menggetarkan langkahmu. Dalam hati kau
mencicit, kau akan belajar sangat keras. Kau harus pintar, ingin merubah hidup
kelak dewasa nanti. Tidak mau menjalani hidup dengan cara seperti ini lagi.
Pekikan-pekikan pilu
dia yang tiba lebih dulu, menemanimu melanjutkan langkah. Mungkin telinganya
sedang dijewer atau betisnya dilibas oleh sang ibu yang tak akan mau menerima
alasan apapun atas tangan kosongnya hari ini.
Entah kenapa tiba-tiba gerimis
merinai, seakan ingin membasuh kesedihan yang bercokol dalam hatimu. Kau terus
melangkah, dengan lilin-lilin yang terasa dingin dalam pelukan ringkih jemarimu—satu-satunya
barang yang tak dirampas. Kakimu menuju ke sepetak bangunan yang dari bentuknya
cukup miris untuk disebut rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar