 |
dok. pribadi |
RUMAH
TERAKHIR
Oleh
Dian Nangin
Langit
senja tersaput mendung. Sekumpulan capung terbang rendah dan cepat. Cukup
rendah hingga aku bisa menangkapinya dengan tangan kosong—hal yang sering
kulakukan kala kecil, namun waktu itu aku masih pendek dan kalah gesit.
Aku berdiri di pintu
belakang sebuah rumah tua, menatap langsung pada sebuah makam yang dikelilingi
kebun kecil berisi aneka ragam tanaman. Ke sanalah kulangkahkan kaki.
Tempat peristirahatan
nenek telah dibangun sejak sepuluh tahun lalu, tepat berdampingan dengan milik
kakek. Bukannya bermaksud tidak sopan dengan mempersiapkan kuburan selagi
beliau masih hidup, namun hal ini memang telah menjadi kebiasaan umum di
kampung kami. Bahkan nenek sendiri tidak keberatan.
Kakek telah meninggal
selama seperempat abad kini. Kuburan kakek awalnya seperti tempat
peristirahatan abadi kebanyakan—jasadnya ditanam dalam tanah dengan sebuah
nisan sebagai penanda. Bertahun-tahun kemudian, setelah kehidupan dan keuangan
ayah serta paman-pamanku membaik, mereka sepakat membuatkan sebuah makam
berbentuk balok, diberi ukiran-ukiran indah, dan meneduhinya dengan atap. Lalu
diadakanlah sebuah acara adat pemindahan tulang kakek dari kuburan tanah ke
makam yang baru.
Kata nenek, dulu aku
ikut menggali bahkan mencuci tulang kakek sebelum dimasukkan peti dan berakhir
di makam tersebut. Sebuah foto lama yang telah usang membuktikan kebenarannya.
Tapi tak kuingat apa yang terjadi waktu itu, sebab aku masih berwujud
kanak-kanak yang belum mampu menyimpan kenangan.
Tak mampu kuundang
bayangan wajah kakek yang tak pernah kukenal—aku masih sangat muda dalam
kandungan ibuku ketika ia meninggal. Bahkan tulangnya yang sempat kugenggam pun
luput dari memori. Apa kakek pernah