![]() |
sumber google |
TUTUR
AIR MATA
Oleh
Dian Nangin
Kebanyakan
penumpang langsung terkantuk begitu bus mulai melaju. Sementara aku mengeksplorasi
terlebih dahulu setiap hal yang kujumpai di tempat baru. Ini adalah kali
pertama kami—aku dan beberapa teman—menginjakkan kaki di kota Medan, dimana kami siap bertolak ke
daerah dataran tingginya, berniat menjelajahinya selaku backpacker yang haus pengalaman pengembaraan.
Sopir menyetel lagu
daerah yang dentum-dentumnya mengalahkan gerungan mesin bus. Tapi tampaknya tak
ada yang benar-benar menikmati suguhan musik itu. Beberapa penumpang yang tak
bisa tidur cenderung melamun, berselancar di dunia maya, atau bermain game di ponsel untuk membunuh waktu.
Dan, sepintas tak ada
yang salah dengan perempuan muda yang duduk di sebelahku ini. Tadi dengan sopan
ia bertanya apakah ia bisa duduk dekat jendela. Tentu saja aku mengangguk
sambil menggeser tubuh, memberinya ruang yang cukup. Bahkan kubatalkan niatku
merokok demi membuatnya nyaman.
Sejenak
aku merasa beruntung duduk bersisian dengannya. Bercakap dengan perempuan
cantik, meski sekedar basa basi, akan menjadi hal menyenangkan untuk mengarungi
perjalanan ini. Apalagi kalau bisa lebih dari itu, sedikit lebih dekat apalagi
dapat berlanjut ke hari-hari yang akan datang. Ah, belum apa-apa hatiku sudah
berharap lebih.
Tapi,
ketika aku mencuri pandang, kutangkap samar bayangannya melalui pantulan kaca
jendela. Pandangannya jauh menerawang, seakan dapat menembus kegelapan di luar
sana.
Kutangkap pula guncangan halus pundaknya serta kerjapan mata basahnya.
“Hei,”
kusentuh bahunya pelan. “Kenapa kau menangis?”
“Ayahku
baru meninggal.” Ia menoleh setelah mengusap wajahnya dengan tisu.
Aku
terkesiap. Mendadak lidahku kelu, tak
mampu lagi menjalankan rencana basa-basi yang telah kurancang tadi.
“Kapan?”
tanyaku sedikit cemas. Akan sungguh menyakitkan bagi seseorang saat masih
berada dalam perjalanan, sementara orang yang dicintainya sudah menunggu di
tujuan dalam kondisi raga terbaring kaku tanpa nyawa.
“Dua
minggu lalu.”
“Oh!”
aku manggut-manggut.
“Maaf,” katanya lagi. “Sesungguhnya aku tidak
ingin menangis di sini, tapi aku juga tak sanggup menahannya. Maaf kalau kau
merasa terganggu.”
“Tidak apa.”
Kuanggukkan pemaklumanku. “Aku bisa mengerti betapa pahit kehilangan yang
sedang kau rasakan.”
“Ya,”
sahutnya di sela tangis. “Sungguh pahit. Sosoknya masih lekat di pikiran,
gelegar tawanya terngiang-ngiang di telinga, tapi dia tak lagi ada untuk
selamanya. ”
Ah,
apa yang harus kukatakan? Aku bukan tipikal religius yang dengan mudah dapat
mengutip ayat-ayat penghiburan. Kupadamkan keinginanku untuk bertanya dimana
ayahnya meninggal, karena apa, dan sebagainya. Itu sama saja dengan menyuruhnya
mengorek kembali kenangan pedihnya yang belum berlalu jauh. Sementara tangisnya
sekarang menunjukkan masih betapa kental rasa kehilangan itu. Dia begitu khusuk
dengan air matanya.
Kugumamkan lirih, aku
ikut berduka. Ia mengangguk samar. Kami terdiam lagi. Ia menangis lagi. Kuraih tas
ranselku dan mengeluarkan sebotol air mineral. Kulungsurkan ke hadapannya.
Sengguk-sengguk bisu tadi pasti melelahkan dan mengeringkan tenggorokannya. Namun
ia hanya menatap dalam diam.
“Tenang saja. Ini masih
baru, kok. Aku juga tidak mencampurnya dengan sianida,” ujarku tanpa bermaksud
bercanda. Namun, aku melihat sekilas bibirnya tersenyum tipis, lalu pudar dalam
sekejab. Ah, andai saja ia tersenyum sedikit saja lebih lebar dan beberapa
detik lebih lama, aku yakin itu adalah salah satu senyum terindah yang pernah
kulihat.
Ia mengucapkan terima
kasih dengan suara serak. Dibukanya tutup botol air mineral itu dan diteguknya
dua kali. Selanjutnya botol itu diabaikannya di pangkuan. Ia memalingkan lagi
kepalanya ke arah jendela. Hening mengisi ruang di antara kami hingga beberapa
saat lamanya.
“Aku rindu panggilan-panggilan
teleponnya, sosoknya yang setia menunggu di beranda rumah selarut apapun aku
tiba,” bisiknya perlahan. Aku tak yakin ia sedang memberitahuku perihal
kerinduannya itu atau ia sekedar berbicara sendiri.
“Ibumu?”
“Ya, kini hanya dia
yang aku punya. Aku bahkan rela menempuh dua jam perjalanan pulang pergi kerja ke kota setiap hari hanya demi bisa terus
bersamanya. Aku tak siap dilumat sepi hidup sendiri di kota besar sana.”
Aku tercenung. Meski
saat ini sedang tak punya kekasih, aku tidak pernah merasakan yang namanya
dilumat kesepian. Lazimnya kos-kosan lelaki, kadang begitu jauh dari ketenangan.
Selalu ada petikan gitar, permainan kartu yang berisik, sorakan heboh ketika
menyaksikan liga bola, atau tawa-tawa membahana kala saling melempar lelucon.
Satu persatu
bulir-bulir bening itu kembali meluncur dari telaga matanya. Aku tahu, menangis
itu manusiawi. Tapi sesekali aku terheran, seberapa banyak pasokan air mata
yang ia punya?
Kebanyakan menghabiskan
hidup dalam penaklukan alam yang cukup keras, sungguh aku kesulitan menangani
situasi sentimental begini. Menghadapi perempuan yang terus-terusan berurai air
mata....bagaimana aku harus bereaksi? Menenangkannya? Meminjamkan bahuku
sebagai tempatnya bersandar? Mengusap punggungnya? Kami belum cukup akrab untuk
dapat melakukan hal itu. Bahkan namanya saja aku masih belum tahu.
***
Kerlap-kerlip
lampu rumah yang mulai memadat menandakan bus sudah keluar dari hutan yang
dominan gelap. Bus tiba di sebuah kota kecil yang dingin karena berada di
dataran tinggi dimana salah satu gunungnya akan kami daki sebentar lagi. Kernet
menyerukan titik pemberhentian dan kelompokku mengacungkan tangan. Kami telah
tiba di tujuan.
Perjalanan ini rasanya
usai terlalu cepat sekaligus seakan tak berujung. Terlalu cepat karena aku
harus berpisah dengannya. Sekaligus tak berujung karena sepanjang perjalanan ia
menumpahkan air mata tiada henti. Entah di titik mana ia akan berhenti—air mata
itu.
Tak
ada secuil pun momen perkenalan. Aku bukan tipe lelaki yang memanfaatkan
kesedihan wanita sebagai peluang untuk unjuk diri, berlaku bak pahlawan, lalu
menyedot perhatiannya.
Aku
menoleh sekali lagi sebelum melompat turun. Entah kapan kami bisa bersua
kembali. Kureguk pemandangan muram wajahnya. Kepalanya tertunduk seakan
menekuri segenap rasa dengan mata yang tak kunjung kering. Enggan rasanya aku
turun dan meninggalkan dia sendiri. Entah dimana rumahnya dan entahkah dia akan
baik-baik saja.
Betapa kuat hasratku
ingin mengulurkan tangan dan menyeka pipinya. Selagi aku berpikir untuk
melakukannya atau tidak, air matanya yang mengalir tiba-tiba menguap. Benda
cair itu mendadak berubah wujud dan yang tampak di mataku adalah seberkas asap
putih bercahaya. Semakin pekat cahaya itu kala air matanya menderas. Melayang-layang
di udara. Tak lagi jatuh menitik melalui ujung dagunya yang lancip.
Aku hanya bisa menghela
nafas. Ia dan kesedihannya telah menjadi satu.
Medan,
2016-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar